Saturday, June 26, 2010

Sahabat Anak-anak Tuna Rungu

PEREMPUAN itu mendekatkan wajahnya ke cermin. Bibirnya terbuka lebar ketika melafalkan huruf B dengan suara sedikit nyaring. Seorang anak laki-laki, yang duduk persis di sampingnya, tak bereaksi apa-apa. Si anak mematut cermin, memperhatikan gerak bibir perempuan itu, mengernyitkan dahi, setelah itu menggelengkan kepala.

''Oke, sekarang kita coba pakai kertas ini,'' kata Riniatun, perempuan berjilbab biru yang duduk di depan cermin itu. Ia mengeluarkan potongan kertas kecil dari kantong celana olahraga yang dikenakannya. Dengan tetap menghadap cermin, kertas sepanjang sepuluh sentimeter itu didekatkan ke bibirnya sembari melafalkan huruf B. Kertas berayun ke depan dan ke belakang. Ada getaran di situ. Rafi, anak laki-laki yang duduk di samping kanannya, spontan mengikuti. ''B'', kata Rafi. Suaranya cukup jelas. 





Kamis (10/6) siang itu, di ruang belajar B2, lantai dua, Kompleks Sekolah Kartini, Jodoh, Pulau Batam Riniatun tengah memeragakan cara mengajarkan membaca huruf dan angka kepada anak-anak tuna rungu (tidak bisa mendengar).

Dari depan cermin yang berada di pojok belakang ruang kelas, Riniatun pindah, berdiri di depan papan tulis, mengajarkan perkalian. Ia menulis: "5X4 = ?" Tujuh orang anak yang mengisi kelas itu berebut menjawab. Tapi, tak ada suara. Hanya tangan-tangan yang mengacung ke udara. Jari-jari mereka bergerak berubah-ubah, dari semula memasangkan telunjuk dan jari tengah, sesaat kemudian menggabungkan jempol dan telunjuk, membentuk lingkaran. ''Betul, dua puluh,'' kata Riniatun.

Bekerja sebagai guru khusus kelas tuna rungu, bahasa isyarat bagi Riniatun adalah keseharian hidupnya. ''Sebab, penderita tuna rungu umumnya juga tidak bisa berbicara (bisu). Bahasa isyarat adalah alat komunikasi mereka. Itu yang saya ajarkan,'' ujarnya.

Bahasa isyarat penderita tuna rungu berlaku universal. Artinya, sebuah gerakan yang mengisyaratkan kegiatan atau pengertian terhadap suatu hal berlaku sama di negara manapun. Karena itu, isi kamus bahasa isyarat yang diterbitkan masing-masing negara memuat gerakan yang sama, meski disajikan dalam bahasa nasional yang berbeda-beda.

''Bahasa isyarat itu terdiri dari ribuan gerakan dan bahasa tubuh,'' kata Riniatun. Sebagai gambaran, kamus bahasa isyarat edisi terakhir yang diterbitkan Departemen Pendidikan Nasional tebalnya sekitar sepuluh sentimeter. Apakah Riniatun hapal semua isi kamus setebal itu? ''Kalau semua ya nggak. Tapi, yang umum digunakan saya tahu,'' ujarnya.

Dengan HatiRiniatun mulai bekerja sebagai guru kelas tuna rungu di Sekolah Luar Biasa Kartini sejak tahun 2003. ''Sebelumnya, saya kerja jadi operator perusahaan elektronik di Mukakuning,'' ungkap alumnus Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa Yogyakarta ini. Riniatun lulus dari sekolah yang berada tak jauh dari rumah orang tuanya itu tahun 1994. ''Lama juga saya nganggur,'' katanya.

Toh, begitu kembali ke habitat aslinya, dunia pendidikan, Riniatun mengaku tak canggung sedikit pun. ''Biasa saja. Yang saya ingat, saya nggak ada grogi. Pertama diterima di Kartini, saya ngajar TK (taman kanak-kanak) tuna rungu,'' katanya. Ketika itu, tuturnya, Sekolah Luar Biasa Kartini masih menempati gedung lama di kawasan Tanah Longsor.

Mata pelajaran yang paling sulit di kelas tuna rungu, kata dia, adalah bina komunikasi, persepsi, bunyi, dan irama. Pada pelajaran ini, selain memperkenalkan alat-alat musik, anak-anak juga diajarkan mengenal bunyi-bunyian. ''Susahnya bukan main,'' katanya. ''Sebab, bunyi-bunyian tidak bisa dilafalkan. Ini benar-benar terkait dengan pendengaran.''

Jika mengajarkan pelafalan satu jenis huruf atau angka memakan waktu sekitar seminggu, mengajarkan ''menangkap'' bunyi-bunyian lebih lama dari itu. ''Anak-anak biasa dapat menangkap bunyi dari getaran di kaki. Itu syaratnya bunyi yang diperdengarkan harus keras. Misalnya, musik senam. Kalau anak-anak menggoyang-goyangkan tubuhnya saat musik dimainkan, artinya mereka merasakan getaran di kaki mereka.''

Materi lain yang juga sulit diajarkan adalah ilmu pengetahuan alam, seperti gerhana bulan dan benda-benda angkasa. ''Sejarah juga cukup sulit, misalnya memberi pengertian apa itu kerajaan dan dimana posisi raja, itu juga butuh waktu dan contoh-contoh yang harus diulang-ulang,'' kata Riniatun.

Dengan kondisi seperti itu, kata dia, syarat utama mengajar kelas tuna rungu adalah kesabaran. ''Kita harus lebih mengedepankan perasaan dan hati kita. Anak-anak tahu kalau kita ngajar tidak dengan hati,'' katanya. Intelijensia anak-anak yang terlahir tuna rungu umumnya normal. Ketidakmampuan mendengar dan berbicara dengan baiklah, kata Riniatun, yang membuat mereka lambat menangkap pesan yang disampaikan.

Karena itu, bahan yang diajarkan di kelas tuna rungu sama persis dengan bahan untuk murid di sekolah biasa pada masing-masing tingkatan kelas. Cara menyampaikannya saja yang berbeda. ''Saya lebih sering menempatkan diri saya sebagai teman mereka daripada bertindak sebagai guru. Situasi dan kondisinya memang berbeda dengan sekolah biasa.''

Komunikasi dengan murid-murid, tidak sebatas menyampaikan pelajaran. Riniatun mengaku kerap menampung berbagai keluhan pribadi anak didiknya. ''Saya sering jadi tempat curhat mereka,'' ujarnya. Ada anak yang curhat karena kesal setelah dimarahi orang tuanya. ''Ada juga yang cerita tentang kedekatannya dengan teman tertentu. Misalnya, ada yang mulai suka pada temannya,'' kata Riniatun yang kini mengajar untuk murid kelas 6.

Kendati hubungan dengan murid-muridnya, menurut Riniatun, sudah seperti anak dan orang tua, tak menghalanginya untuk bersikap tegas dan menegakkan disiplin selama jam belajar. Bila ada anak yang tidak mengerjakan pekerjaan rumah (PR) yang diberikan, tetap dijatuhi sanksi. Anak-anak yang nakal juga dimarahi. ''Kalau marah biasanya, saya liatin saja terus. Kalau belum merasa juga baru saya acungin telunjuk saya ke arah anak yang dimarahi. Kalau sudah begitu biasanya mereka langsung ngerti.''

Seperti laut yang jadi muara bagi semua aliran sungai. Riniatun tak cuma jadi tempat curhat muridnya, orang tua siswa juga kerap datang berkeluh kesah tentang anak-anak mereka. Dari yang bercerita tentang anak-anak yang berubah, dari anak manis tiba-tiba jadi sulit diatur sampai masalah ekonomi keluarga. ''Namanya juga orang tua, semua hal tentang anak pasti dipikirkan,'' katanya.

''Kalau ada anak yang setelah jam bubar sekolah belum juga sampai di rumah, biasanya orang tua mereka telepon saya,'' katanya. Di handphonenya Riniatun menyimpan nomor semua orang tua murid dan murid di kelasnya.

Di Provinsi Kepulauan Riau, anak-anak Sekolah Luar Biasa Kartini adalah langganan juara berbagai kompetisi antarpelajar sekolah luar biasa. Ada yang juara lomba desain grafis dan akan mewakili Kepri pada ringkat nasional di Surabaya tanggal 14 Juni 2010. Ada juga juara lomba pantomin dan jadi wakil Kepri pada lomba tingkat nasional. ''Murid-murid kita juga ada yang juara bulu tangkis dan seni lukis tingkat provinsi,'' katanya.

Pesan Bapak
''Kamu jadi guru saja. Terserah mau jadi guru apa.'' Pesan itu masih diingat Riniatun. ''Bapak bilang gitu ke saya, waktu saya mikir-mikir mau sekolah ke mana,'' katanya. Ia akhirnya memilih Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa Yogyakarta. Awalnya, ia tak punya gambaran apa-apa tentang sekolah yang akan dimasukinya. ''Saya pilih itu, karena hanya sekolah itu yang dekat dengan rumah saya,'' ujar ibu satu anak kelahiran Sleman ini.

Saat memilih jurusan B atau tuna rungu sebagai spesialisasinya, Riniatun juga tak punya alasan khusus karena tak punya informasi apa-apa tentang kelas tuna rungu. ''Pokoknya saya masuk saja. Setelah itu saya jalani saja. Oh, ternyata seperti ini,'' katanya.

Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa Yogyakarta berada satu lingkungan dengan sekolah luar biasa. ''Kita langsung praktik di sekolah itu. Tidak hanya teori. Makanya, meskipun lama nganggur setelah lulus, saya masih ingat pelajaran dan metodenya,'' katanya.

Riniatun kini tak hanya menikmati profesinya sebagai guru. Dengan menguasai bahasa isyarat ia kerap diundang sebagai penerjemah di berbagai forum yang dihadiri peserta tuna rungu. Ia juga sering dikirim mengikuti berbagai pelatihan dan pendidikan untuk memperluas pengetahuan dan wawasannya tentang pendidikan di sekolah luar biasa.

Riniatun bertekad mengabdikan hidupnya selamanya sebagai guru untuk anak-anak tuna rungu. ''Insya Allah selamanya saya akan jadi guru tuna rungu. Pahalanya itu yang dicari. Saya senang bisa membantu anak-anak,'' katanya. Ia bahagia dengan apa yang dijalaninya saat ini, sebagai guru sekaligus teman "bicara" anak-anak tuna rungu.  ''Saya happy kalau bisa membuat anak-anak ngerti sesuatu dari yang mulanya tidak mengerti sama sekali.'' ***

2 comments:

Unknown said...

like

Web Hosting said...

Hi! I’m impressed, I must say. Really rarely do I encounter a blog that’s both educative and entertaining, and let me tell you, you have hit the nail on the head. Your idea is outstanding; the issue is something that not enough people are speaking intelligently about.