Tuesday, January 31, 2012

Pak Ruhmari dan Mas Teguh

PAK RUHMARI dan Mas Teguh, ayah dan anak dari Jepara, adalah orang kecil belaka. Jika tak ada  peristiwa getir yang melibatkan keluarga mereka, dan diekspos luas media massa, barangkali kita  takkan mengenal keduanya.

Pak Ruhmari dan Mas Teguh adalah orang kecil belaka, bukan sosialita kota yang sering datang ke  acara-acara amal untuk orang miskin dengan tas kulit, rambut berlumur jelly, dan sneakers berharga  puluhan juta.

Tetapi, kelapangan dan ketulusan hati mereka melampaui sekat-sekat teritorial dan status sosial yang  dibuat manusia. 



Di tengah sesaknya dada karena duka setelah kehilangan orang-orang yang mereka cintai, Pak  Ruhmari dan Mas Teguh membuka hati untuk memaafkan sosok yang telah merenggut nyawa  orang-orang terkasih mereka. Padahal, belum genap sepuluh hari tragedi itu terjadi. Sungguh sesuatu  yang tak mudah untuk dijalankan oleh manusia.

Di layar kaca, Selasa malam lalu, saya menyaksikan itu, saat bara kemarahan meluap di seantero  Indonesia; di Bima orang-orang membakar kantor bupati karena pemerintahnya tuli dan buta hati, di  Lampung dua etnis saling serang yang menyebabkan puluhan keluarga mengungsi, di Kalimantan Selatan kelompok masyarakat adat menghunus mandau mencegat truk batu bara untuk menuntut ganti  rugi atas tanah mereka yang dikeruk isinya.

Pak Ruhmari dan Mas Teguh jadi oase di tengah gerahnya atmosfer hidup di Indonesia belakangan  ini, karena pemimpin yang selalu absen saat rakyat membutuhkan kehadiran dan ketegasannya.

Pak Ruhmari dan Mas Teguh datang dari Desa Singorojo Wetan, Kecamatan Mayong, Jepara. Jika  tak ada kecelakaan "Xenia Maut" di depan Tugu Tani, Jakarta dengan sembilan korban jiwa, Minggu  (22/1) lalu, mungkin kita tak pernah tahu dimana desa itu berada.

Tak tanggung-tanggung, Pak Ruhmari dan Mas Teguh kehilangan empat anggota keluarga mereka  sekaligus. Nani Riyanti (anak Pak Ruhmari, adik Mas Teguh), Yusuf Sigit Prasetya (anak Mas Teguh,  cucu Pak Ruhmari), Suyatmi (adik Pak Ruhmari, bibi Mas Teguh), dan Nur Alfi Fitriansih (keponakan  Pak Ruhmari, sepupu Mas Teguh) takkan bisa dijumpai lagi oleh Pak Ruhmari dan Mas Teguh serta  keluarga besar mereka. Mereka pergi dengan cara yang tentu tak pernah terpikirkan sebelumnya.

"Kami berangkat ke Jakarta untuk melihat Monas. Semua terjadi begitu cepat," tutur Mas Teguh.

"Saya telah mengikhlaskan apa yang terjadi. Sebagai umat Islam, memaafkan itu, harus. Saya tak  punya dendam kepada sopir yang menabrak keluarga saya," kata Pak Ruhmari.

Pak Ruhmari dan Mas Teguh lantas menerima uluran tangan dan pelukan dari ibunda Afriyani Susanti,  pengemudi "Xenia Maut"  yang menewaskan orang-orang terkasih mereka. Pintu maaf telah dibukakan  dan hukum mesti terus berjalan. Tetapi, memelihara dendam sepanjang hidup sembari meratapi  kematian tentu bukan pilihan yang baik. Pak Ruhmari dan Mas Teguh menyadari hidup adalah  melangkah ke depan.

Karni Ilyas, Pemimpin Redaksi TV One, yang memfasilitasi pertemuan kedua keluarga itu, mengutip Al  Quran surat Ali Imran, yang intinya menyebutkan, "Orang bertakwa adalah orang yang bisa  memaafkan di saat kesempitan datang kepadanya dan di saat ia punya kekuasaan besar untuk  membalas dendam."

Pak Ruhmari dan Mas Teguh, terima kasih atas pelajaran hidup yang kalian berikan, setidaknya untuk  saya pribadi yang melihat di layar kaca malam itu. Teladan tentang kebesaran hati dan kewibawaan  diri tak mesti datang dari pemimpin-pemimpin hebat dan berpendidikan tinggi. Dan, memang, yang kita  butuhkan hari ini bukanlah pemimpin, tapi pemberi teladan. Pak Ruhmari dan Mas Teguh telah  memulainya. Bravo! ***   

1 comment:

Anonymous said...

Kalo ada Produser dan sutradara yg jeli kedua org tersebut jadikan bintang sinetron, bakal laku keras deh sinetronnya, karena mereka sudah terkenal.