PAK RUHMARI dan Mas Teguh, ayah dan anak dari Jepara, adalah orang kecil belaka. Jika tak ada peristiwa getir yang melibatkan keluarga mereka, dan diekspos luas media massa, barangkali kita takkan mengenal keduanya.
Pak Ruhmari dan Mas Teguh adalah orang kecil belaka, bukan sosialita kota yang sering datang ke acara-acara amal untuk orang miskin dengan tas kulit, rambut berlumur jelly, dan sneakers berharga puluhan juta.
Tetapi, kelapangan dan ketulusan hati mereka melampaui sekat-sekat teritorial dan status sosial yang dibuat manusia.
Di tengah sesaknya dada karena duka setelah kehilangan orang-orang yang mereka cintai, Pak Ruhmari dan Mas Teguh membuka hati untuk memaafkan sosok yang telah merenggut nyawa orang-orang terkasih mereka. Padahal, belum genap sepuluh hari tragedi itu terjadi. Sungguh sesuatu yang tak mudah untuk dijalankan oleh manusia.
Di layar kaca, Selasa malam lalu, saya menyaksikan itu, saat bara kemarahan meluap di seantero Indonesia; di Bima orang-orang membakar kantor bupati karena pemerintahnya tuli dan buta hati, di Lampung dua etnis saling serang yang menyebabkan puluhan keluarga mengungsi, di Kalimantan Selatan kelompok masyarakat adat menghunus mandau mencegat truk batu bara untuk menuntut ganti rugi atas tanah mereka yang dikeruk isinya.
Pak Ruhmari dan Mas Teguh jadi oase di tengah gerahnya atmosfer hidup di Indonesia belakangan ini, karena pemimpin yang selalu absen saat rakyat membutuhkan kehadiran dan ketegasannya.
Pak Ruhmari dan Mas Teguh datang dari Desa Singorojo Wetan, Kecamatan Mayong, Jepara. Jika tak ada kecelakaan "Xenia Maut" di depan Tugu Tani, Jakarta dengan sembilan korban jiwa, Minggu (22/1) lalu, mungkin kita tak pernah tahu dimana desa itu berada.
Tak tanggung-tanggung, Pak Ruhmari dan Mas Teguh kehilangan empat anggota keluarga mereka sekaligus. Nani Riyanti (anak Pak Ruhmari, adik Mas Teguh), Yusuf Sigit Prasetya (anak Mas Teguh, cucu Pak Ruhmari), Suyatmi (adik Pak Ruhmari, bibi Mas Teguh), dan Nur Alfi Fitriansih (keponakan Pak Ruhmari, sepupu Mas Teguh) takkan bisa dijumpai lagi oleh Pak Ruhmari dan Mas Teguh serta keluarga besar mereka. Mereka pergi dengan cara yang tentu tak pernah terpikirkan sebelumnya.
"Kami berangkat ke Jakarta untuk melihat Monas. Semua terjadi begitu cepat," tutur Mas Teguh.
"Saya telah mengikhlaskan apa yang terjadi. Sebagai umat Islam, memaafkan itu, harus. Saya tak punya dendam kepada sopir yang menabrak keluarga saya," kata Pak Ruhmari.
Pak Ruhmari dan Mas Teguh lantas menerima uluran tangan dan pelukan dari ibunda Afriyani Susanti, pengemudi "Xenia Maut" yang menewaskan orang-orang terkasih mereka. Pintu maaf telah dibukakan dan hukum mesti terus berjalan. Tetapi, memelihara dendam sepanjang hidup sembari meratapi kematian tentu bukan pilihan yang baik. Pak Ruhmari dan Mas Teguh menyadari hidup adalah melangkah ke depan.
Karni Ilyas, Pemimpin Redaksi TV One, yang memfasilitasi pertemuan kedua keluarga itu, mengutip Al Quran surat Ali Imran, yang intinya menyebutkan, "Orang bertakwa adalah orang yang bisa memaafkan di saat kesempitan datang kepadanya dan di saat ia punya kekuasaan besar untuk membalas dendam."
Pak Ruhmari dan Mas Teguh, terima kasih atas pelajaran hidup yang kalian berikan, setidaknya untuk saya pribadi yang melihat di layar kaca malam itu. Teladan tentang kebesaran hati dan kewibawaan diri tak mesti datang dari pemimpin-pemimpin hebat dan berpendidikan tinggi. Dan, memang, yang kita butuhkan hari ini bukanlah pemimpin, tapi pemberi teladan. Pak Ruhmari dan Mas Teguh telah memulainya. Bravo! ***
1 comment:
Kalo ada Produser dan sutradara yg jeli kedua org tersebut jadikan bintang sinetron, bakal laku keras deh sinetronnya, karena mereka sudah terkenal.
Post a Comment