Thursday, January 10, 2008

Narsis Itu Mirip Najis

Apa yang paling memuakkan ketika kita berkomunikasi dengan seseorang? Bagi saya, adalah lawan bicara yang tak bisa mengendalikan ego, ingin memonopoli arus pembicaraan, dan selalu merasa paling super setiap kali membicarakan topik tertentu.


Manusia super ini selalu merasa tahu semua hal dan merasa bisa mengerjakan semua hal lebih baik dari orang lain.

‘’Kalau soal yang satu ini, dia harus belajar dari saya.’’

‘’Sayalah orang pertama yang melakukan itu.’’

‘’Kalau bukan saya, tak akan hasilnya sebagus ini.’’  Dan sejuta kalimat lainnya yang mengkultuskan diri sendiri.

Ilmu psikologi menyebut perilaku seperti ini sebagai narsis. Perilaku narsis sungguh memuakkan. Tapi, dalam hidup ini, orang narsis selalu ada dalam lingkungan yang kita singgahi: di perumahan, di kantor, kampus, sekolah, organisasi dan pergaulan sosial lainnya.

Di komunitas wartawan, misalnya, ada saja yang mengaku sebagai yang paling tahu dan paling khatam soal jurnalistik.

''Sayalah wartawan pertama yang membongkar kasus A.''

''Hanya aku yang berani menulis tentang si A dengan kritis dan tajam.''

Perilaku narsis juga muncul di kalangan penulis lepas yang kerap menobatkan diri sendiri sebagai analis. Di Batam, misalnya, ada seorang penulis yang amat sangat sok tahu soal cara pengembangan usaha, menggurui pembaca dengan beragam trik cepat sukses, tapi begitu bikin usaha sendiri di bidang makanan malah tak maju-maju dan akhirnya bangkrut.

Narsisme juga mengurung dunia remaja. Karena begitu terkagum-kagumnya pada kemolekan tubuh sendiri, banyak di antara mereka kemudian mengabadikannya (secara telanjang) di depan kamera, lalu disebar kepada khalayak luas.

Mitchell JJ dalam bukunya, The Natural Limitations of Youth, mengatakan, ada lima penyebab kemunculan narsis, yaitu adanya kecenderungan mengharapkan perlakuan khusus, kurang bisa berempati sama orang lain, sulit memberikan kasih sayang, belum punya kontrol moral yang kuat, dan kurang rasional. Kedua aspek terakhir inilah yang paling kuat memicu narsisme yang berefek gawat.

Roslina Verauli Mpsi, biasa disapa Vera, seorang psikolog dari Empati Development Center mengatakan, ''Orang yang narsis merasa dirinya lebih tinggi dibanding orang lain.'' Menurut dia, narsis sudah tergolong ke dalam gangguan kepribadian.

Lalu apa ciri-ciri orang narsis, Vera coba menjabarkan:.

(1). Orang narsis merasa lebih penting dan besar dibanding orang lain. Contohnya, dia merasa paling hebat dalam hal prestasi, bakat, dan karier.

(2). Punya fantasi untuk mencapai sukses dan kekuasaan yang sangat tinggi. Walaupun hal itu mustahil untuk bisa dicapai.

(3). Merasa dirinya begitu unik dan beda dengan yang lainnya. ''Dia akan merasa lebih tinggi statusnya serta lebih cantik atau ganteng dibanding orang lain,'' papar Vera.

(4). Selalu merasa butuh pengakuan yang berlebihan dari orang lain.

(5). Mereka yang narsis selalu berharap yang tak masuk akal untuk diperlakukan oleh orang lain. ''Orang yang narsis selalu ingin diperlakukan istimewa, meski dirinya sebenarnya tak istimewa.''

(6). Narsis juga cenderung manipulatif dan selalu mengeksploitasi orang lain untuk kepentingan dirinya.

(7). Tidak bisa berempati pada orang lain. Ya, orang seperti ini tak akan merasa peduli dengan apa yang menimpa orang lain. Misalnya saja, bila ada temannya yang terkena musibah, orang narsis tak akan peduli.

(8). Selalu arogan.

Kalau di antara kita merasa punya lima saja ciri-ciri seperti itu, kata Vera, berarti sudah tergolong narsis. Karena narsis itu termasuk gangguan kepribadian, katanya, maka harus segera diatasi dengan cara berkonsultasi dengan psikolog. ''Tapi, kalau masih di bawah lima (ciri), masih tergolong kecenderungan narsis,'' ujarnya.

Yang jelas narsisme harus dihindari, karena orang-orang narsis cenderung dijauhi oleh lingkungannya. Barangkali karena narsis itu mirip najis.  Setiap si narsis bicara orang selalu berusaha menghindar untuk tidak mendengar. Kalau pun terpaksa mendengar, mungkin sungkan untuk pergi karena si narsis adalah orang berpengaruh, maka setelah dia berlalu, orang-orang yang mendengar selalu membahas ulang omongannya sambil tertawa-tawa.

Narsisme ternyata sangat berbeda dengan percaya diri (PD). Orang yang benar-benar PD tak perlu memamerkan semua kelebihannya. Dia tahu kualitas dirinya dan tidak bergantung kepada orang lain agar merasa nyaman.

Sebaliknya, orang narsis justru butuh pengakuan orang lain demi menggenjot rasa PD-nya. Inilah rahasia terbesar orang narsis. Jauh dalam hati mereka, tersimpan sebuah jiwa yang sangat rapuh dan mereka menutupinya dengan menekankan betapa hebatnya mereka yang terbukti dari banyaknya pujian dari orang lain. Seperti tokoh ibu tiri Putri Salju yang selalu bertanya pada kaca ajaibnya, "Mirror… mirror on the wall. Who’s the fairest of hem all?" ***



1 comment:

Anonymous said...

Interesting! :)
Kalau dalam urusan foto memoto, dunia di luar sana lebih menarik untuk dijadikan objek dibandingkan diri sendiri.
Semenjak pegang kamera, beruntung narsisme gwe jd berkurang ;-> hekhekhek