Tuesday, March 9, 2010

Nasib Kasus Dana Bansos

HARAPAN terakhir membuka seterang-terangnya dugaan korupsi dana bantuan sosial (Bansos) Kota Batam kini hanya tersisa di Kejaksaan Negeri Batam. Kepala Kejaksaan Batam Tatang Sutarna berjanji akan menuntaskan kasus tersebut, dan menyeret orang-orang yang terlibat ke proses hukum. Jangan sampai kasus Dana Bansos punya nasib yang sama dengan kasus bagi-bagi upah pungut di Dinas Pendapatan Daerah Kota Batam, yang mandek tak jelas muaranya. Jika ditelisik lebih jauh, kasus upah pungut dan kasus Dana Bansos melibatkan nama yang sama, orang kuat yang punya akses langsung ke sumber-sumber dana di Kota Batam, dan tentu saja bagian dari kekuasaan.


Tanggal 18 Januari 2010, saya dan seorang fotografer bertemu Tatang di ruang kerjanya yang lapang untuk wawancara. Ia bersemangat mengisahkan kesuksesannya memenjarakan pejabat yang terlibat korupsi di beberapa daerah, dimana ia pernah bertugas sebagai jaksa. Ciamis, adalah daerah yang takkan pernah dilupakan Tatang. ''Sekda dan wakil ketua DPRD Ciamis saya penjarakan,'' ucapnya. Kebanggaan tersirat dari raut wajah dan tekanan kalimatnya.

Para pejabat itu, kata dia, mengorupsi dana bantuan untuk korban bencana alam. ''Itu dosanya dua kali lipat. Sudah korupsi, tambah lagi menzalimi orang-orang lemah korban bencana alam,'' kata Tatang. Secara pribadi, kata Tatang, ia mendesak musyawarah pimpinan daerah (Muspida) dibubarkan saja. ''Isinya lebih banyak membicarakan pengamanan proyek-proyek saja,”  ungkapnya.

Saya bertanya, apakah pada saat pemeriksaan dia pernah mendapat tawaran untuk mereduksi kasus tersebut, sebab ia dan pejabat yang diperiksa sama-sama unsur Muspida. Dengan suara agak keras, Tatang menjawab, ''Saya tak mau ikut berdosa dua kali. Pertama, melindungi orang korupsi. Kedua, secara tak langsung saya ikut menzalimi orang lemah yang butuh bantuan dana yang dikorupsi itu, kalau saya menutupi kasus tersebut.''

Tatang mengaku takut keluarganya kualat atau kena hukum karma karena menutupi kasus tersebut. ''Tahu sendirilah, doa orang-orang dizalimi kan manjur,'' ucapnya.

Mudah-mudahan, dalam menangani Dana Bansos Kota Batam, Tatang ingat pada bisikan hatinya saat menangani dana bantuan korban bencana alam di Ciamis, yang diucapkannya lagi kepada saya dan teman saya, bahwa dia tak mau berdosa dua kali. Sebab Dana Bansos dan dana bantuan korban bencana punya hakikat yang sama: sama-sama untuk orang kecil dan duafa!

Hari itu, kisah Tatang terasa kian heroik di kuping saya ketika dia bercerita perjuangannya memberantas korupsi membuat istrinya lumpuh disantet tersangka korupsi yang tengah diperiksanya. ''Waktu saya pindah tugas dari Ciamis, semua ormas dan LSM antikorupsi datang melepas kepergian saya dan keluarga. Di Ciamis pula saya banyak dapat penghargaan,'' tutur Tatang yang mengaku menerima gaji Rp5 juta sebulan untuk masa kerja 19 tahun.

Sekali lagi, mudah-mudahan Tatang konsisten alias istikomah. Setidaknya dalam kasus Dana Bansos ini saja. Sebab ini menyangkut nasib ratusan anak yatim dan piatu yang tinggal di panti asuhan-panti asuhan kumuh dan tak terawat karena keterbatasan biaya yayasan.

'Saya tak mau ikut berdosa dua kali. Pertama, melindungi orang korupsi. Kedua, secara tak langsung saya ikut menzalimi orang lemah yang butuh bantuan dana yang dikorupsi itu, kalau saya menutupi kasus tersebut.'' (Tatang Sutarna)

***
KOORDINATOR Indonesia Corruption Watch (ICW) Danang Widoyoko yang dihubungi lewat telepon mengatakan, Dana Bansos sejatinya adalah anggaran yang dialokasikan khusus untuk kaum miskin dan duafa. ''Namanya saja bantuan sosial,'' ujarnya. Dalam pos Dana Bansos Kota Batam tahun 2009, ada alokasi sebesar Rp4,5 miliar untuk panti asuhan. Meski dalam laporan keuangan dana tersebut habis disalurkan, nyatanya yang mengalir ke panti asuhan cuma Rp36 juta! Sisanya entah masuk ke kantong siapa. Inilah yang harus ditemukan oleh Tatang Sutarna, Kepala Kejaksaan Batam.

Danang menyebutkan, Dana Bansos adalah pos anggaran dalam APBD yang paling rawan dikorupsi. Sebab, proses untuk mendapatkannya sangat mudah. ''Tidak perlu tender. Cukup dengan proposal,'' katanya. ''Tanda terimanya pun hanya selembar kuitansi. Tak perlu keterangan lain-lain,'' kata Danang menambahkan.

Dalam beberapa kasus yang diteliti ICW, pemberian dana bantuan sosial kepada masyarakat kecil hanya kamuflase belaka. Kenyataannya dana lebih banyak dialirkan kepada organisasi dan kelompok-kelompok pendukung kepala daerah saat pilkada. ''Karena itu, pos Dana Bansos sering dibengkakkan dalam APBD,'' katanya.

Keterangan ICW ini bisa ditarik dalam konteks Dana Bansos Batam tahun 2007 yang merupakan tahun pertama Wali Kota Batam Ahmad Dahlan ikut menyusun APBD setelah dilantik usai menang pilkada. Dahlan dilantik tanggal 1 Maret 2006. Artinya, saat dia dilantik APBD tahun 2006 sudah disahkan oleh wali kota sebelumnya. Di penghujung tahun 2006 lah dia baru terlibat membahas APBD untuk tahun 2007. Pada tahun 2007 itu, Dana Bansos di APBD Batam melonjak dua kali lipat dari tahun sebelumnya jadi Rp53 miliar. Apakah dana yang tiba-tiba membesar ini untuk bayar utang politik setelah pilkada? Tugas kejaksaanlah menelusuri dan memastikannya.

Dalam APBD 2008 Dana Bansos turun lagi jadi Rp25 miliar. Di akhir 2008, Komisi Pemberantasan Korupsi sempat menyelidiki aliran Dana Bansos Kota Batam tahun anggaran 2007. Sekda Kota Batam Agussahiman mencak-mencak tiap kali wartawan menanyakan kasus ini.

Sebagai gambaran, pada survei yang dilakukan ICW akhir 2009 di sembilan provinsi, korupsi yang paling sering muncul adalah korupsi Dana Bansos. Tercatat ada 66 kasus dengan 153 tersangka. Kerugian negara mencapai Rp215,57 miliar. Dari sekian banyak kasus yang muncul, ICW mencatat modus korupsi paling banyak adalah proposal fiktif. Maksudnya, sebuah organisasi atau yayasan (kemungkinan juga fiktif) mengajukan proposal permintaan bantuan untuk suatu kegiatan. Tapi, kegiatan itu tak pernah diselenggarakan, duitnya dimakan ramai-ramai.

Boleh jadi untuk membayar jerih payah kelompok-kelompok pendukungnya saat memenangkan pilkada, seorang kepala daerah membuat proposal fiktif untuk mencairkan dana, atau mendorong kelompok-kelompok atau partai pendukungnya membuat proposal fiktif. Sebab, berdasarkan temuan ICW, pelaku terbanyak penilep Dana Bansos adalah anggota DPRD.

Sekali lagi, harapan terakhir disandarkan pada Kejaksaan Negeri Batam. Meminjam istilah inisiator Pansus Century DPR, jangan sampai kasus ini "masuk angin". ***

No comments: