Thursday, March 4, 2010

Wiji Thukul

 TIBA-tiba teringat Wiji Thukul, penyair dan aktivis buruh asal Solo yang hilang diculik karena sajak-sajaknya meresahkan penguasa. Sajak-sajak Wiji Thukul masih amat relevan dengan situasi saat ini: pemimpin yang mengaku bertanggung jawab, tapi buang badan ketika kerja anak buahnya ada yang mempermasalahkan; mengaku idealis, tapi kebenaran yang dipegangnya gampang goyah karena lobi dan bujuk rayu, pikirannya mudah disetir orang lain; pintar beretorika soal kepemimpinan yang baik, tapi buruk dalam memimpin; sok tegas, tapi sesungguhnya tak bisa menyembunyikan wajah ragu-ragu dan ambigu; menyebut diri ksatria, tapi takut mengambil risiko.


Sajak Suara
Sesungguhnya suara itu tak bisa diredam
Mulut bisa dibungkam
Namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang
Dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku?!

Suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
Di sana bersemayam kemerdekaan
Apabila engkau memaksa diam
Aku siapkan untukmu: pemberontakan!

Sesungguhnya suara itu bukan perampok
Yang ingin merayah hartamu
Ia ingin bicara
Mengapa kau kokang senjata
Dan gemetar ketika suara-suara itu
menuntut keadilan?!

Sesungguhnya suara itu akan menjadi kata
Ialah yang mengajari aku bertanya
Dan pada akhirnya tidak bisa tidak
Engkau harus menjawabnya
Apabila engkau tetap bertahan
Aku akan memburumu seperti kutukan! (*)

Peringatan
Jika rakyat pergi
ketika penguasa pidato
kita harus hati-hati
barangkali mereka putus asa

Kalau rakyat sembunyi
dan berbisik-bisik
ketika membicarakan masalahnya sendiri
penguasa harus waspada dan belajar mendengar

Bila rakyat tidak berani mengeluh
itu artinya sudah gawat
dan bila omongan penguasa
tidak boleh dibantah
kebenaran pasti terancam

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan mengganggu keamanan
maka hanya ada satu kata: lawan! (*)

Tirani Harus Tumbang
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau hendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun
Rumah dan merampas tanah

Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau kehendakiadanya
Engkau lebih suka membangun
Jalan raya dan pagar besi

Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang
Dirontokkan di bumi kami sendiri

Jika kami bunga
Engkau adalah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu
Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan: engkau harus hancur!

Dalam keyakinan kami
Di manapun – tirani harus tumbang! (*)

Edan
Sudah dengan cerita mursilah?
edan!
ia dituduh maling
karena mengumpulkan serpihan kain
dia sambung-sambung jadi mukena
untuk sembahyang
padahal mukena tak dibawa pulang
padahal mukena dia taroh
di tempat kerja
dan!
sudah diperas
dituduh maling pula

Sudah dengan cerita santi?
edan!
karena istirahat gaji dipotong
edan!
karena main kartu
lima kawannya langsung dipecat majikan
padahal tak pakai wang
padahal pas waktu luang
edan!
kita mah bukan sekrup (*)

Catatan
Gerimis menderas tengah malam ini
Dingin dari telapak kaki hingga ke sendi-sendi
Dalam sunyi hati menggigit lagi
Ingat
Saat pergi
Cuma pelukan
Dan pipi kiri kananmu
Kucium
Tak sempat mencium anak-anak
Khawatir
Membangunkan tidurnya (terlalu nyenyak)
Bertanya apa mereka saat terjaga
Aku tak ada (seminggu sesudah itu
Sebulan sesudah itu
Dan ternyata lebih panjang dari yang kalian
harapkan!)
Dada mengepal perasaan
Waktu itu
Cuma berbisik beberapa patah kata
Di depan pintu
Kau lepas aku
Meski matamu tak terima
Karena waktu sempit
Aku harus gesit
Genap ½ tahun aku pergi
Aku masih bisa merasakan
Bergegasnya pukulan jantung
Dan langkahku
Karena penguasa fasis
Yang gelap mata
Aku pasti pulang
Mungkin tengah malam dini
Mungkin subuh hari
Pasti
Dan mungkin
Tapi jangan
Kau tunggu
Aku pasti pulang dan pasti pergi lagi
Karena hak
Telah dikoyak-koyak
Tidak di kampus
Tidak di pabrik
Tidak di pengadilan
Bahkan rumah pun
Mereka masuki
Muka kita sudah diinjak!
Kalau kelak anak-anak bertanya mengapa
Dan aku jarang pulang
Katakan
Ayahmu tak ingin jadi pahlawan
Tapi dipaksa menjadi penjahat
Oleh penguasa
Yang sewenang-wenang
Kalau mereka bertanya
"Apa yang dicari?"
jawab dan katakana
dia pergi untuk merampok haknya
yang dirampas dan dicuri

(Ini adalah sajak terakhir yang ditulis Wiji Thukul, ungkapan cinta kepada istri dan anak-anaknya dan semangat perjuangannya, sebelum dia benar-benar hilang)

No comments: