Monday, February 22, 2010

Jalan Panjang Mbak Uti

IA pamit setahun lalu, setelah empat bulan bekerja di rumah kami: memasak, bersih-bersih, dan menjaga anak kami. Empat bulan bukanlah waktu yang lama. Tapi, bagi kami, yang sudah berganti empat orang pembantu rumah tangga sejak 2006, dialah yang paling mengesankan. Kerjanya tangkas dan rapi. Masakannya bersih dan enak.


Sebelum terdampar di rumah kami, Mbak Yati mengadu peruntungan di Ipoh, Malaysia. Majikannya, pasangan suami istri yang bekerja di perusahaan asuransi, berasal dari etnis Tionghoa. Anak majikannya ada empat. Di Malaysialah, Mbak Yati belajar bekerja rumah tangga dengan standar tinggi, dari sisi kebersihan, kerapian, dan ketepatan waktu. Karena itu, ketika ia bekerja di rumah kami hasilnya terasa amat berbeda dengan para pendahulunya.

Mbak Yati mengaku senang bekerja bersama kami. ''Tapi, kontrak saya pada ejen (agen) belum habis,'' ujarnya. Kontrak artinya dia harus melunasi biaya pengurusan dokumen dan pemberangkatan oleh agen, yang sudah pasti angkanya di-mark up berlipat-lipat, dengan sistem potong gaji.

Mbak Yati, rupanya juga punya utang pada majikan lama, untuk biaya berobat orang tuanya. ''Saya harus ke sana, bekerja lagi dengan dia,'' katanya. Kami tak kuasa menolak keinginannya itu. Memang, saat pertama kali datang, dia sudah mengungkapkan, bahwa ia bekerja hanya untuk paling lama enam bulan saja. ''Saya akan kembali ke Malaysia. Kalau tidak nanti ejen marah-marah,'' ujarnya. Mbak Yati ke Batam hanya untuk perpanjang paspor saja.

Awal Januari 2009, Mbak Yati, yang oleh anak kami dipanggil Mbak Uti, akhirnya benar-benar pamit. ''Kalau dihitung-hitung saya harus bekerja dua tahun lagi di sana potong gaji, baru utang saya lunas,'' ungkapnya.

''Kalau ke Batam mampirlah ke sini,'' kata kami. Selepas Magrib, Mbak Yati meninggalkan rumah kami dengan sebuah tas tenteng berisi pakaian ala kadarnya. Hanya itu yang dia punya. Selain tekad dan semangat, tentu saja.

Di periode kedua petualangannya di Malaysia, Mbak Yati tak menemui nasib yang lebih baik. Pertengahan tahun lalu, majikannya jatuh bangkrut. Sejak itu, ia tak lagi menerima gaji. Puncaknya, selepas Lebaran lalu, ia kabur dari rumah majikan. Dari Ipoh, Mbak Yati pindah ke Johor. Di semenanjung Malaysia itu ia bekerja di restoran milik warga Tionghoa, yang tiap hari menyajikan 70 menu makanan. ''Tapi, halal semua. Selain, masakan Eropa, juga ada masakan Melayu,'' ujarnya.

Bekerja di restoran, sebenarnya, kata Mbak Yati, hatinya cukup riang. Upah 1.000 ringgit sebulan cukuplah untuk menggulirkan roda hidup keluarga di kampung. Upah ini dua kali lipat dibanding upah jadi pembantu rumah tangga. Tapi, karena paspornya ditahan majikan lama, jantungnya deg-degan juga. ''Razia terus menerus oleh polisi Malaysia,'' ujarnya. Suatu ketika, ia tertangkap di restoran itu, ketika polisi anak buah Najib Razak menggelar operasi. ''Majikan saya (pemilik restoran) dipaksa bayar 300 ringgit,'' ujarnya.

Gencarnya operasi pendatang haram, membuat Mbak Yati berpikir untuk pulang saja. Tapi jalan menuju Indonesia, kampungnya sendiri, bagi orang seperti Mbak Yati sempit dan berkelok-kelok. Ditahannya paspor oleh majikan lama adalah pangkal masalahnya. Ia lalu menghubungi seorang pria asal Batam yang sudah jadi warga negara Malaysia, menanyakan apakah bisa membantunya pulang walau tanpa paspor. ''Dia bilang bisa. Tapi dia minta biaya 1.200 ringgit (Rp3.240.000),'' ujarnya.  ''Saya tak punya duit sebanyak itu,'' kata Mbak Yati.

Lewat seseorang bernama Rasyid, lelaki asal Batam yang juga sudah lama menetap di Malaysia, Mbak Yati dapat tawaran lebih rendah. ''Dia minta 600 ringgit,'' ujarnya. Mbak Yati mengiyakan. Ia diminta bersiap-siap untuk berangkat pada hari Jumat (19/2). Ini jalan pulang ilegal, tentu saja. Hari itu, pagi-pagi ia disuruh menuju ke sebuah perkebunan sawit di pinggiran Johor. Saat tiba sekitar pukul 10.00 pagi di perkebunan, ratusan orang sudah berkumpul. Dari bayi hingga orang tua tumplek di sana. ''Ada yang sudah menunggu sejak tiga hari sebelumnya,'' kata dia.

Di sana, dia baru tahu bahwa biaya kepulangan sebenarnya hanya 250 ringgit. ''Tekong ambil banyak sekali,'' katanya. Walau begitu, seperti lazimnya orang Indonesia, Mbak Yati masih memanjatkan rasa syukurnya. ''Saya masih beruntung. Orang lain ada yang bayar 700 sampai 800 ringgit,'' katanya.

Di tengah hutan Johor itu, tempat penampungan dikelola warga Indonesia asal Lombok. ''Ada tiga rumah besar di sana. Pak Haji itu semua yang punya,'' katanya. Di penampungan, sembari menunggu kapal, warga-warga Indonesia yang malang seperti Mbak Yati itu masih saja diperas habis. ''Saya menunggu dari pukul 10.00 pagi sampai sebelas malam harus bayar 100 ringgit. Mau makan bayar lagi, sekali makan 10 ringgit,'' tuturnya.

Pukul 11.00 malam waktu Malaysia, sebuah pancung (perahu kayu yang ditempeli mesin) merapat di dermaga tak jauh dari penampungan. Mbak Yati dan puluhan orang lainnya yang sudah membayar diminta naik. ''Isinya sekitar 50 orang,'' katanya. Barang bawaan mereka dinaikkan di pancung lain yang berjalan beriringan dengan pancung penumpang.

Di Batam, pancung hanya dipakai sebagai alat transportasi jarak pendek antar pulau yang dekat-dekat. Malam itu, Mbak Yati dan puluhan orang lainnya --yang oleh pemerintah yang suka tebar pesona kerap disebut Pahlawan Devisa-- harus menyusuri ganasnya ombak Selat Malaka di atas sepotong pancung. ''Kapal itu tak ada lampu. Laut benar-benar gelap,'' ujarnya.

Pancung harus berhenti setiap kali tanker dan kapal-kapal besar lainnya melintas di jalur pelayaran tersibuk di dunia itu. ''Kita juga berhenti, kalau ada kapal nelayan yang menyalakan lampu hijau. Itu tanda ada patroli,'' ujarnya.

Seorang bayi usia sembilan bulan, yang ikut dalam pancung tersebut, kata Mbak Yati, tak berhenti menangis sejak pancung meninggalkan Johor. Saat pancung sudah memasuki perairan Batam, sebuah pancung lain mendekat. Seorang lelaki bercelana jins dan berkemeja naik ke pancung Mbak Yati. ''Kita semua dimintai duit Rp250 ribu seorang. Katanya buat pengamanan. Supir pancung bilang yang begitu sudah biasa,'' ujarnya.

Uang memang tak punya hati. Sebab itu, para pemeras TKI ringan saja mengutip biaya yang tak ada rumusannya kepada orang-orang seperti Mbak Yati, tanpa rasa kasihan dan rasa bersalah di dalam diri. Jangan tanya soal nasionalisme dan persaudaraan sebangsa. Itu sudah lama dilupakan. Buktinya, yang menjerumuskan ratusan ribu warga Indonesia sebagai pendatang haram di Malaysia, kebanyakan adalah orang-orang Indonesia sendiri. Saya pernah berkunjung ke Kantor Konsulat Indonesia di Johor dan Penjara Kluang di Johor. Hampir semua mereka yang ditahan mengaku dijebak dan ditipu oleh agen, yang adalah sesama warga negara Indonesia!

Setelah 45 menit berselancar di derasnya ombak Selat Malaka, Mbak Yati dan rombongan merapat di sebuah pelabuhan kecil tak jauh dari Batuampar, Batam. Tapi, pemerasan terhadap mereka belum berhenti. ''Begitu turun kapal langsung dimintai duit 2 ringgit,'' katanya. Ia tak tahu siapa yang mengutip. ''Mbuh. Tak tahu, Pak. Mereka bilang itu wajib,'' katanya. Sekitar 50 meter dari "loket" pertama, ia kembali dimintai duit 2 ringgit. ''Semua yang turun kapal harus bayar,'' katanya.

Pukul 07.00 pagi, hari Sabtu (20/2), Mbak Yati berdiri di depan pintu pagar rumah kami. ''Saya kembali, Bu,'' katanya pada istri saya. Selamat datang lagi, Mbak Uti! ***

No comments: