Sunday, July 10, 2011

Mengendalikan Diri di Meja Makan

HAMPIR sebulan lamanya, sejak Mei lalu, saya menderita tukak lambung. Kata dokter di rumah sakit,  tukak lambung adalah luka di lapisan lambung atau usus dua belas jari yang disebabkan oleh  tingginya asam lambung.

Semua bersumber dari makanan. "Ini karena terlalu banyak makan yang pedas-pedas dan minum  soda," kata dokter pertama yang saya kunjungi. Dokter perempuan itu saya datangi setelah seminggu  saya mencoba bertahan dengan mual di perut dan nyeri di ulu hati, karena tersedak-sedak tiap menit.

Setelah dua hari minum obat yang diberikan ibu dokter, penyakit tak juga reda. Saya beralih ke dokter  lain. Kali ini obatnya lumayan membantu, meski tak sembuh total. Dokter kedua menguatkan informasi  dokter pertama: penyebabnya adalah makanan.


Selama dua minggu sejak pulang dari dokter kedua, saya tak makan sambal dan lauk bersantan sama  sekali. Hanya nasi putih, sayur bening, dan sepotong ayam goreng atau ikan goreng.

Di Jakarta, awal Juni, saya bertemu seorang ahli terapi. Ia memeriksa kondisi tubuh saya. "Lambung  Bapak bermasalah," katanya. Seperti dokter-dokter yang pernah saya temui untuk memeriksakan  penyakit saya, ia pun mengemukakan faktor yang sama sebagai sebabnya. "Ini karena makanan,"  ujarnya. Di tangan dialah, derita yang saya jalani selama satu bulan itu, berakhir. "Lambung Bapak  sudah bagus," katanya setelah saya menjalani tiga kali terapi.

Para dokter dan ahli terapi yang saya temui menjelaskan, makanan pedas dan minuman bersoda  memacu produksi asam lambung dalam jumlah besar. Setiap orang punya kondisi lambung  berbeda-beda. Orang yang lambungnya tak terlalu kuat, jika terus digerus asam lambung, akan  menyebabkan luka di lambung.

Gejalanya biasanya adalah perut terasa penuh dan kembung terus menerus sehingga kerap sendawa.  Sering pula serasa ingin sendawa tapi tak bisa. Situasi ini biasanya menyebabkan nyeri di ulu hati.  Gejala lain adalah sakit dan nyeri di punggung dan tulang belakang.

Saat datang ke dokter kedua, ia menanyakan pola  makan saya. Saya bilang, saya adalah pecinta makanan. Saya sering mencatat dan mengingat  nama-nama tempat makan berikut alamatnya, yang muncul di media massa. Setiap ada kesempatan  saya datang untuk menjajalnya. Jika cocok, saya rutin datang makan di situ dalam periode tertentu.  Dokter tertawa. "Kapan-kapan bagi ke saya alamat-alamat itu," katanya.

Mengontrol pola makan tidak saja merawat lambung dari derita tukak lambung. "Makanan itu menentukan kesehatan tubuh kita keseluruhan," kata dokter.

Daging dan makanan berlemak, misalnya, sudah tentu akan menaikkan kolesterol. Kolesterol yang tinggi (ini juga sering saya rasakan) membuat kepala sering sakit dan bahu hingga leher belakang terasa tegang, nyeri dan pegal-pegal.

Berkomitmen pada diri sendiri untuk mengontrol pola makan adalah tantangan sendiri. Setidaknya, itu yang saya rasakan. Ketika membaca informasi tentang kesehatan atau mendengar cerita orang-orang akan bahaya yang ditimbulkan oleh kolesterol yang tinggi, dalam hati saya sering bertekad untuk berhenti mengonsumsi makanan dan minuman mengandung kolesterol tinggi. Tapi, kadang, satu jam setelah itu saya sudah duduk di warung bebek goreng langganan atau menyeruput rootbeer di rumah makan cepat saji.

Tapi, kini, saya sudah mengucapkan selamat tinggal, secara total, kepada minuman bersoda. Makan tanpa sambal tentu tak bisa sama sekali, tapi porsinya saya kurangi. Seorang teman Tionghoa menambahkan nasihat tentang kesehatan kepada saya: makan malam yang paling baik adalah sebelum matahari terbenam karena pencernaan masih bekerja dengan baik, dan jangan minum es teh saat makan karena berpotensi melekatkan sisa-sisa makanan pada lambung dan usus. 

Tentu, kita tak harus berubah setelah sakit dahulu. ***

No comments: