Tuesday, April 29, 2008

Instant Idol

Tiga pelayan sebuah warung nasi Padang di Batam Center, menatap lurus ke layar televisi yang terpasang di atas pintu masuk. Wajah mereka tegang. Beberapa detik berselang, tatkala suara presenter melengking panjang, para pelayan bersorak sambil melonjak. Ketegangan pecah jadi kegembiraan. Saya yang sedang menyuap nasi, Minggu petang itu, kaget dan tersedak.


‘’Tontonan apa gerangan yang melahirkan histeria begitu rupa?’’. Saat membayar makanan di meja kasir selepas makan, saya mencoba memupus penasaran. ‘’Acara apa ini?’’ tanya saya. ‘’Idola Cilik, Pak. Itu ada anak Batam, dia lolos,’’ kata kasir menjelaskan. Saya ngeloyor pergi. Tak punya hasrat untuk bertanya lagi.

Sejak diluncurkan pertama kali beberapa tahun lalu, dengan menjiplak habis produk yang sama di televisi Amerika, saya tak tertarik sama sekali menyaksikan acara idol-idolan di televisi itu; sebuah kontes instan untuk menggapai sukses dan popularitas.

Saya mendukung kelompok yang tidak setuju dengan kontes-kontesan macam ini. Bukan saja disebabkan oleh alasan seperti yang dimuat dalam rubrik Surat Pembaca Harian Kompas, Sabtu (26/4) lalu. Lina, penulis surat pembaca itu mengatakan, kontes Idola Cilik tidak memberikan pendidikan moral kepada pesertanya, yang notabene adalah anak-anak. Karena lagu yang mereka nyanyikan dalam lomba itu adalah lagu-lagu orang dewasa dengan tema-tema pacaran. Lagu-lagu tersebut belum pantas untuk anak-anak seusia para peserta.

Lebih dari itu, kontes seperti ini (tidak hanya Idola Cilik) sungguh tak mendidik orang untuk menghargai proses dalam hidup ini. Orang tak diajarkan menapaki sukses dari tangga paling bawah, melewati jalan berliku. Berjerih payah. Hanya dengan tampil beberapa kali di televisi, kemudian diundi dengan SMS, orang lantas bisa tampil sebagai juara. Dari sana mereka bermimpi jadi idola, dikontrak jadi bintang iklan, ditawari bikin album, main film dan ujungnya jadi orang kaya.

Kata Ciputra, pengusaha top bidang properti, tak ada jalan pintas untuk sukses dan kaya. Dan jangan pernah berpikir untuk itu.

Untuk bisa jadi juara dalam hidup dan kehidupan ini, kata Goenawan Mohamad, tak ada jalan lain, selain kerja keras. ‘’Saya ingat sejumlah teman segenerasi yang datang dari udik yang tidak keruan. Ada yang jadi mandor di pelabuhan, dan dari sana memulai bisnis lalu akhirnya kini jadi eksportir besar. Ada yang membuka hidupnya dengan menyabit rumput, atau pembantu tukang sate, atau pembantu toko kembang, dan dari sana naik jadi kisah-kisah sukses yang mengesankan,’’ kata Goenawan dalam rubrik Catatan Pinggir-nya berjudul Anak Pejabat. ‘’Saya selalu merasa, merekalah juara hidup yang sebenarnya,’’ ujar Goenawan dalam tulisan yang terbit di Majalah TEMPO edisi 14 Maret 1987 itu.

Yang lucu sekaligus memuakkan dari kontes-kontesan ini adalah, ada calon idola yang tampil dengan modal suara pas-pasan, ketika dinyatakan gagal oleh hakim juri, menangis terisak-isak. Seakan dunia ini sudah tutup untuk masa depannya. Keluarga yang datang mendukung tak kalah sedih dan putus asa. Ini sudah gila.

Kenapa para calon idola itu tak berkaca pada pengalaman seniman-seniman senior yang merengkuh sukses berbasuh keringat dan pengorbanan. ''Bukan dengan lomba idola-idolaan. Program seperti itu tidak mendidik. Orang jadi berpikir menjadi bintang itu mudah, instan. Padahal band seperti kami dulu harus jatuh bangun, ’berkeringat darah’ sebelum terkenal,'' kata Benny Panjaitan, pentolan grup musik Panbers di rubrik Nama dan Peristiwa Harian Kompas, awal April lalu.

Panbers tak asal bicara. Mereka punya bukti. Lagu-lagu mereka, seperti Gereja Tua hingga saat ini masih sering di-request mulai dari kafe hotel berbintang hingga pengamen jalanan. Inilah yang disebut sukses yang melegenda.

Memang, tak ada salahnya kita belajar dari sejarah orang-orang yang sudah lebih dulu sukses jadi idola dengan menapaki rute yang benar. Tak mudah bagi Beatles dan Rolling Stones menaklukkan rintangan dan kesulitan hingga bisa jadi legenda; Jon Bon Jovi dan kawan-kawan berkali-kali ditolak produser rekaman, berjuang memperbaiki mutu lagu dan musik dari hari ke hari, tampil memenuhi undangan di even-even kecil di New Jersey sebelum akhirnya You Give Love A Bad Name mengguncang dunia dan laku 10 juta kopi; Iwan Fals bahkan harus berurusan dengan intelijen dan tentara sebelum dinobatkan Majalah TIME sebagai pahlawan Asia.

Barangkali, di mata sebagian (besar) orang, terutama pemuja budaya instan, pikiran seperti ini sudah usang dan basi.

Tak ada niat mematahkan semangat mereka yang sedang bermimpi jadi idola, serta semangat para pendukungnya. TapI, kita lihat bukti saja. Dari sekian banyak kontes idola instan macam begini yang digelar sejak beberapa tahun silam, adakah muncul seseorang yang benar-benar layak disebut sebagai idola, yang lagu dan suaranya akan dikenang abadi, seperti Panbers, Iwan Fals, Dewa 19? Setidaknya, sejauh ini, adakah di antara mereka yang punya potensi akan menyamai para legenda itu?

Faktanya, mereka yang dulu jadi juara kini hanya samar-samar muncul jagad hiburan Tanah Air kita. Sebagian bekas peserta lainnya, terutama yang gagal total, bahkan tenggelam dalam gunungan utang karena kelewat banyak membeli pulsa telepon untuk berkirim SMS agar jadi juara. Tobatlah para calon idola! ***

2 comments:

Citra Pandiangan said...

Selesai membaca tulisan 'Instant Idol' yang terucap adalah kata 'WOW'. Tulisannya mengena banget dan mank terbukti deh... salut ma bang Iqbal hehe...

Anonymous said...

welcome to instant country!