Monday, January 23, 2012

Roh Moo-hyun

DI usianya yang tak lagi muda, 62 tahun, Roh Moo-hyun mestinya hidup dalam ketenangan. Jabatan  Presiden Korea Selatan yang pernah digenggamnya selama lima tahun, dari 2003-2008, lebih dari  cukup untuk menjamin kesejahteraan di hari tua.

Tetapi, di hari-hari masa pensiunnya, Roh adalah seorang yang gelisah. "Banyak orang menderita  karena saya," ujarnya. "Apa yang saya lakukan di akhir hayat hanya jadi beban untuk orang lain."



Sabtu pagi, 23 Mei 2009, kegalauan hati dan pikiran Roh mencapai puncaknya. Dari sebuah tebing  terjal, tak jauh dari rumahnya di pinggiran Seoul, mantan aktivis hak asasi manusia Korea Selatan itu,  terjun bebas. Roh memilih mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.

Adalah penyelidikan jaksa terhadap dugaan menerima suap semasa jadi presiden, yang ditimpakan  kepadanya, yang memicu kegelisahan Roh hingga maut menjemputnya. "Saya tidak mempunyai muka  lagi buat rakyat. Saya mohon maaf telah mengecewakan Anda," kata Roh, usai diperiksa jaksa, 22  hari sebelum ia bunuh diri.

Kekecewaan tak hanya mengendap dalam diri Roh, jutaan warga Negeri Ginseng juga terguncang  setelah terkuaknya skandal yang menimpa figur yang selama ini dikenal antikorupsi. Sebelumnya, Roh  adalah simbol politisi bersih dan pekerja keras.

Perjuangan hidupnya, yang berangkat dari sebuah keluarga miskin di Busan hingga bisa meraih kursi  presiden, adalah kisah yang kerap diceritakan untuk menginspirasi generasi baru Korea Selatan. Roh  tak pernah kuliah. Ia belajar jadi pengacara secara otodidak, dan berhasil memperoleh lisensi sebagai  advokat. Karir sebagai pengacaralah yang mengantar Roh meraih reputasi tinggi. Tapi, kemasyuran   sebagai "orang lurus" yang menjulang itu, kini, pupus sudah.   

Ia diduga menerima suap sebesar 6 juta dolar AS dari seorang pengusaha bernama Park Yeon-cha. Di  persidangan, Roh membantah tuduhan itu. Tetapi, Kim Dae-jung, sahabat sekaligus Presiden Korea  Selatan sebelum Roh, mengatakan sorotan media yang tajam terhadap kasus yang menimpa  rekannya itu, membuat Roh tak sanggup berada dalam tekanan. Aib itu, meski masih butuh  pembuktian di persidangan dan hakim belum menjatuhkan vonis, telah meluruhkan harga diri dan  martabatnya.

Rasa malu akibat skandal yang melilitnya membuat hidup Roh harus berakhir tragis.

Di Indonesia, negara yang berjarak 5.290 kilometer dari Semenanjung Korea, para pejabat dan bekas  pejabat yang sudah terbukti korupsi dan terima suap, bahkan dengan bukti yang sangat telanjang  sekalipun, tak pernah tahu apa arti kata malu. Di sini, para koruptor malah menjelma jadi selebriti.

Sebab itu, ketika melangkah dari kursi pesakitan di pengadilan atau dari penjara menuju ruang sidang  dan ruang pemeriksaan, tebaran senyum dan lambaian tangan kepada rakyat yang menonton melalui  media massa, adalah bagian yang tak terpisahkan. Itulah selebrasi korupsi di Indonesia. "Mohon doa  dan dukungannya, ya." Ampun Gusti! Setelah mengkhianati rakyat, mereka masih meminta rakyat  mendoakan mereka!

Tak sedikit pula, di antara mereka yang terbukti korupsi dan terima suap dengan fakta yang telanjang,  mengaku masih punya nama baik. Sebab itu, ancaman membuat laporan pencemaran nama baik  terhadap orang-orang yang membongkar kasus mereka, kerap dilancarkan. Tidakkah mereka sadar,  setelah hakim menjatuhkan vonis, dan menyatakan seseorang terbukti korupsi, ia sudah tak punya  nama baik lagi. Mereka adalah koruptor! ***

No comments: