Thursday, November 29, 2012

Mempertahankan Indonesia dengan Kapal Tua

Penduduk antarpulau kecil yang berserak di Kabupaten Natuna, kepulauan di kawasan  perbatasan yang menyimpan lebih dari separuh cadangan gas nasional ini, dilayani oleh sebuah  kapal kargo bekas. Kondisinya jauh dari layak.
______

DARI kejauhan, Pulau Senua mirip orang yang sedang tidur telungkup. Karena itu, orang Ranai  menyebutnya Pulau Putri Tidur. Dari dermaga kecil di Pantai Tanjung, di ibu kota Kabupaten  Natuna itu, Pulau Senua bisa dicapai 20 menit dengan pompong. Laut sekitar Pulau Senua  sangat bersih. Karang di kedalaman tujuh meter pun masih bisa dilihat dari permukaan air. Para  pekerja ekspatriat perusahaan pengeboran minyak dan gas di lepas pantai Laut China Selatan  kerap menyelam di Senua.

Aneka jenis ikan hidup di sana. Ketika musim utara tiba, November-Februari, nelayan setempat  bak memancing di kolam sempit yang penuh ikan. "Itulah musim terbaik untuk mencari ikan,"  ujar Musidi, nelayan dari Pantai Tanjung. "Sehari, kalau sanggup bisa dapat lima ton," ujarnya.

Senua adalah satu dari tujuh pulau terluar Indonesia di Natuna. Sejauh 12 mil laut ke arah timur  melintas garis batas negara Indonesia dengan Malaysia. Enam pulau terluar lainnya adalah  Pulau Tokong Boro yang berbatasan dengan Malaysia bagian barat, Pulau Kepala di Serasan  dan Pulau Subi Kecil yang berbatasan dengan Malaysia bagian timur, serta Pulau Semiun,  Pulau Sebetul, dan Pulau Sekatung yang berbatasan dengan Malaysia bagian barat, Thailand,  dan Vietnam.


Saturday, March 17, 2012

Langit Garuda dalam Cengkeraman Singa

Sudah 66 tahun, setara dengan usia kemerdekaan Indonesia, ruang udara Indonesia di  wilayah Kepri dikuasai dan dikendalikan Singapura. Pesawat-pesawat Indonesia, termasuk  pesawat militer yang ingin berangkat, mendarat, atau hanya sekedar melintas di atas  Batam, Tanjungpinang, dan Natuna harus mendapat izin Singapura terlebih dahulu. Upaya  merebut kembali kedaulatan itu selalu gagal di meja perundingan.

DARI pengeras suara di langit-langit ruang kantor pengelola Bandar Udara Hang Nadim Batam, pengumuman itu terdengar nyaring. “ ...Pesawat Lion Air tujuan Jakarta segera  diberangkatkan.” Pada saat yang sama, Kamis siang pertengahan Februari 2012, di ruang tunggu A4, yang berjarak 50 meter dari kantor pengelola Bandara, puluhan calon penumpang merangsek masuk ke tubuh bongsor Boeing 737 ER 900 milik Lion Air.
 

Sepuluh menit berselang, pesawat berjalan pelan menuju landasan pacu, siap lepas  landas. Kendati berangkat dari Batam menuju Jakarta, yang sama-sama berada di wilayah  Indonesia, tetapi pesawat Lion Air baru boleh bergerak dari apron ke landasan pacu Hang Nadim dan kemudian mengangkasa, setelah ada restu dari otoritas penerbangan Singapura.
 

“Di sini, semua pesawat yang ingin take off atau landing harus mendapat izin dari  Singapura. Kalau dari sana belum kasih persetujuan belum boleh berangkat,” kata Hendro Harijono, Kepala Kantor Pengelola Hang Nadim. 


Tuesday, January 31, 2012

Pak Ruhmari dan Mas Teguh

PAK RUHMARI dan Mas Teguh, ayah dan anak dari Jepara, adalah orang kecil belaka. Jika tak ada  peristiwa getir yang melibatkan keluarga mereka, dan diekspos luas media massa, barangkali kita  takkan mengenal keduanya.

Pak Ruhmari dan Mas Teguh adalah orang kecil belaka, bukan sosialita kota yang sering datang ke  acara-acara amal untuk orang miskin dengan tas kulit, rambut berlumur jelly, dan sneakers berharga  puluhan juta.

Tetapi, kelapangan dan ketulusan hati mereka melampaui sekat-sekat teritorial dan status sosial yang  dibuat manusia. 



Monday, January 23, 2012

Roh Moo-hyun

DI usianya yang tak lagi muda, 62 tahun, Roh Moo-hyun mestinya hidup dalam ketenangan. Jabatan  Presiden Korea Selatan yang pernah digenggamnya selama lima tahun, dari 2003-2008, lebih dari  cukup untuk menjamin kesejahteraan di hari tua.

Tetapi, di hari-hari masa pensiunnya, Roh adalah seorang yang gelisah. "Banyak orang menderita  karena saya," ujarnya. "Apa yang saya lakukan di akhir hayat hanya jadi beban untuk orang lain."



Sunday, November 20, 2011

Ikan Teri dan Sarung Gubernur Sani

SABTU pagi pertengahan Juli 2011 lalu, saya dihubungi Rizal Saputra, staf khusus  Gubernur Kepri Muhammad Sani.

"Gubernur minta diwawancara soal setahun kepemimpinannya," kata Rizal.

"Kapan?" saya bertanya.

"Pagi ini kita ke Tanjungpinang," katanya.

Naik feri pukul 10.00 dari Pelabuhan Punggur sampai di Tanjungpinang hampir pukul  11.00. Setelah  makan gado-gado di pintu keluar pelabuhan, kami berjalan kaki ke Gedung  Daerah, rumah dinas Gubernur Kepri yang tak jauh dari pelabuhan.

Monday, November 14, 2011

Ke Jantung Sejarah Malaysia

SUNGAI bersih dan tenang. Bangunan tua berarsitektur Eropa, yang terawat baik, berderet  di tepi kiri dan kanannya. Sebagian bangunan disulap jadi kafe. Orang-orang duduk di  sana menyeruput teh dan kopi, menanti senja, memandang perahu motor yang hilir mudik  di aliran sungai.

Ini bukan di Venezia, Italia yang sudah tersohor itu. Ini di Melaka, jantung sejarah negara  Malaysia. 



Sunday, July 10, 2011

Mengendalikan Diri di Meja Makan

HAMPIR sebulan lamanya, sejak Mei lalu, saya menderita tukak lambung. Kata dokter di rumah sakit,  tukak lambung adalah luka di lapisan lambung atau usus dua belas jari yang disebabkan oleh  tingginya asam lambung.

Semua bersumber dari makanan. "Ini karena terlalu banyak makan yang pedas-pedas dan minum  soda," kata dokter pertama yang saya kunjungi. Dokter perempuan itu saya datangi setelah seminggu  saya mencoba bertahan dengan mual di perut dan nyeri di ulu hati, karena tersedak-sedak tiap menit.

Setelah dua hari minum obat yang diberikan ibu dokter, penyakit tak juga reda. Saya beralih ke dokter  lain. Kali ini obatnya lumayan membantu, meski tak sembuh total. Dokter kedua menguatkan informasi  dokter pertama: penyebabnya adalah makanan.


Wednesday, September 15, 2010

Di Sudut Penjara

DI SELA jeruji besi selebar 10 cm, di ruang besuk Lembaga Pemasyarakatan Batam, Senin (6/9), bibir itu beradu. Sebuah kecupan tanda perpisahan. Tak ada kata terucap. Hanya dua pasang bola mata saling menatap, menyiratkan harap bisa berjumpa lagi dalam waktu dekat. Dari balik jeruji, sesosok lelaki berkaus biru melambai kepada perempuan yang baru saja mengecup bibirnya. Setelah si perempuan menghilang di balik pintu penjaga, sang lelaki menyusup ke dalam lingkungan penjara.

Lima belas menit sebelum perpisahan yang mirip jalan cerita di novel cinta itu, keduanya berbincang mesra. Tangan mereka saling menggenggam di sela-sela jeruji penjara. Di sebelah mereka, seorang lelaki paruh baya, yang juga menghuni Lapas Batam, menerima kunjungan istri dan tiga orang anaknya. Istrinya bercerita tentang kelakuan satu per satu anak mereka. Tawa dan keceriaan pecah, meski hanya untuk sementara. Di ujung pertemuan, si istri menyerahkan tiga bungkusan berisi makanan. ''Bapak baik-baik di sini, ya,'' pesannya. 




Monday, August 30, 2010

Menjaga Bakau demi Anak Cucu

TAHUN 2003, saat pertama kali pindah ke Kavling Pancur Pelabuhan, Kelurahan Tanjungpiayu, Batam, Slamet seperti pulang ke desa. Maklumlah, sebelumnya Slamet tinggal di sebuah permukiman liar yang padat dan sumpek di sekitar Batam Center. ''(Saat itu) suasananya beda banget. Di sini masih benar-benar alami,'' katanya.

Sekitar seratus meter di belakang rumahnya, laut menghampar luas. Ratusan pohon bakau ukuran besar tumbuh di bibir pantai. ''Mirip hutan di kampung-kampung. Rimbun,'' ujar ayah empat anak kelahiran Yogyakarta itu. Di sela-sela akar bakau itulah, warga sekitar biasa memancing ikan sembilang atau lele laut. Ikan ini biasanya hidup di bagian laut yang dangkal. Di Kepulauan Riau, ikan sembilang adalah salah satu ikan favorit. Banyak rumah makan menyajikannya dalam bentuk asam pedas. 



Saturday, June 26, 2010

Sahabat Anak-anak Tuna Rungu

PEREMPUAN itu mendekatkan wajahnya ke cermin. Bibirnya terbuka lebar ketika melafalkan huruf B dengan suara sedikit nyaring. Seorang anak laki-laki, yang duduk persis di sampingnya, tak bereaksi apa-apa. Si anak mematut cermin, memperhatikan gerak bibir perempuan itu, mengernyitkan dahi, setelah itu menggelengkan kepala.

''Oke, sekarang kita coba pakai kertas ini,'' kata Riniatun, perempuan berjilbab biru yang duduk di depan cermin itu. Ia mengeluarkan potongan kertas kecil dari kantong celana olahraga yang dikenakannya. Dengan tetap menghadap cermin, kertas sepanjang sepuluh sentimeter itu didekatkan ke bibirnya sembari melafalkan huruf B. Kertas berayun ke depan dan ke belakang. Ada getaran di situ. Rafi, anak laki-laki yang duduk di samping kanannya, spontan mengikuti. ''B'', kata Rafi. Suaranya cukup jelas.