Monday, December 31, 2007

Setahun Itu Tak Lama

SETAHUN silam di hari yang sama, ia menyaksikan di televisi paranormal bicara soal kehidupan 360 hari ke depan. Pada hari yang sama dan di televisi yang sama, puluhan artis dan orang-orang yang mengaku artis serta yang ngebet dianggap artis, dari yang paling picisan sampai karatan, cuap-cuap tentang harapan masa depan.


Hari ini, setelah 360 hari berlalu, tayangan yang sama muncul lagi. Si paranormal masih mengulang “analisa”-nya, yang menunjukkan ia tak punya ilmu baru dalam membuat ramalan. Kajian lama diedit sedikit lalu dipaparkan lagi. Dan, televisi, dengan kebodohan yang sama dengan 360 hari lalu mengutipnya mentah-mentah, tanpa rasa berdosa kepada pemirsa.

Para artis, yang setahun lalu mengucap kata-kata penuh harapan, merapal kembali kalimat itu di layar kaca yang sama.

‘’Semoga album ku tahun depan lebih laris.’’

‘’Semoga aku bisa dapat peran yang lebih menantang.’’

‘’ Mudah-mudahan rumah tanggaku baik-baik saja, tidak kawin cerai seperti yang lain.’’

Di koran-koran dan majalah: polikus, koruptor yang dipuja-puja sebagai sosok mulia, pengusaha hitam dan pengusaha putih, tokoh masyarakat dan orang-orang yang sangat ingin ditokohkan oleh masyarakat nampang memberikan ucapan “Selamat Tahun Baru” dibumbui dengan harapan-harapan perubahan.

Hari ini, persis seperti setahun silam, di depan televisi yang bodoh itu sambil memegang lembaran koran yang mengabarkan berita-berita yang sama dengan tahun lalu: pesawat jatuh, kapal karam, banjir menerjang, tanah longsor dan sejuta lara lainnya, ia tertegun. ‘’Ternyata, setahun itu tak lama,’’ katanya dalam hati.

Hari ini, setahun yang lalu, anaknya masih berumur 40 hari. Ketika itu, wajah si bayi masih merah. Hanya bisa menangis ketika popoknya basah. Atau menjerit saat perutnya lapar. Kini, si bocah sudah bisa berdiri. Berjalan tiga empat langkah. Giginya sudah tumbuh. Sudah bisa bicara memanggil ayah, mengucapkan mamam saat lapar terasa, menunjuk celananya yang basah setelah ia pipis sambil berdiri.

‘’Rupanya, setahun itu memang tak lama,’’ ujarnya.

‘’Tanpa kita berharap pun, seperti para artis dan paranormal itu, semuanya pasti berubah,’’ ia bergumam dalam hati.

‘’Walau diri dan kehidupan kita tak berubah, waktu pasti berubah. Jika waktu berubah semua pasti berubah,’’ ia memperpanjang debat dalam hatinya.

Masih utuh dalam kotak memorinya, setahun lalu, ketika harap dan ragu bercampur jadi satu, saat hendak mengambil keputusan, apakah akan mengubah haluan yang sudah dilayarinya selama enam tahun terakhir. Godaan mencoba peruntungan di lautan yang baru sulit dienyahkan, karena alasan yang sungguh berat untuk dituliskan. Setahun berlalu, keputusan tak juga pernah ada. Harap dan ragu terus terpelihara. ‘’Nah, betul kan, setahun memang tak lama,’’ bisik hatinya.

360 hari silam, usai salat ashar di sebuah masjid di Batam Center, ia bertanya kepada takmir masjid, adakah Pak Takmir punya harapan di Tahun Baru? ‘’Saya berharap setiap saat, setidaknya tiap usai salat. Seperti semua jamaah yang datang ke sini, saya senantiasa berdoa,’’ jawab Pak Takmir.

Ia tertegun lagi, sambil bertanya dalam hati, kalau ucapan Pak Takmir ini benar adanya, lalu buat apa orang berpesta tiap Tahun Baru tiba? Ia mencoba menduga-duga. Barangkali Pak Takmir berpikir seperti ini: ‘’Harapan itu ada setiap waktu, karena Tuhan sebagai pendengar harap tak terbatas oleh waktu.’’

‘’Tahun Baru hanyalah setitik momen dalam sekian panjang waktu yang kita miliki dalam hidup ini. Mau Tahun Baru atau tidak, janganlah putus berharap. Sebab, hidup tidak bergulir dari tahun ke tahun, tapi dari detik ke detik yang terakumulasi dalam bilangan tahun. Dan perubahan yang baik adalah, perubahan yang terjadi dari detik ke detik dari jam ke jam dari hari ke hari.’’

Belum tuntas debat hati dalam ketertegunannya, Pak Takmir menyela dan membuyarkannya. ‘’Bagi saya tahun baru itu peristiwa biasa saja. Toh setelah pesta, hidup orang mengalir lagi seperti biasa. Bagi saya, seperti pesan Nabi Muhammad, hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, itu saja,’’ kata Pak Takmir sambil pamit membersihkan ruang masjid.

Setahun memang tak lama, buat apa berharap untuk berubah harus menunggu pergantian tahun dulu. Detik ini, hari ini pun sebenarnya bisa. Lalu teringatlah ia pada puluhan utang perubahan yang belum juga dilunasinya. ‘’Dari berpuluh-puluh tunggakan itu, satu yang paling mendesak saat ini, yaitu bersyukur,’’ batinnya coba mengingatkan.

Terkenang ia pada SMS teman kuliah dulu, yang sudah lima tahun lulus, tapi belum juga bekerja. ‘’Alhamdulillah, meski belum sepenuhnya sesuai idealisme dan harapan, saya ada pekerjaan.’’

Teringat ia pada cerita seorang sahabat, yang setiap saat harus bertengkar dengan istrinya, karena anggaran bulanan keluarga tak pernah cukup. ‘’Ya, Allah, Engkau Maha Pemurah. Walau tak berlebih, tapi rezekimu selalu tiba tiap hamba-Mu membutuhkannya.’’

Ingatannya melayang pada bocah kurus berkaos oblong tanpa celana yang menangis di tepi jalan dekat rumah liar Tiban III. ‘’Ya, Tuhan, Engkau luar biasa. Telah Kau karuniakan bagi keluarga kami seorang anak yang senantiasa melahirkan tawa dan kegembiraan di tengah gelisahnya hati.’’

‘’Sudahlah, Mas. Jangan terlalu lama melamun. Sudah mau maghrib. Berdoalah dan berusahalah setiap saat, jangan hanya di Tahun Baru, mudah-mudahan besok ada perubahan,’’ suara Pak Takmir mengagetkannya.

‘’Terima kasih. Saya ingin mencoba, tolong doakan saya.’’ Ia pun pamit pada Pak Takmir. ***

No comments: