Monday, August 30, 2010

Menjaga Bakau demi Anak Cucu

TAHUN 2003, saat pertama kali pindah ke Kavling Pancur Pelabuhan, Kelurahan Tanjungpiayu, Batam, Slamet seperti pulang ke desa. Maklumlah, sebelumnya Slamet tinggal di sebuah permukiman liar yang padat dan sumpek di sekitar Batam Center. ''(Saat itu) suasananya beda banget. Di sini masih benar-benar alami,'' katanya.

Sekitar seratus meter di belakang rumahnya, laut menghampar luas. Ratusan pohon bakau ukuran besar tumbuh di bibir pantai. ''Mirip hutan di kampung-kampung. Rimbun,'' ujar ayah empat anak kelahiran Yogyakarta itu. Di sela-sela akar bakau itulah, warga sekitar biasa memancing ikan sembilang atau lele laut. Ikan ini biasanya hidup di bagian laut yang dangkal. Di Kepulauan Riau, ikan sembilang adalah salah satu ikan favorit. Banyak rumah makan menyajikannya dalam bentuk asam pedas. 



''Sembilang banyak banget. Kita nyari buat makan saja, malah banyak berlebih. Biasanya dijual lagi ke warga lain,'' tutur Slamet. ''Udang dan mujair juga banyak. Kalau tak ada lauk di rumah, kita mancing saja pasti adalah buat makan.''

Suasana itu tak berlangsung lama, perlahan sembilang dan udang makin sulit didapat. ''Karena bakaunya habis ditebangi,'' katanya. ''Kini sembilang hampir tak pernah lagi dapat. Udang paling dapat beberapa ekor saja, itu pun butuh waktu lama,'' katanya. Kerusakan hutan bakau di Kavling Pancur Pelabuhan mulai terasa sejak tahun 2006. Pada 2007, bakau di sana bahkan nyaris punah.

''Yang merusak itu orang-orang pribadi untuk dijual ke dapur arang,'' katanya. ''Mereka bukan warga sini. Kami tak tahu asal mereka darimana. Tapi kami juga tak bisa melarang, karena pantai kan milik umum,'' kata Slamet. Ia menduga penebangan yang serampangan itu dikarenakan banyak orang tak tahu sifat pohon bakau. ''Bakau kalau sudah ditebang tidak bakalan tumbuh lagi. Beda dengan pohon lain,'' katanya menjelaskan.

Bakau, tanaman berakar tunjang ukuran besar dan berkayu, adalah bahan baku utama dapur arang dan harganya relatif mahal. Karena itulah, kayu bakau banyak diburu orang. Padahal, dengan ketinggian batang yang bisa mencapai 40 meter dan ketinggian akar dari permukaan tanah mencapai dua meter, bakau sejatinya adalah penyangga utama ekosistem pantai. Wikipedia menyebutkan, ''Kegunaan dari hutan bakau yang paling besar adalah sebagai penyeimbang ekologis dan sumber (langsung atau tidak langsung) pendapatan masyarakat pesisir.''

Parahnya kerusakan bakau di Pancur Pelabuhan menggelisahkan Slamet. Apalagi pantai tempat ia biasa mencari ikan mulai mengalami abrasi. ''Bibir pantai yang hilang karena tidak ada bakau lagi mencapai dua meter. Kalau dibiarkan terus, bisa sampai di perumahan warga,'' ujarnya. Slamet berinisiatif melaporkan kondisi tersebut kepada kelurahan setempat, tapi tak ada respons serius. ''Orang kelurahan cuma bilang: kalau ada yang tebang ya Bapak larang saja,'' tuturnya.

Tak mau menunggu pemerintah, yang entah kapan akan bertindak, Slamet menanami sendiri lahan bekas hutan bakau tersebut dengan bibit yang ia cari sendiri. Ia memulainya tahun 2008. ''Saya lihat kok makin lama makin kayak gini. Kita cemas sendiri. Yang kita pikirkan anak cucu kita nanti. Kita takut kalau-kalau ada tsunami, karena di belakang ini langsung berhadapan dengan laut,'' katanya.

Memang, sejauh ini, kata dia, jika laut sedang pasang, air belum sampai menjangkau permukiman warga. Tapi jika abrasi terus terjadi, bukan tak mungkin bibir pantai akan tepat berada di belakang tembok rumah warga. ''Kita menanggulangi sebelum itu terjadi,'' katanya.

Slamet mencari sendiri bibit bakau yang akan dia tanam. ''Saya ambil bibit yang jatuh-jatuh dari pohon yang masih tersisa. Saya kumpulkan,'' katanya. Proses pembibitan biasanya memakan waktu sekitar tiga bulan. ''Masuk bulan keempat baru ditanam,'' katanya. Sejauh ini Slamet sudah menanam lebih dari 500 bibit bakau. Dan, ia punya bibit siap tanam sekitar 2.000 pohon. Tak ada biaya yang dia keluarkan. ''Bibir kan ngambil yang jatuh-jatuh ke tanah. Pupuk juga tak ada. Asal telaten merawatnya, pasti tumbuhnya bagus,'' paparnya.

Akhir Juni lalu, Slamet mengajak saya melihat-lihat area bekas hutan bakau yang sudah ia tanami lagi. Pada beberapa titik, bibit bakau setinggi tak lebih dari satu meter menghampar ke arah pantai. ''Itu semua yang sudah saya tanami,'' katanya. ''Yang itu dulu gundul sekali, sekarang sudah mulai rimbun,'' kata menunjuk kumpulan pohon bakau yang mulai lebat daun-daunnya. Hingga saat ini sekitar dua hektar kawasan pantai sudah ia tanami.

Slamet tak sekedar menanam, ia rutin merawat pohon yang sudah ditanam. ''Tiap pagi saya siangi,'' katanya. Ketam dan siput adalah musuh utama pohon bakau. ''Kalau tak dibuang pohon bisa mati. Kerja kita jadi sia-sia,'' ujarnya. Untuk tumbuh kokoh dan besar, pohon bakau butuh waktu sampai lima tahun. ''Kalau saya menunggu dan tak mulai menanam, kapan bakau ini besarnya. Lama-lama air pasang bisa sampai ke rumah warga,'' katanya.

Dulu ia mengerjakan itu semua bersama anak perempuannya. ''Sekarang saya yang tangani sendiri. Anak saya yang biasa bantu-bantu sudah kerja di Malaysia,'' ungkapnya. Apakah ada warga sekitar yang turut membantu? Sambil tersenyum, Slamet menjawab, ''Saya sendirian saja. Belum ada warga yang bantu.''

Lelaki tamatan STM ini tak tahu pasti jenis bakau yang biasa tumbuh di sekitar pantai Pancur Pelabuhan, dan kini ditanamnya. Di Indonesia terdapat tiga jenis bakau yang biasa hidup di hutan-hutan bakau. Pertama, jenis bakau minyak. Sering juga disebut dengan nama bakau tandok, bakau akik, atau bakau kacang. Cirinya, warna kemerahan pada tangkai daun dan sisi bawah daun. Bunganya biasanya berkelompok dua-dua, dengan daun mahkota gundul dan kekuningan. Buahnya kecil berwarna coklat, panjangnya 2–3,5 cm.

Kedua, adalah jenis bakau kurap. Nama lainnya bakau betul atau bakau hitam. Disebut bakau hitam karena kulit batang berwarna hitam. Bunga berkelompok 4-8 kuntum. Daun mahkota berwarna putih, berambut panjang hingga 9 mm. Buah berbentuk telur, hijau kecoklatan. Bakau kurap sering bercampur dengan bakau minyak.

Ketiga, bakau kecil. Bakau ini hanya tumbuh sampai dengan tinggi sekitar 10 meter. Nama ilmiahnya adalah Rhizophora stylosa Griff. Bakau ini menempati habitat yang paling beragam. Mulai dari lumpur, pasir, sampai pecahan batu atau karang. Mulai dari tepi pantai hingga daratan yang mengering. Terutama di tepian pulau yang berkarang.

***
PERKENALAN Slamet dengan bakau boleh dibilang tanpa sengaja. Meski sejak tahun 2003 sering memancing di hutan bakau Pancur Pelabuhan, Slamet sama sekali tak punya pengetahuan tentang bakau, dari cara menanam hingga pola tumbuhnya. ''Buta sama sekali saya,'' ujarnya. Dengan laut saja, sebenarnya, kata Slamet, dia tak terbiasa. ''Saya pergi mancing ke pantai itu cuma iseng-iseng saja,'' ungkapnya.

Sekitar awal tahun 2008, anak perempuannya yang tinggal di Batuaji datang ke rumahnya. Ia mengabarkan, ada pegawai Dinas Kelautan, Perikanan, dan Pertanian Kota Batam yang tinggal di samping rumah anaknya itu mencari orang untuk menanam dan mengembangkan bibit bakau. ''Mereka memesan 5.000 pokok bakau,'' katanya. Meski tak paham soal bakau, Slamet menyambut tawaran itu. ''Saya terima saja, orangnya juga katanya akan kasih tahu cara menanam,'' katanya.

Saat bertemu, pegawai Dinas KP2 itu hanya menjelaskan bakau secara garis besar. ''Selebihnya saya pelajari sendiri dan coba-coba saja,'' ujarnya. Seluruh bibit pesanan pemerintah itu tumbuh bagus dan diangkut untuk penghijaun pantai di kawasan Barelang. Berbekal pengalaman itulah, Slamet menghijaukan pantai Pancur Pelabuhan di belakang rumahnya. ''Kebetulan kondisinya sudah hancur. Ya, sudah, kenapa pengalaman ini tidak saya gunakan untuk memperbaikinya,'' katanya.

Sebelum terjun menanam bakau, Slamet adalah tukang kayu. Ia biasa membuat kusen dan daun pintu. ''Tapi, bos saya bangkrut. Jadi berhenti kerja,'' katanya. Setelah itu, ia ikut teman-temannya kerja bangunan. ''Namanya buruh, nggak pernah tetap,'' katanya. Di rumah, istrinya membuka warung makanan kecil-kecilan. ''Jual es dan pempek,'' katanya. Slamet dan istri belajar membuat pempek saat tinggal di Palembang. ''Sebelum di Batam, keluarga kami merantau di Palembang,'' katanya.

Di warung kecil, yang harus tutup jika hujan turun, itulah Slamet menghabiskan waktunya sehari-sehari, di samping memandangi hamparan bakau di pantai Pancur Pelabuhan. ''Beginilah. Tidak ada aktivitas lain lagi,'' ujarnya sambil berselonjor di ruang tamu rumahnya yang tak punya kursi dan meja. Tak satu kalipun aparat pemerintah datang menengok dan menghargai upaya Slamet menanam bakau tanpa meminta biaya negara. ''Tak ada. Nggak masalah,'' ujarnya. Apakah ia tak ingin dapat penghargaan kalpataru? ''Nggak pernah mimpi saya hehehe.''  ***

No comments: