Tuesday, March 23, 2010

Redupnya Kilau Pulau Sambu

MENGENANG masa lalu bagi Safitri adalah beban yang berat, walau sederet peristiwa indah terekam jelas dalam ingatannya. ‘’Sedih rasanya kalau ingat zaman dulu. Semuanya indah. Rasanya ingin kembali, tapi kan nggak mungkin,’’ katanya. ‘’Saking bahagianya tinggal di sini, dulu saya sampai nggak ingin keluar dari Sambu,’’ ujarnya.


Safitri adalah salah satu warga yang pernah menikmati kejayaan Pulau Sambu, sebuah pulau kecil yang berjarak lima menit perjalanan dengan pancung (perahu mesin tempel) dari Pulau Belakangpadang, atau 15 menit dari Pelabuhan Sekupang, Batam. Pulau Sambu adalah lokasi depot BBM milik PT Pertamina.

Perempuan kelahiran Jakarta ini datang ke Sambu saat usianya masih delapan tahun, ikut ayahnya yang bekerja sebagai pegawai Pertamina.‘’Kini umur saya 41 tahun,’’ ungkapnya, saat ditemui di Pulau Sambu, Rabu (17/3).

Belasan bahkan puluhan tahun silam, ketika Batam masih belum jadi kota besar seperti sekarang, Pulau Sambu bagi Safitri dan segenap penghuninya adalah surga kecil. Semua kebutuhan hidup, dengan kualitas sangat baik, tersedia secara cuma-cuma. ‘’Tak ada yang ingin pindah dari Sambu. Semua senang tinggal di sini,’’ kata Safitri.

Tapi, Safitri dan ratusan warga Sambu lainnya tak bisa melawan kehendak zaman. Kilau keindahan pulau kecil itu redup pada pertengahan 1990-an, seiringnya surutnya sinar bisnis PT Pertamina. ‘’Sekarang saya mengirim anak-anak sekolah keluar, biar mereka tambah wawasan dan pengetahuan. Sambu sekarang dengan dulu memang beda,’’ katanya menerawang.

Ketika ia datang 33 tahun lalu, cerita Safitri, Pulau Sambu punya semua fasilitas yang boleh dibilang cukup moderen pada masa itu. ‘’Dulu di sini ada bioskop. Yang di sebelah ini,’’ ujarnya sembari menunjuk gedung di samping tempatnya bekerja saat ini. Papan nama  ‘Nusa Indah’ yang terbuat dari besi masih menempel di bagian atas gedung itu. Tapi kondisi gedung tersebut tidak terawat. Beberapa bagian langit-langitnya rusak karena dimakan rayap. Lantai bagian depannya kotor.

Bioskop Nusa Indah rutin memutar film tiap hari. Film khusus anak-anak biasanya diputar pada sore hari. Malam harinya adalah giliran orang tua. ‘’Karyawan dan anak-anak Pertamina gratis nonton di sini,’’ tutur Dwi Prakarsa, yang bekerja di Pulau Sambu sejak 1986.

Bioskop Nusa Indah punya kapasitas sekitar 300 tempat duduk. ”Tempat duduknya berjenjang-jenjang, mirip bioskop zaman sekarang. Cukup nyamanlah saat itu,’’ kata Dwi. Selain bioskop, pemutaran film juga kerap dilakukan di lapangan terbuka atau “bioskop misbar”, gerimis bubar. Safitri ingat persis film terakhir yang diputar di Nusa Indah adalah Arie Hanggara.

Karyawan Pertamina yang tinggal di Sambu, pada masa itu, tak perlu merisaukan pendidikan bagi anak-anak mereka. Sebuah sekolah dengan standar tinggi disediakan perusahaan melalui Yayasan Kesejahteraan Pegawai Pertamina (YKPP) atau biasa disebut Yaktapena. Seperti halnya nonton bioskop, sekolah di sini pun gratis. Guru-guru terbaik didatangkan perusahaan untuk mengajar di sekolah yang bangunannya cukup luas dan megah itu. ‘’Sejak tahun 2000 sekolah Yaktapena bubar. Sekarang diganti jadi kelas jauh SD 001 Belakangpadang,’’ kata Safitri.

Fasilitas kesehatan juga cukup baik. Perusahaan menyediakan klinik lengkap dengan para dokter yang siap membantu segala keluhan kesehatan karyawan dan keluarganya. Dwi Prakarsa yang dari dulu sampai sekarang bekerja di klinik tersebut mengisahkan, meski bersatus klinik, pusat layanan kesehatan itu sesungguhnya punya standar sama dengan rumah sakit. Bahkan melayani ra­wat inap segala.
‘’Kalau se­ka­rang berobat jalan saja,’’ katanya.

Bagi karyawan dan keluarganya yang ingin liburan tak perlu cemas. Speedboat milik Pertamina siap mengantar penghuni Pulau Sambu ke Singapura tanpa dipungut biaya, tiap akhir pekan. ‘’Udah nggak bayar, masuk Singapura juga nggak perlu paspor, cukup ngasih KTP saja. Pokoknya, benar-benar asyik,’’ kata Safitri tersenyum mengenang masa-masa indah itu. Kini, tentu saja, fasilitas itu tak ada lagi. Sekarang, Pertamina hanya menyediakan pengantaran gratis ke Batam dua kali sebulan (minggu pertama dan ketiga), dan ke Belakangpadang dua kali juga sebulan (minggu kedua dan keempat).

Di masa keemasannya, segala kebutuhan pokok warga Pulau Sambu bisa didapat di pasar yang berada tak jauh dari dermaga pelabuhan. Deretan kios memang masih berdiri hingga kini, tapi pintunya tertutup rapat. Satu-satunya yang masih buka, setidaknya yang tampak pada Rabu (17/3) siang, hanyalah kios milik penjahit pakaian. Kini, sayur dan bahan makanan lainnya hanya tersedia di sebuah kedai kecil milik warga. ‘’Kalau mau beli yang lebih, harus ke Belakangpadang,’’ kata Dwi.

Kenyamanan dan kemewahan hidup di surga kecil Pulau Sambu membuat para karyawan PT Pertamina dan keluarganya betah menetap di sana. Buktinya, kata Safitri, rumah dinas perusahaan selalu penuh oleh karyawan dan keluarganya. Air dan listrik tersedia sangat cukup. ‘’Sekarang rumah malah banyak yang kosong,’’ ujarnya. Diperkirakan kini hanya tersisa sekitar 100 keluarga di sana. Listrik memang masih bagus, jarang ada pemadaman. Tapi pemakaian air bersih kini mulai dibatasi, hanya mengalir ke rumah warga dari pukul 06.00 WIB sampai pukul 08.00 WIB. ‘’Kita ngerti (air dibatasi), karena Pertamina kan juga beli ke Batam,’’ ujar Safitri.

Tak hanya fasilitas untuk karyawan yang disediakan Pertamina yang hilang satu per satu, berbagai unit kerja milik pemerintah pun ikut “pamit” dari Pulau Sambu. ‘’Dulu, waktu saya masih kecil di sini ada kantor kejaksaan. Saya bahkan sempat lihat sidang di situ, tapi nggak tahu sidang kasus apa. Sekarang kan kejaksaan nggak ada lagi,’’ kata Safitri. Kantor Pos pun tak beroperasi lagi. Gedungnya yang terletak di atas pasar, tampak kusam. Cat kuning gading yang menempel di dinding kini berubah kehitam-hitaman. Bank Mandiri, sepertinya, akan tercatat dalam sejarah Pulau Sambu sebagai satu-satunya bank yang pernah beroperasi di sana. ‘’Sudah tutup. Sudah agak lama juga, tapi saya lupa persisnya,’’ kata Dwi.

Menurut Safitri, Sambu mulai redup sejak tahun 1995. Ketika itu, banyak karyawan Pertamina mengajukan pensiun, dan berbondong-bondong keluar dari pulau itu. Sejak itulah, satu demi satu fasilitas hilang tanpa terasa.

Menyusuri Pulau Sambu saat ini, sisa-sisa kejayaan itu masih terlihat. Jalan dari paving block dan beton ditaburi batu granit, kondisinya masih bagus dan bersih. Deretan rumah panggung berarsitektur megah milik pejabat Pertamina menghadap ke Selat Malaka, dan dari pekarangannya bisa menatap gedung-gedung tinggi Singapura, menandakan bahwa kemewahan memang pernah hadir di sini. Sejak lima belas tahun terakhir rumah-rumah besar yang mirip villa itu kosong.

Bangunan rumah dan fasilitas umum yang mengikuti kontur tanah menunjukkan bahwa pembangunan Pulau Sambu memang didesain dengan sempurna. Pipa air bersih membentang di sepanjang sisi jalan, bahkan hingga ke Masjid Al Muhajirin yang berada di puncak bukit. Meski berada di ketinggian, air di tempat wudhu masjid ini mengalir cukup deras. Masjid Muhajirin yang dapat penghargaan sebagai masjid terbaik se-Batam tahun 2006 dilengkapi empat unit AC. Mungkin inilah satu-satunya masjid yang ada AC-nya di Batam.

Tak ada warga yang tahu pasti kapan Pulau Sambu dibangun sebagai sebuah surga kecil. Mencari secuil informasi resmi di pulau berstatus kawasan terbatas ini cukup sulit. ‘’Harus minta izin ke Pertamina Medan,’’ kata seorang petugas Satpam.

Ada yang menyebut Sambu didirikan sebagai terminal BBM tanggal 16 Agustus 1897 oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Safitri ingat, ia pernah kedatangan tamu seorang perempuan tua asal Belanda, belum lama ini. Perempuan itu kemudian minta ditemani ke lokasi rumah panggung di tepi pantai, bekas milik para pejabat. ‘’Ia lalu masuk ke salah satu rumah, dan bilang kalau dia lahir di rumah itu. Ia hapal seluruh titik Pulau Sambu dan bisa menjelaskan dengan baik,’’ katanya.

Tiap akhir pekan, Pulau Sambu kini rutin didatangi muda-mudi dan rombongan pekerja dari Batam yang ingin bertamasya. Pantainya yang bersih dan indah adalah daya tarik utama. Memandang birunya laut Selat Malaka dan gedung-gedung tinggi Singapura di siang hari, adalah kenikmatan tersendiri. Tapi, menurut Safitri, pemandangan yang paling menakjubkan di bibir pantai Pulau Sambu adalah saat matahari tenggelam. Langit merah kekuning-kuningan membentang sejauh mata memandang, sebelum gelap datang membekap. ‘’Sambu memang luar biasa,’’ ujarnya. ***

3 comments:

Unknown said...

bagus nih bang,..foto2 sambu di pajang??di album sambu island group byk tu bang,..ambil aja..atw di album sambu dan kenangan di fb saye

Anonymous said...

Judulnya bikin sedih,,,udah dibaca kok malah seneng ya? Saya sbg generasi yang entah keberapa puluh ato ratus, merasakan hal yg sama. Tigabelas tahun di sambu (sejak 1987) membuat saya sulit melepaskan bukan cuma diri tapi memori,,,:-)

Anonymous said...

Sedih juga mendengar cerita sambu sekarang. Saya lahir dan besar di pulau ini (hingga umur 11 tahun) merasakan makmurnya tinggal disini. Pulau-pulau lain disekitarnya masih sunyi. Bahkan waktu itu alat pembayaran yg sah adalah dollar Singapura (sebelum konfrontasi). Ingin juga saya ikut bercerita tentang sambu masa dulu. Agar lengkaplah cerita pulau yang cantik ini bagi generasi berikutnya.