Monday, April 5, 2010

Nasib Pahit Tionghoa Kebun Karet

PADA sebuah meja di beranda rumahnya yang bersebelahan dengan dapur, di Seipancur, Kecamatan Seibeduk, Batam, pasangan suami-istri Thang Ajek dan Tang Alian melahap makan siang mereka, Kamis (1/4). Gulai ikan kuah kuning adalah satu-satunya menu yang terhidang, ditemani sepiring kecil sambal goreng. Dua ekor anjing piaraan lalu lalang dari kolong meja ke sudut-sudut beranda, tak mengusik kenikmatan santap siang tuan rumah. 


Thang Ajek, sang suami, yang hanya mengenakan celana pendek warna abu-abu tua tanpa baju menutupi badannya yang kurus, melepaskan sendawa dan membakar sebatang rokok kretek merek Kencana, saat istrinya mengangkut piring dan sisa makanan ke dapur. 

Thang Ajek adalah generasi kedua komunitas Tionghoa di Pulau Batam. Ayahnya, Thang Seiu berasal dari China dan merantau ke Batam tak lama setelah Indonesia merdeka. ''Bapak pernah cerita, saat dia tiba di Batam dari Tiongkok umurnya baru 15 tahun,'' kata Tang Alian, mengenang mertuanya. Sejak pertama menginjakkan kaki di Pulau Batam, Thang Seiu menetap di kawasan sekitar Dam Duriangkang.

Kalangan Tionghoa Batam meyakini, komunitas yang tinggal di sekitar Duriangkang ini adalah  generasi pertama komunitas Tionghoa di Pulau Batam. Di tempat tinggal barunya itulah, ayah Tang Ajek bertemu jodohnya, dan menikah. ''Ibu saya lahir di Mukakuning,'' kata Thang Ajek yang lahir tahun 1959 di Duriangkang.  Ketika ia kecil, kata dia, setidaknya ada sekitar 100 keluarga Tionghoa menghuni kawasan Duriangkang, Mukakuning dan sekitarnya. ''Umumnya mereka mengelola kebun karet dan bertanam singkong,'' katanya. Salah satunya, kata Thang Ajek, adalah keluarga Abi, pemilik Restoran Golden Prawn di Bengkong.

Menurut Thang Ajek, ayahnya punya kebun karet yang luasnya mencapai 30 hektare. ''Sebagian Dam Duriangkang dan Kawasan Industri Batamindo itu dulu kebun karet bapak saya,'' katanya. Tang Alian, sang istri, yang juga lahir di Mukakuning, orang tuanya juga pemilik kebun karet di sekitar Duriangkang. ''Rumah tinggal kami, di lokasi Masjid Nurul Iman Batamindo yang sekarang itu,'' kata Tang Alian.

Pada masa itu, kehidupan warga Tionghoa boleh dibilang gemah ripah. Pohon karet tak berhenti meneteskan getah. ''Rata-rata satu hari bisa dapat enam kilo getah,'' kata Thang Ajek. Harga per kilo, ketika itu, menurut Thang Ajek, sebesar 40 sen. Hasil panen dijual Tanjungpinang. ''Bawanya pakai pancung. Di Duriangkang dulu ada pelabuhan yang bisa langsung ke Pinang,'' ujar Tang Alian menambahkan.

Meski punya cukup duit dari hasil penjualan getah, warga Tionghoa yang bermukim di Duriangkang, Mukakuning dan sekitarnya, tetap tak bisa makan enak. Beras langka dan harganya menggila. ''Hampir tiap hari, kita makan nasi campur singkong,'' kata Thang Ajek. Mencampur nasi dengan singkong adalah cara terbaik untuk menghemat beras. ''Kalau mau beras, harus beli ke Tanjungpinang,'' ujarnya.

Masa kecil Thang Ajek dan Tang Alian berlangsung saat Indonesia berkonfrontasi dengan Malaysia. Pulau Batam adalah basis penempatan tentara Indonesia yang siap menyerbu Malaysia. ''KKO (pasukan Marinir) menyebar di mana-mana di sekitar Mukakuning dan Duriangkang. Banyak sekali,'' tutur Thang Ajek. Keberadaan pasukan KKO, walau sebenarnya ditakuti oleh warga, membawa berkah tersendiri. ''Mereka bikin sekolah, dan mereka jadi gurunya,'' kata Thang Ajek. Tapi, begitu konfrontasi usai, dan pasukan ditarik dari Pulau Batam, sekolah pun bubar. Thang Ajek yang ikut belajar di sekolah KKO hanya sampai kelas satu pendidikan dasar. ''Itu pun tidak sampai selesai. Sekolah bubar duluan,'' katanya. Tang Alian malah tidak pernah sekolah sama sekali. ''Tapi, saya bisa baca tulis,'' katanya.

Dominasi warga Tionghoa di sekitar Duriangkang dan Mukakuning tidak mengganggu hubungan antar-etnis di sana, ketika itu. ''Selain Tionghoa, orang Padang dan Flores banyak juga,'' kata Thang Ajek. Jika sesama warga Tionghoa bertemu mereka berkomunikasi dengan Bahasa Tiow Chioe. Sedangkan pergaulan lintas etnis menggunakan Bahasa Indonesia. ''Makanya, banyak orang Tionghoa yang fasih Bahasa Indonesia,'' kata Tang Alian.

Thang Ajek dan Tang Alian sudah menikah selama 30 tahun. Mereka dikaruniai empat orang anak, yang semuanya lahir di Duriangkang. Kini keempat anak mereka sudah menikah dan tinggal bersama pasangan masing-masing. Ada yang di Jambi, di Jodoh, dan di Nagoya. ''Dua menantu saya bukan Tionghoa. Satu orang Bugis, satu lagi orang Jawa,'' kata Tang Alian.

***
TAHUN 1991, pemerintah menerbitkan perintah pengosongan kebun dan lahan permukiman milik komunitas Tionghoa di Duriangkang dan Mukakuning. Area itu akan dijadikan dam atau waduk serta kawasan Industri. ''Semua harus pindah,'' kenang Thang Ajek. Selain menyediakan rumah pengganti di Seipancur, sekitar empat kilometer dari Duriangkang, pemerintah juga mengganti rugi kebun milik warga.

Kebun milik Thang Seiu, ayah Thang Ajek yang luasnya 30 hektare diganti sebesar Rp40 juta. ''Tapi, ada sisa sembilan hektare lahan kami yang tidak diganti,'' kata Tang Alian. Malangnya, keluarga ini juga tak dapat rumah pengganti, seperti yang diberikan pemerintah kepada bekas penghuni lahan di Duriangkang. ''Kami tak tahu kenapa. Orang lain dapat, kok kami tidak,'' kata Tang Alian. Akhirnya, mereka membangun rumah liar (ruli) di atas lahan kosong di belakang perumahan pengganti yang disediakan Otorita Batam. Di rumah berdinding tripleks yang kerap kebanjiran jika hujan turun itulah, mereka tinggal sampai sekarang.

Sejak itulah, setelah haknya tidak diberikan secara adil oleh pemerintah, Tang Alian berjuang menuntut sesuatu, yang seharusnya ia dapatkan. ''Saya selalu datang ke Otorita menanyakan kenapa kami tak dapat rumah pengganti, seperti yang lain. Tapi tak pernah ada jawaban,'' kata Tang Alian. Ia menyebut nama Akmal dan Sunaryo, dua pegawai Otorita Batam yang selalu menemuinya setiap kali datang menanyakan haknya. Karena tak pernah ada kepastian, Tang Alian, akhirnya menyerah. ''Sampai capek saya ke sana, tak ada hasil juga. Sejak tahun lalu, saya tak pernah datang lagi,'' katanya.

Setelah tak punya kebun lagi, keluarga Thang Ajek-Tang Alian mencoba peruntungannya di bidang lain. Mereka pernah membuka usaha cuci mobil dekat pintu II Kawasan Industri Batamindo, dengan modal awal sebesar Rp35 juta, yang diambil dari sisa uang ganti rugi kebun dan pinjaman sanak saudara. Usaha itu tak bertahan lama. ''Mesinnya dicuri anak buah,'' kata Tang Alian. Kini, pasangan suami istri ini berdagang ikan segar di Pasar Seipancur. ''Kami beli dari nelayan di Kampung Bagan. Tapi, hasilnya tak terlalu bagus,'' kata Thang Ajek.

Kenapa tak ikut anak dan menantu? Menurut Tang Alian, suaminya tidak terbiasa tinggal di kota. Thang Ajek tak betah dan kurang nyaman dengan suasana perkotaan. ''Saya lahir dan besar di kebun. Kalau sekarang pergi ke Nagoya saya malah tak ngerti sama sekali,'' kata Thang Ajek. Bagi Thang Ajek, Batam zaman dulu jauh lebih enak dibanding Batam saat ini. ''Dulu bisa kerja di kebun. Belanja masih murah. Kepala tak pusing,'' katanya. ''Sekarang duit boleh saja banyak, tapi kalau belanja dapatnya sedikit.'' ***

No comments: