Wednesday, March 10, 2010

Teladan Buya Syafii

''Banyak orang bilang Anda orang yang sederhana.''
''Ah, ndak juga. Saya menikmati hidup juga.''
''Menikmati kemewahan juga?''
''Ya, istri saya kan pintar masak. Sesekali kami makan yang enak-enak juga.''


Makan yang enak-enak hasil masakan istri adalah batas kemewahan tertinggi dalam hidup Ahmad Syafii Maarif. Setidaknya, itu tergambar dari dialog mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah itu dengan presenter Muhammad Farhan dalam acara Tatap Muka, di TV One, belum lama ini.

Sesungguhnya banyak kisah tentang kesederhanaan Buya Syafii yang disampaikan di media oleh orang-orang yang (pernah) mengenalnya dari dekat. Di rubrik Opini Harian Kompas, beberapa tahun lalu, seorang aktivis muda Muhammadiyah menggambarkan betapa bersahajanya hidup seorang yang, jika dia mau, sebenarnya bisa menikmati hidup lebih dari yang dimilikinya saat ini.

Dia punya semua modal dasar -kecuali kekayaan- yang diimpikan oleh orang-orang yang rindu ingin disebut pemimpin: kecerdasan, karakter yang kuat, pengikut yang banyak (Muhammadiyah adalah ormas Islam terbesar kedua di Indonesia), ketokohan yang diakui lintas etnis, agama, dan negara.

Buya Syafii punya sebuah rumah pribadi yang cicilannya di bank baru lunas sekitar empat tahun silam. Itu dibenarkan Buya saat berbincang dengan Farhan. ''Uang mukanya adalah upah istri saya saat jadi baby sitter di Chicago,'' ungkapnya. Syafii, yang lahir di Sumpur Kudus, Sumatera Barat, meraih gelar doktor di Chicago University, Amerika Serikat.

Ia tak pernah memanfaatkan jabatan dan kekuasaannya sebagai pemimpin organisasi besar untuk keuntungan pribadi, apalagi membarter kebenaran yang diyakininya dengan materi. Buya mengaku pernah ditawari jadi komisaris PT Garuda Indonesia. ''Tapi saya menolaknya,'' kata dia. Alasannya, karena dia, tidak punya keahlian di bidang itu.  ''Kalau saya terima, selain dapat gaji besar, saya bisa naik Garuda gratis kemana-mana,'' ujarnya.

Buya adalah orang yang langka. Jangankan jabatan komisaris di perusahaan sebesar Garuda, jabatan ecek-ecek di perusahaan ecek-ecek pun kini ramai orang rela menjilat dan menyembah-nyembah untuk mendapatkannya. Bahkan, ada yang berani menjanjikan setoran segala. Di instansi manapun kini, pemerintah atau partikelir, tiap berembus isu mutasi orang-orang cemas, grasa grusu mencari informasi soal perubahan posisi. Resah jika tak dapat kursi basah.

"Dengan ketokohan Anda, masak tidak ada yang ngasih bantuan?" kata Farhan. Buya mengungkapkan, banyak orang datang mengantarkan bantuan untuknya. ''Tapi, itu tidak saya pakai untuk pribadi saya,'' ujarnya. Uang bantuan dari pengusaha dan kader Muhammadiyah yang makmur, yang sebenarnya diberikan untuk ia pribadi, dikelola oleh seorang staf khusus. ''Kalau ada warga Muhammadiyah datang minta bantuan, uang itu yang diberikan. Jadi kas organisasi Muhammadiyah tidak terganggu,'' katanya.

Saya teringat keluh kesah seorang teman di sebuah perusahaan swasta. Saat Lebaran lalu, ada klien perusahaannya menitipkan THR kepada atasannya untuk dibagi-bagi kepada seluruh karyawan. ''Tapi, si Bos nggak pernah bagi-bagi ke bawah. Semua dimakan sendiri. Kejadian seperti ini sudah sering terjadi. Banyak hak kami yang diambilnya. Mudah-mudahan Tuhan menghukum dia. Hak kami itu kan dimakan anak istri dia juga,'' kata teman tadi mengeluarkan seluruh umpatan dan makian.

Kata Buya Syafii, faktor penentu kepercayaan anak buah terhadap pemimpinnya adalah satunya kata dengan perbuatan. ''Masalahnya, banyak orang yang disebut sebagai pemimpin punya sifat munafik,'' ujarnya.

Ia bukan tipe pemimpin yang di depan pengikutnya bicara kebaikan, tapi di belakang justru menelikung kepercayaan yang diberikan oleh orang-orang yang dipimpinnya. ''Ahmad Syafii Maarif adalah tipikal pemimpin yang hanif (jujur), istikomah (konsisten), dan bisa menjaga jarak dengan politik secara konstan.'' (Kompas, Rabu, 10/3)

Ia tidak pernah "main mata" dengan pejabat korup, itulah yang membuat Buya Syafii tidak punya beban mengkritik pejabat mana pun di Indonesia. Tentu saja, orang seperti dia, tidak pernah gamang dalam menentukan sikap, sebab pendapat dan pemikiran yang disampaikannya tidak terjepit di antara kepentingan pribadi dan amanah yang diembannya.

Karena itu, Buya Syafii bukan hanya seorang pemimpin, tapi juga teladan .... ***

No comments: