Saturday, January 23, 2010

Duka dalam Sepotong Kaos Bola

Menelusuri kematian tahanan bawah umur di Polsek Batam Kota, Josua Michael Sinaga. Banyak perbedaan antara keterangan polisi dengan keterangan keluarga dan saksi-saksi.

RABU 23 Desember 2009 dini hari, sekitar pukul 01.00 WIB, Josua Michael Sinaga (17) berada di dalam bengkel milik Hartono Surbakti, di kawasan Simpang Franky, Batam Center. Entah apa yang dia lakukan di situ. Tapi, Aleksander Sembiring, anak buah Hartono tak nyaman dengan kehadiran anak muda yang tak dikenalnya itu. Perasaannya tak enak. Nalurinya mengatakan, Josua berniat mencuri. Bersama temannya, Jefri Tarigan, Aleksander menegur Josua dan memintanya pergi.


“Dia bilang mau numpang tidur. Padahal mau nyurinya dia itu,” kata Aleksander, yang ditemui Batam Pos, Jumat (15/1), di bengkel milik Hartono itu.
Saat dipergoki, Josua sedang jongkok di balik sekat ruang bengkel yang dipenuhi onderdil motor tersebut. Ia mengenakan kaos bola warna merah dan celana pendek warna oranye. Ransel miliknya juga kosong tak ada isi.

Aleksander kemudian menghubungi Alkorta Ginting, rekan kerjanya di bengkel itu untuk datang. Dini hari itu, Hartono sang pemilik bengkel tengah berada di Medan. Aleksander melaporkan peristiwa itu kepada Hartono lewat telepon.

Hartono memerintahkan Aleksander untuk menghubungi polisi. “Waktu itu saya bilang sama Aleksander, jangan kalian pukul orang itu. Kecuali kalau dia mukul duluan. Saya bilang, serahkan saja ke polisi,” ujar Hartono.

Aleksander, Jefri, dan Alkorta kemudian mengikat tangan Josua ke depan dengan tali jemuran.

Tiga anggota Polsek Batam Kota tiba di bengkel sekitar 20 menit kemudian. Menurut Aleksander, tiga polisi itu datang menggunakan mobil patroli. “Dua pakai baju polisi, satunya baju biasa,” ungkapnya. Josua kemudian dibawa ke Polsek Batam Kota. Aleksander, Jefri, Alkorta dan dua warga lainnya diminta ikut untuk memberikan kesaksian. “Kami ngikuti mobil patroli itu pakai motor,” ujar Aleksander, yang diamini Alkorta.

Keterangan Aleksander, Jefri, dan Alkorta berbeda dengan keterangan Kapolsek Batam Kota AKP Hilman Wijaya. Kepada wartawan, pada hari kematian Josua, Sabtu (26/12), Hilman dengan tegas mengatakan, wargalah yang beramai-ramai mengantar Josua ke Polsek setelah ia ditangkap.

‘’Tersangka ditangkap warga di Simpang Franky Batam Centre, Kamis (24/12) sekitar pukul 02.00 WIB. Kemudian diserahkan warga ke Polsek Batam Kota,’’ kata Hilman.

Hilman menambahkan, polisi sempat menunda pemeriksaan terhadap Josua setelah ia sampai di Polsek Batam Kota. ‘’Saat itu, ia masih dalam kondisi mabuk. Saat ditanya apa yang kamu curi, dia jawab tidak tahu,’’ ungkap Hilman.

Dalam standar pemeriksaan kepolisian di seluruh dunia, untuk memastikan seseorang mabuk atau tidak, polisi memerintahkan orang yang dicurigai berdiri dengan satu kaki, pada saat yang sama kedua tangan berada di atas kepala. Apabila sempoyongan dan terjatuh, diduga kuat yang bersangkutan dalam kondisi mabuk. Sebaliknya, jika bisa berdiri normal, ia dipastikan tidak mabuk.

Standar itupun diterapkan Polsek Batam Kota. Aleksander Sembiring menuturkan, setelah tiba di Polsek, ia langsung dimintai keterangan oleh penyidik. Tak jauh dari tempat ia duduk, Josua diminta seorang polisi berdiri dengan satu kaki dan meletakkan dua tangannya di kepala. “Kakinya sempat turun sekali. Sudah gitu dia berdiri lagi dengan satu kaki. Sekitar lima menit,” kata Aleksander. Sambil berdiri Josua terlihat sesungukan menahan tangis. Saat menangkap Josua, Aleksander mengaku tidak mencium bau alkohol dari mulut Josua.

***
RABU (23/12) siang, sekitar pukul 13.00 WIB, telepon milik Jefri Manurung berdering. Di seberang, Simon Sinaga kerabat sekampungnya mengabarkan bahwa Josua Michael Sinaga sedang ditahan di Polsek Batam Kota karena dituduh melakukan pencurian. Jefri, Josua, dan Simon sudah saling kenal, karena berasal dari kampung yang sama di Simalungun, Sumatera Utara. Jefri Manurung dan Simon janjian bertemu di Polsek Batam Kota sekitar pukul 19.00 WIB.

Malam itu, Jefri datang diantar temannya seorang sopir taksi yang biasa mangkal di Pelabuhan Internasional Batam Center. Ia bertemu Simon di halaman depan Polsek. Kepada petugas piket, ia menyampaikan niatnya untuk bertemu Josua. Petugas menyarankan Jefri dan Simon untuk melapor kepada penyidik Bripka Ismail.

Kepada Batam Pos yang menemuinya di Batam Center, Senin (11/1), Jefri menuturkan, semula Bripka Ismail keberatan Jefri bertemu Josua dengan alasan jam besuk sudah habis. ‘’Tapi, saya bilang saya juga anggota. Akhirnya diizinkan masuk,’’ katanya. Jefri adalah seorang anggota TNI AD. Sehari-hari ia berdinas di Batalyon Infantri 134 Tuah Sakti, Tembesi. Di ruang tempat ia bertemu Bripka Ismail, Jefri ditunjukkan blok mesin sepeda motor bekas, yang dituduhkan telah dicuri Josua dari bengkel Hartono Surbakti.

Josua ditempatkan di sel nomor tiga. Lokasinya berada di pojok. Ia sendirian dalam kamar tahanan itu. Kapolsek Hilman Wijaya mengatakan, Josua memang sengaja dipisahkan dengan tahanan lain. ‘’Korban kita tahan dalam sel kecil dan sendirian karena dia masih di bawah umur,’’ ujarnya. Undang-Undang 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak menyebutkan, manusia usia nol sampai 18 tahun tergolong di bawah umur.

Di sel itulah Jefri menemui Josua. Ketika sampai di depan jeruji sel, ia melihat Josua sedang tidur masih mengenakan kaos bola warna merah dan celana pendek warna oranye. ‘’Saya membangunkan dia,’’ katanya. Jefri mengisahkan percakapannya dengan Josua malam itu:

Jefri: ‘’Sudah makan kau, Jo?’’ (Jefri melihat ada nasi bungkus tergantung di sel Josua).
Josua: “Belum, Bang.’’
Jefri: ‘’Gimana keadaanmu?’’
Josua: “Aku disiksa, Bang. Leherku ditendang pakai sepatu. Sakit kali kurasa.’’
Jefri: “Siapa yang nendang kau?’’
Josua: “Polisi, Bang.”

Kepada Batam Pos, Jefri mengaku melihat ada goresan merah di leher Josua.

Kapoltabes Barelang Kombes Leonidas Braksan yang ditemui di kantornya, Senin (11/1), membantah adanya kekerasan dan penganiayaan terhadap Josua. Menurut Leonidas, tidak ada tanda-tanda kekerasan seperti pemukulan dan lainnya di tubuh Joshua. “Jika ada lebam, itu lebam mayat biasa,” ucapnya.

Kamis (24/12), Jefri Manurung kembali menemui Josua di Polsek. Kali ini ia menemani Johannes Sinaga, abang kandung Josua. Johannes, biasa disapa Johan, sehari-hari bekerja sebagai petugas keamanan di PT Megaron, Batuampar. Ia tinggal di Pelita VII, tempat di mana Josua menumpang hidup.

Dalam wawancara dengan Batam Pos, Senin (11/1), di Batam Center, Johannes menceritakan, ia berjumpa Josua di ruang besuk tahanan. Di ruang itu pembesuk dan tahanan dipisahkan oleh kaca. Dalam pertemuan itu, kata Johannes, Josua terus menundukkan kepala. Ia meletakkan kedua tangannya di atas meja dan kepalanya diletakkan di atas kedua tangannya itu. ‘’Sepertinya lehernya berat dan sakit,’’ kata Johannes.

***
SABTU (26/12) siang sekitar pukul 13.20 WIB, Johannes Sinaga sedang tidur di rumah kontrakannya di Pelita VII. Dering telepon membangunkannya. Seseorang yang mengaku anggota polisi dari Polsek Batam Kota memintanya segera datang ke Polsek. ‘’Tapi, tidak saya tanggapi. Hari itu saya berencana mencari uang untuk biaya perdamaian adik saya dengan Hartono, pemilik bengkel yang melaporkannya,’’ kata Johannes.

Hartono membenarkan, pada Kamis (24/12), ia telah melakukan perjanjian damai dengan Johannes Sinaga. Dalam perjanjian itu, Hartono diwakili oleh Aleksander Sembiring dan Alkorta Ginting, dua karyawannya yang melaporkan Josua ke polisi. Inti perjanjian adalah Hartono mencabut laporannya ke polisi dan keluarga Josua membayar kompensasi. “Abangnya yang tentara itu (Jefri Manurung) bilang cuma sanggup bayar Rp500 ribu. Saya bilang tak apa-apa kalau memang adanya segitu,” ungkap Hartono.

Tapi, perdamaian tak langsung terlaksana hari Kamis (24/12) itu. Pasalnya, keluarga Josua belum punya uang. Mereka berjanji akan kembali hari Sabtu, sehari setelah merayakan Natal. ‘’Hari itu, yang saya pikirkan bagaimana caranya dapat uang Rp500 ribu, agar adik saya bisa keluar. Makanya, telepon polisi itu tak saya tanggapi,’’ kata Johannes.

Tak lama setelah telepon dari polisi itu, telepon Johannes kembali berdering. Di layar muncul nama Bohedi Sinaga, seorang anggota polisi yang sudah lama dikenalnya. Bohedi sehari-hari dinas di Unit Pelayanan, Pengaduan, Penindakan, dan Disiplin (P3D) Poltabes Barelang. Bohedi menyuruh Johannes segera datang ke Polsek. ‘’Ada penting sekali,’’ kata Bohedi, seperti ditirukan Johannes.

Setibanya di Polsek, Johannes diberitahu bahwa Josua sudah meninggal sekitar pukul 13.00 WIB. ‘’Bohedi langsung menceritakan kepada saya secara lengkap kisah kematian adik saya,’’ katanya.

Menurut Bohedi, seperti dikutip Johannes, Josua tewas gantung diri dengan kaos bola yang dikenakannya selama berada dalam penjara. Sebelum itu, Josua melakukan upaya bunuh diri dengan cara memotong urat nadi di kedua pergelangan tangannya menggunakan keramik lantai yang dipecahkan dengan tinjunya. ‘’Tapi, kata Bohedi, karena memotong nadi tidak berhasil, dia akhirnya gantung diri,’’ tutur Johannes.

Berdasarkan foto dokumentasi keluarga yang dilihat Batam Pos, yang diambil ketika dilakukan misa kematian almarhum Josua, bagian luar telapak tangan Josua, termasuk kulit yang menutupi tulang pangkal jari tampak bersih. Tidak ada bekas luka dan terkelupas. ‘’Kalau memang dia meninju keramik untuk potong nadinya, harusnya kulit tempat tinjunya itu luka dan terkelupas,’’ ujar Johannes.

Belakangan, keterangan awal Bohedi yang sudah runut itu “diluruskan” Kapoltabes Leonidas Braksan. ‘’Dalam pemeriksaan lanjutan oleh P3D Poltabes Barelang, luka tersebut (goresan di kedua pergelangan tangan Josua) berasal dari paku tripleks yang ada di dalam sel,’’ kata Leonidas.

Pihak keluarga sempat memfoto kaos bola merah dan celana pendek yang digunakan Josua di hari terakhir di dalam sel. Kaos dan celana itu difoto di Unit P3D Poltabes Barelang, setelah dijadikan barang bukti oleh polisi. Pihak keluarga menunjukkan foto tersebut kepada Batam Pos. Di foto itu, kaos merah Josua terlihat bersih. Tidak ada noda ceceran darah.

‘’Logikanya, kalau dia menyayat dua pergelangan tangannya, pasti ada darahnya. Kita yakin darah itu akan mengenai pakaiannya. Apalagi -kalau memang korban gantung diri dengan kaos- ketika kaos dililitkan ke teralis, kita yakin kaos itu akan tersentuh oleh kedua pergelangan tangan korban. Dan, itu akan meninggalkan noda darah,’’ kata Birgal Sinaga, dari Paguyuban Marga Sinaga Batam Sektor Batam Center, yang diberi kuasa oleh keluarga korban untuk advokasi.

Pada celana pendek oranye milik korban, berdasarkan foto yang dilihat Batam Pos, juga tidak ada noda bekas darah.

Birgal yang berprofesi sebagai presenter sebuah televisi swasta di Batam mengungkapkan, pada Selasa (29/12), ia menemui dr Apul Nainggolan dari RSOB yang menangani Josua, saat pertama kali tiba di rumah sakit itu.

Saat itu, kata dia, dr Apul menjelaskan, Josua tiba di RSOB pukul 14.40 WIB pada 26 Desember 2009. Saat diterima, Josua mengenakan celana pendek warna oranye dan tidak memakai baju. Saat diterima pihak rumah sakit, Josua sudah meninggal dengan tanda-tanda tidak ada denyut jantung, tidak ada tanda napas, tubuh sudah kaku, dan suhu badan sudah dingin.

Johannes Sinaga, abang korban, yang tiba di rumah sakit sekitar pukul 15.00 WIB menuturkan, ia sempat mengusap wajah dan memegang kepala adiknya di kamar mayat. ‘’Tapi lehernya sudah kaku. Keras, tak bisa digerakkan lagi,’’ katanya.

Ciri-ciri lain mayat Josua yang disampaikan dr Apul kepada Birgal Sinaga adalah mata sudah tertutup, lidah tidak menjulur, tidak ada sperma, hanya ada bercak kuning di dubur dan celana. Tanda kuning bekas kotoran manusia itu, juga tampak pada foto celana Josua yang dilihat Batam Pos.

Jumat (15/1), Batam Pos menghubungi dr Apul Nainggolan untuk mengonfirmasi keterangan tersebut. Ia menolak berkomentar. “Terkait itu, silakan tanya langsung pada polisi atau keluarga korban saja,” ujarnya.

Hal sama juga diungkapkan Humas RSOB Wawan Setyawan yang dikonfirmasi lebih awal untuk bertemu dengan dr Apul Nainggolan. ‘’Dokter Apul belum bersedia bertemu. Katanya, kalau mau konfirmasi soal bunuh diri itu, langsung ke polisi atau keluarga korban karena datanya sudah diserahkan semua kepada keluarga korban,’’ ujar Wawan.

Dokter Iwan Pramubakti dari Rumah Sakit Budi Kemuliaan (RSBK) Batam yang dimintai pendapatnya tentang ciri-ciri orang mati gantung diri menyebutkan, selalu ditandai dengan lidah terjulur dan keluarnya sperma dari kemaluan. ‘’Kalau benar-benar gantung diri, dua ciri itu pasti ada,’’ katanya.

Dokter spesialis rehabilitasi medik RS Awal Bros Batam Fisher Iwan berpendapat serupa. Keluarnya sperma dan air seni, kata dia, disebabkan organ tubuh orang gantung diri berelaksasi. ‘’Karena tidak ada lagi perintah dari otak ke organ tubuh yang lain, sehingga organ tubuh lainnya mengalami relaksasi dan akan keluar begitu saja tanpa terasa,” ujar Fisher.

Birgal Sinaga mengatakan, dari keterangan dr Apul juga ditemukan ada bengkak di kaki kiri Josua, ada luka seperti tersayat di pergelangan tangan kanan ukuran 5x0,3 cm, juga di pergelangan tangan kiri ukuran 5x0,3 cm. Namun tidak ada bekas darah di kedua pergelangan tangannya itu. Tidak ada noda darah di celana.

Kemudian ada tanda biru di ujung kuku tangan dan kaki pertanda lemas kehabisan napas. Ada luka jerat di leher depan melingkar separuh. Dokter Apul, menurut Birgal, menyebutkan kematian Josua akibat lemas karena ada jeratan di lehernya. Tapi, kata dia, dr Apul tidak tahu luka jerat di leher Josua itu karena tali, kaos baju atau benda lainnya. Sebab, polisi tidak membawa benda atau alat bukti yang menjerat leher korban.

Dari hasil pemeriksaan berdasarkan ciri-ciri yang ada pada mayat, kata Birgal, dr Apul memperkirakan Josua sudah meninggal antara 6-12 jam sebelum tiba di rumah sakit. Birgal mengatakan, sejak Senin (11/1), pihak keluarga sudah mengajukan permohonan kepada Unit P3D Poltabes untuk mendapatkan salinan visum Josua. ‘’Tapi, polisi bilang tidak boleh di-copy. Hanya bisa dilihat saja,’’ ujarnya.

Kepala Unit P3D Poltabes Barelang AKP Reonald TS Simanjuntak mengakui penolakan pemberian visum itu. Ia beralasan kasus dugaan kelalaian polisi Batam Kota yang berujung kematian Josua masih dalam penyelidikan Unit P3D. ‘’Hasil visum itu kan alat bukti, jadi harus dipegang penyidik untuk sementara. Kalau mau lihat nanti bisa, kita bisa perlihatkan. Kita transparan kok,’’ katanya.

Reonald membenarkan dalam dokumen visum yang diberikan dokter kepada polisi tidak terdapat ciri-ciri khas orang mati gantung diri, yaitu keluarnya sperma dan lidah yang terjulur. Menurut dia, ciri-ciri itu bisa saja hilang saat polisi memberikan pertolongan kepada Josua yang diduga masih hidup saat ditemukan. Ia menyebutnya sebagai kelalaian polisi di tempat kejadian perkara (TKP).

Kapolsek Hilman Wijaya, di hari kematian Josua, mengatakan, polisi yang piket siang itu mengaku menemukan Josua tergantung di teralis dengan leher terjerat kaos, saat hendak memberi makan tahanan sekitar pukul 13.00 WIB. Saat ditemukan, kata Hilman, Josua masih bernapas dan nadinya masih berdenyut. Namun kondisinya sudah lemas. Karena itu, polisi berusaha memberi bantuan pernapasan dan memompa jantung korban dengan cara menekan dadanya. Lalu memasukkannya ke dalam mobil untuk dibawa ke rumah sakit.

Tapi yang membingungkan keluarga, kenapa Josua dilarikan ke Rumah Sakit Otorita Batam (RSOB) di Sekupang, yang jaraknya sekitar 35 menit perjalanan dengan mobil. ‘’Kalau untuk pertolongan awal, harusnya ke yang paling dekat. Banyak kok rumah sakit di sekitar Batam Center. Paling nggak ke (RS) Awal Bros,’’ kata Birgal Sinaga.

Kasat Reskrim Poltabes Barelang Kompol Christian Tory mengatakan, “Sebenarnya anggota hendak membawa korban ke rumah sakit terdekat, namun ia mengembuskan napas terakhir tak lama setelah diangkut ke dalam mobil. Makanya, dibawa ke RSOB.” Tapi, tidak ada penjelasan rinci dari keterangan polisi itu, persisnya berapa menit setelah perjalanan Josua terakhir kali mengembuskan napas.

Tanda tanya di benak anggota keluarga besar Josua kian menggunung, sebab polisi tak punya dokumentasi foto yang menunjukkan Josua sedang tergantung di teralis selnya. Seharusnya, kata Birgal Sinaga, berdasarkan standar kerja kepolisian tahanan tewas bunuh diri harus difoto dan TKP tidak boleh diacak-acak.

AKP Reonald Simanjuntak mengakui polisi tak punya foto korban sedang tergantung dengen leher terjerat kaos. ‘’Itu tak ada,” katanya. Reonald membenarkan, sesuai prosedur di kepolisian, orang bunuh diri seharusnya didokumentasikan. ‘’Jika melihat ada upaya bunuh diri, ditekan bagian lehernya apakah masih ada tanda-tanda pernapasan atau tidak. Kalau sudah mati, biarkan tim identifikasi yang bekerja. Anggota piket tidak boleh menyentuh korban,’’ paparnya.

Ia beralasan, petugas panik saat melihat Josua tergantung. ‘’Karena panik dan melihat tubuhnya hangat, mereka langsung berusaha menurunkan. Dua orang memegang tubuhnya, satu orang melepas kaosnya,” katanya.

Pintu sel tempat Josua ditahan tingginya 180 cm. Di pintu itulah, menurut polisi, Josua gantung diri dengan kaos bolanya. Namun, Birgal Sinaga meragukan cerita polisi. Sebab, ia punya hitung-hitungan sendiri. ‘’Tinggi badan Josua 168 cm. Kalau dia jinjit (diperkirakan memasang kaos di pintu dan menyangkutkan leher di kaos dilakukan dengan berjinjit, red), maka tinggi dia bertambah 8 sampai 10 cm lagi. Dengan sisa 2 sampai 3 cm ke lantai apa mungkin bisa bunuh diri?’’ kata Birgal. ‘’Lagian kaos bolanya itu kecil, dilingkarkan di besi pintu saja sudah habis, apalagi mau dimasukkan leher pula,’’ katanya.

Reonald Simanjuntak mengatakan, Unit P3D Poltabes melakukan rekonstruksi di tahanan yang dihuni Josua. Kaos diikatkan di sela-sela sel, kemudian anggota P3D yang tinggi tubuhnya 170-an cm (lebih tinggi dari Josua) menggantungkan lehernya di situ dengan cara naik membelakangi sel. “Ternyata bisa. Kalau menghadap sel tak mungkin terjadi, namun karena membelakangi sel, lehernya bisa terjerat,” katanya.

***
JAUH sebelum penahanan yang berujung kematian ini, Josua Michael Sinaga, yang lahir di Pematang Siantar 4 Desember 1992, juga pernah mendekam dalam tahanan Polsek Batam Kota. ‘’Kasusnya sama pencurian juga,’’ kata Johannes Sinaga. Johannes tidak ingat kapan tepatnya Josua ditahan. ‘’Sekitar bulan November 2009. Tapi, tanggalnya saya lupa,’’ katanya. ‘’Tidak ada surat penangkapan dan penahanan sama sekali,’’ ia menambahkan.

Saat itu, kata dia, Josua mendekam di tahanan Polsek Batam Kota selama satu pekan. ‘’Dia bisa keluar setelah kami urus sama-sama,’’ kata Jefri Manurung, kerabat satu kampung Josua. Yang paling diingat Johannes dari penahanan Josua pertama kali itu, adalah luka gores di pergelangan tangannya. ‘’Sempat kami obati ke dokter. Katanya itu dari polisi,’’ ujar Johannes.

Menurut catatan Kepala Unit P3D Poltabes Barelang AKP Reonald Simanjuntak, ketika itu, anak buahnya Bohedi Sinaga yang jadi penengah sehingga kasus Josua bisa diselesaikan secara kekeluargaan. “Jadi keterlibatan Bohedi pada kasus yang sekarang bukan karena polisi ingin mengelabui keluarga korban. Tapi karena Bohedi memiliki kedekatan dengan mereka. Bohedi pernah menolong mereka,” kata Reonald.

Catatan masa lalu Josua inilah yang membuat keluarga besarnya tak yakin ia melakukan bunuh diri. ‘’Saya nggak percaya dia mau bunuh diri. Dia itu bandel bukan main,’’ kata Johannes. ‘’Seminggu saja di tahanan dia bisa tahan kok. Yang terakhir ini kan baru dua hari di dalam, masa dia mau bunuh diri. Saya nggak yakin,’’ ucap Jefri Manurung, sembari menggelengkan kepala dan mengepalkan tinjunya.

Menurut Jefri, Josua adalah tipikal anak jalanan sejati. Ia bisa hidup dan tidur di mana saja. ‘’Sebentar-sebentar dia ada di Batam. Sebentar sudah tiba di Medan. Kadang sudah ada di Jakarta. Masa anak bandel macam gitu bunuh diri,’’ ujar Jefri.

Putu Elvina Gani, psikolog sekaligus ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Provinsi Kepri mengatakan, kecil kemungkinan anak-anak yang terbiasa berada dalam lingkungan yang keras dan liar melakukan bunuh diri. ‘’Secara empiris jarang ditemui anak yang hidup liar seperti ini bunuh diri. Mereka sudah terbiasa menghadapi kekerasan,’’ katanya.

Josua lahir dalam sebuah keluarga besar. Ia adalah anak ketujuh dari delapan bersaudara. Pendidikan terakhirnya sekolah dasar. ‘’Saya nggak percaya dia itu bunuh diri. Nggak mungkin dia melakukan itu,’’ kata Meirin Sibur Sinaga, kakak Josua. Sekitar tiga pekan sebelum Josua ditangkap polisi, kata Meirin, adiknya itu sempat berkirim SMS. ‘’Ia cuma bilang, tolong jaga Mamak (ibu) baik-baik,’’ ujar Meirin sambil terisak.

***
SUATU siang pada pekan ketiga Januari 2010, rumah keluarga Dameria di Jalan Asahan, Pematang Siantar, Sumatera Utara kedatangan tamu. Empat polisi berdiri di depan pintu. ‘’Mereka mengenalkan diri polisi dari Batam,’’ kata Meirin Sibur Sinaga, anak keempat Dameria. Dameria adalah ibu kandung Josua Michael Sinaga.

‘’Tiga orang polisi berasal dari Batam komandannya bermarga Simanjuntak. Katanya, pangkatnya kapten. Satu lagi polisi Simalungun, marganya Sinaga, dia yang temani polisi Batam,’’ kata Meirin. Ia mengaku tak hapal nama lengkap polisi-polisi itu. ‘’Mereka tak kasih kartu nama,’’ ujarnya.

Dameria ikut mendampingi Meirin menyambut para tamu. Setelah saling mengenalkan diri, kata Meirin, polisi yang bermarga Simanjuntak menyampaikan maksud kedatangannya jauh-jauh dari Batam. ‘’Dia bertanya, apakah setuju mendiang adik kami diotopsi,’’ ujarnya. ‘’Mamak (ibu) menjawab: saya ingin anak saya diotopsi kembali,’’ kata Meirin. Polisi kemudian meminta biodata Dameria sembari menyodorkan sebuah kertas untuk ditandatangani. ‘’Mamak menolak tanda tangan. Beliau menangis dan berlari ke belakang. Polisi itu akhirnya pulang,’’ tutur Meirin, mahasiswa Universitas Nomensen Pematang Siantar.

Kepala Unit P3D Poltabes Barelang AKP Reonald Simanjuntak mengatakan, dialah yang datang ke rumah Dameria tersebut. Tapi, ia membantah kedatangannya untuk membujuk keluarga agar tidak melakukan otopsi.

Otopsi adalah satu-satunya cara untuk membuktikan secara objektif, apakah benar almarhum Josua tewas gantung diri atau karena sebab lain. Keluarga besar Josua dan tim advokasinya curiga polisi menghalang-halangi jalan menuju otopsi. ‘’Seperti ada yang ditutup-tutupi,’’ kata Birgal Sinaga, dari tim advokasi keluarga.

Kapoltabes Barelang Leonidas Braksan menyangkal kecurigaan tersebut. “Kalau mau, Poltabes yang akan menanggung biayanya. Tapi kan keluarganya tak mau diotopsi, sudah merelakan,” ujarnya.

Polisi memang punya kartu truf. Mereka memegang surat pernyataan berisi permintaan tidak akan melakukan otopsi dan tidak akan menuntut polisi yang ditandatangani Johannes Sinaga, abang kandung Josua. Johannes membubuhkan parafnya di atas surat itu pada Sabtu (26/12) malam, atau sekitar tujuh jam setelah Josua dinyatakan tewas.

‘’Surat itu saya paraf di Polsek Batam Kota. Bohedi Sinaga yang suruh saya tanda tangan,’’ tutur Johannes. Saat menggoreskan pena, Johannes mengaku tak membaca isi surat itu terlebih dahulu. ‘’Saya kalut memikirkan kematian adik saya. Bohedi bilang ini demi kebaikan bersama. Ya, saya tanda tangan saja,’’ ujarnya.

Setelah surat tersebut ditandatangani Johannes, malam itu juga polisi langsung menerbitkan surat rekomendasi pemulangan jenazah ke Simalungun dengan nomor 404/XII/2009 ditandatangani Kepala SPK III Poltabes Barelang Ipda Syarifuddin. Poin pertimbangan dalam surat itu berbunyi: “Berdasarkan surat permohonan dari Johannes Sinaga tentang perlunya diberikan rekomendasi oleh Polri terhadap kegiatan pengangkutan jenazah Josua Michael Sinaga.’’

‘’Saya tidak membuat permohonan, saya cuma tanda tangan,’’ ucap Johannes. ‘’Kenapa semua serba tergesa-gesa. Johannes tidak diberi kesempatan berkoordinasi dengan keluarganya untuk memastikan otopsi atau tidak,’’ kata BIrgal Sinaga mempertanyakan proses terbitnya surat pengangkutan jenazah itu.

Esok harinya, Minggu (27/12), jenazah Josua diterbangkan ke Medan dan diteruskan ke Simalungun untuk dimakamkan. ‘’Kapolsek kasih uang duka Rp1,5 juta,’’ kata Johannes. Menjelang pemakaman yang berlangsung petang hari, kata Johannes, Bohedi menghubunginya sebanyak empat kali. ‘’Dia selalu menanyakan, apakah adik saya sudah dimakamkan. Ya, kayak mengawasi gitulah,’’ ujarnya.

Bohedi tidak berada di kantornya saat hendak dikonfirmasi Batam Pos, Kamis (14/1).

Namun, atasannya AKP Reonald Simanjuntak mengatakan, sebelum menyuruh Johannes tanda tangan surat pernyataan, Bohedi sudah mengingatkan untuk memeriksa jenazah Josua. “Lihat betul-betul jenazah adik kita itu. Kalau ada luka tak wajar atau kejanggalan laporkan. Kita akan proses jika ada kesalahan dari pihak polisi,” kata Bohedi, seperti ditirukan Reonald.

Ketua DPP Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) Bidang Hak Asasi Manusia Djonggi M Simorangkir, yang menjadi kuasa hukum keluarga korban, mengatakan, pihaknya telah melaporkan perkara ini ke Polda Kepri untuk membuka tabir kebenaran dengan seadil-adilnya atas kematian Josua. Ia menegaskan, keluarga almarhum Josua siap untuk dilakukan otopsi mayat dan rekonstruksi penyebab kematian.

‘’Kami tak percaya adik kami disebut gantung diri. Kami terpukul. Keluarga sepakat dilakukan otopsi. Ini demi nama baik keluarga kami di kampung halaman,’’ kata Johannes Sinaga. (uma/med/ros/nur/bal)

No comments: