Wednesday, June 23, 2010

Tusiran Merawat Pantun

BERKARYA dan menoreh prestasi dalam sunyi. Begitulah potret hidup sastrawan dan budayawan Tanjungpinang Tusiran Suseno. ''Saya sebenarnya tak suka ditulis-tulis media,'' katanya. ''Saya grogi kalau diwawancara.''

Jika kita membuka file pemberitaan media massa tentang kiprah sastrawan dan budayawan di Kepulauan Riau dalam lima tahun terakhir, nama Tusiran muncul, barangkali, tak lebih dari jumlah jari tangan. ''Bukan apa-apa, saya ini dulu wartawan. Kerja saya nanya-nanya kayak Anda ini. Sekarang kalau saya ditanya-tanya, jadi merasa nggak enak saja,'' ujarnya memberi alasan. 



Tusiran adalah sastrawan produktif. Ia memulai karir sastra dan seni secara "formal" ketika bekerja di Radio Republik Indonesia (RRI) Tanjungpinang, pada tahun 1977. Di radio pelat merah itu, Tusiran yang mulanya bekerja sebagai pesuruh dan tukang bersih-bersih, belajar menulis naskah sandiwara radio. ''Pertama saya tengok-tengok saja cara orang bikin naskah. Lalu saya coba-coba. Akhirnya naskah saya dipakai,'' tuturnya.

Hingga berhenti dari RRI di penghujung 1990-an, Tusiran telah membuat 1.008 judul sandiwara radio. ''Semuanya sudah pernah ditayangkan,'' katanya. Satu naskah berjudul Ombak Gelombang terpilih sebagai naskah sandiwara radio terbaik nasional pada tahun 1991. Prestasi itu mengantarkan Tusiran mewakili Indonesia pada pemilihan sandiwara radio tingkat Asia di Jepang pada tahun yang sama. ''Namanya Morris High Award. Itu semacam Piala Citranya radiolah,'' katanya.

Menurut dia, tantangan menulis naskah sandiwara radio jauh lebih berat dibanding naskah sinetron yang kini marak di televisi. ''Sandiwara radio lebih imajinatif. Orang hanya dengar suara saja, yang bercerita pun tidak ada di depan mata mereka, tapi pendengar bisa larut dalam cerita. Emosi mereka ikut terbawa,'' katanya.

Sayangnya, kata Tusiran, tak semua naskah yang pernah ditulisnya itu bisa diarsipkan. ''Hanya sekitar 800 judul saja,'' katanya. Sisanya terpaksa dibakar saat RRI Tanjungpinang pindah kantor. RRI tak punya tempat lagi untuk menampung seluruh arsip yang mereka miliki. 'Itulah buruknya sistem kearsipan kita. Kalau arsipnya sudah di atas lima tahun, dimusnahkan,'' katanya. Arsip naskah yang bisa diselamatkan itu disimpan di rumahnya. Tapi sial bagi Tusiran, rumahnya kebanjiran pula pada akhir 2009 silam. ''Sebagian naskah-naskah itu rusak karena basah,'' katanya.

Kemampuan menulis naskah, sesungguhnya, kata dia, sudah terasah ketika kecil dia sering melihat-lihat seniman Tanjungpinang tampil di Teater Grota, yang diasuh Mazumi Daud. ''Kebetulan teater itu di sebelah rumah saya di Batu 2,5,'' katanya. Penampilan Mazumilah yang membuat ia tergila-gila pada seni dan sastra. ''Saya selalu ingin menulis puisi dan cerita,'' ujarnya. ''Sampai-sampai ibu saya menjual peniti miliknya untuk beli mesin tik buat saya,'' Tusiran menuturkan.

Kendati amat produktif dalam menulis naskah sandiwara radio, di Tanjungpinang Tusiran lebih dikenal karena kepiawaiannya melahirkan pantun. Hingga saat ini, kata Tusiran, dia sudah punya 180 ribu lebih judul pantun dengan beragam tema. Tentu saja, itu tidak termasuk puluhan pantun "konsumsi orang dewasa" yang juga ditulisnya. ''Itu kalau lagi iseng-iseng saja. Makanya, tak pernah saya publikasi,'' ujarnya terkekeh. Walau mengaku hanya untuk "iseng-iseng saja", toh Tusiran tetap mencatat pantun-pantun tersebut dengan rapi dalam sebuh buku catatan. Ia membacakan beberapa pantun ''orang dewasa" itu di tengah wawancara. ''Tapi, jangan Anda tulis pula,'' katanya.

Tusiran mengatakan, seluruh pantunnya bersajak sempurna. Artinya, ekor kata di tengah kalimat -bukan saja ekor kalimat- memiliki bunyi yang sama. ''Itu tidak mudah,'' ucapnya. Contohnya: ambil kain di dalam kedai//kain tenun mahal harganya//kalau ingin jadi pandai//belajar tekun sepanjang masa//. Dalam pantun itu, kata "kain" dan "ingin" punya bunyi yang sama. Begitu pula kata "tenun" dan "tekun".

Karena pantunlah Tusiran bisa bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Itu terjadi tahun 2006, saat deklarasi Tanjungpinang Negeri Pantun di Taman Ismail Marzuki. Saat bersalaman, Tusiran menuturkan, SBY kaget dan bertanya, ''Sampeyan ini orang Jawa opo orang Melayu?'' Mendengar pertanyaan itu Tusiran hanya tersenyum. ''Mau dijelaskan ceritanya panjang, waktunya sempit,'' ujarnya.  ''Nama saya berbau Jawa, karena memang orang tua saya dua-duanya dari Jawa,'' kata Tusiran yang lahir di Tanjungpinang 30 Juni 1957.

Tusiran yang dinobatkan sebagai Seniman Kota Tanjungpinang pada tahun 2009 lalu, telah membukukan sejumlah pantunnya dengan judul Mari Berpantun. ''Buku itu sudah cetak ketiga sekarang,'' katanya. Buku Mari Berpantun dijadikan acuan dalam pelajaran sastra dan budaya di sekolah-sekolah di Tanjungpinang.

Mencipta pantun bagi Tusiran bisa di mana saja. Ia tak perlu merenung lama untuk dapat ide melahirkan pantun baru. ''Di mana saja dan kapan saja bisa dapat ide,'' ujarnya. Ia mencatat seluruh pantun-pantun tersebut dengan rapi. ''Sehari maksimal saya bisa buat 100 pantun,'' katanya. Kemana-mana Tusiran membawa empat buah buku tulis, yang masing-masing tebalnya 2 centimeter. ''Kalau lagi di tempat ramai, saya tak catat di buku, tapi catat pakai handphone dulu. Pulang ke rumah baru saya pindah ke buku,'' katanya.

Tusiran punya mimpi, kelak sebelum wafat, ia bisa mencipta sejuta judul pantun. ''Memang berat, tapi bukan tak mungkin,'' ujarnya. ''Itu bisa masuk museum rekor,'' ucap Tusiran.

Saking cintanya pada pantun, dalam sejumlah novel yang sudah diterbitkannya -Ia sudah menerbitkan empat judul novel-, Tusiran selalu menyelipkan pantun dalam alur cerita novel-novel tersebut. ''Itu ciri khas novel saya. Ada pantun di dalamnya,'' katanya. Satu novelnya berjudul Mutiara Karam terpilih sebagai pemanang pada kompetisi yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta tahun 2006. ''Kini saya punya naskah empat novel yang siap terbit. Begitu ada sponsor bisa langsung terbit,'' katanya.

Tusiran mengaku anti membuat karya yang reaktif terhadap isu-isu yang sedang hangat dan bersifat sesaat. Maksudnya, jika sekarang sedang hangat isu tentang pemilihan gubernur, ia tidak akan membuat karya terkait pemilihan gubernur. ''Saya nggak memanfaatkan isu-isu seperti itu untuk cari keuntungan. Saya alami saja. Makanya, kadang karya saya surut ke belakang berupa refleksi sejarah,'' katanya.

Di kalangan seniman Tanjungpinang, Tusiran kini dikenal sebagai penasihat Wali Kota Tanjungpinang Suryatati Manan dalam membuat puisi. ''Saya tak bilang begitu. Tapi, setiap kali tampil di depan publik beliau (Suryatati) selalu menyebut saya sebagai gurunya, seperti di acara Kick Andy dan Anugerah Sagang,'' katanya. Suryatati belakangan memang sering tampil membaca puisi di depan publik. ''Biasanya, setiap selesai bikin puisi, beliau kasih lihat ke saya dan tanya-tanya apakah bagus atau tidak. Saya selalu bilang bagus,'' kata Tusiran.

Sejak beberapa tahun lalu, Tusiran diangkat sebagai pegawai negeri sipil di Pemerintah Kota Tanjungpinang. Ia bertugas di Perpustakaan Kota Tanjungpinang dengan jabatan kepala Seksi Pengolahan. ''Selain itu saya juga mengajar sastra dan budaya untuk muatan lokal di sekolah-sekolah,'' katanya. Ia kini juga membuka kursus gratis sastra kepada warga di rumahnya di Jalan Bhayangkara Nomor 31 Tanjungpinang. Rumahnya diberi nama Rumah Pantun Madah Kencana. ***

No comments: