Wednesday, December 12, 2007

Cerita TKI, Derita Tiada Henti



Persoalan hukum yang dihadapi tenaga kerja Indonesia (TKI) yang mengadu nasib di Malaysia masih terus terjadi. Sebagian dari mereka terbelit kasus kriminal dan harus mendekam di penjara. Sebagian lagi diperlakukan tak manusiawi oleh majikan: disiksa dan tak digaji belasan tahun. Perhatian pemerintah masih minim.


Meski sedang dibalut musim penghujan, Jumat pagi pekan lalu, cuaca cerah menggantung di langit Kota Johor. Di ujung tikungan Jalan Ayer Molek, di depan pagar sebuah rumah yang disulap jadi kantor, sekitar 600 manusia berjejal menunggu kesempatan masuk ke halaman berpagar besi yang dikawal seorang petugas berpewarakan tinggi bertampang India.



Inilah Kantor Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di wilayah paling timur semenanjung Malaysia. Dan ratusan orang yang berdesak-desakan itu, adalah warga Indonesia yang hari-hari menjemput rezeki di sana. ‘’Saya ke sini mau memperpanjang paspor, agar bisa terus bekerja,’’ kata Abdul Manan (32), TKI asal Lombok yang bekerja di perkebunan kelapa sawit.

Tepat pukul 08.30 waktu setempat, pagar hitam yang menjulang tinggi itu pun dibuka. Mereka berebut masuk dan langsung membentuk antrean dari depan loket pengurusan paspor yang berada di sisi kanan pintu masuk. Antrean terdiri dari dua baris. Tiap baris panjangnya sekitar 100 meter. ‘’Beginilah setiap hari. Rata-rata ada 600 sampai 800 orang kita datang mengurus paspor mereka,’’ kata Didik Trimardjono, salah seorang staf di KJRI Johor. ‘’Kalau hari Senin, jumlahnya bisa sampai seribu orang,’’ Didik menambahkan.

Aktivitas di KJRI Johor memang tak pernah lepas dari mengurusi masalah yang dihadapi para TKI. Maklumlah, di negara bagian ini tercatat 580 ribu warga Indonesia mengadu nasib di berbagai sektor. Mulai dari perkebunan, bangunan hingga pembantu rumah tangga. ‘’Jumlah itu baru yang terdaftar saja, belum lagi yang ilegal, jumlahnya bisa dua kali lipat. Itulah yang terus kita selesaikan,’’ kata Konsul Jenderal RI untuk Johor Renvyannis Gazali.

Persoalan yang membelit para TKI berkisar pada dua sumber utama: kalau tidak soal keimigrasian, pastilah soal gaji yang tak dibayar majikan. ‘’Yang paling sering kita tangani, ya soal upah dan keimigrasian. Masalah lain tidak terlalu menonjol,’’ kata Didik. Tapi, dibanding soal keimigrasian, masalah gaji jarang diangkat ke permukaan. Padahal, derita yang dihadapi warga Indonesia yang tak menerima upah setelah bekerja setengah mati, sungguh memilukan.

Lihatlah apa yang menimpa Darmini (34). Perempuan asal Malang, Jawa Timur itu, tak pernah menerima bayaran sepeserpun dari majikan yang mempekerjakannya sebagai pembantu rumah tangga, selama 14 tahun! ‘’Selama itu, saya mencoba bertahan. Berharap majikan membayar upah saya. Tapi, sampai kini tak pernah ada,’’ katanya

Keinginan untuk memperbaiki nasib, menjadi energi bagi Darmini untuk bersabar dalam penantian. ‘’Tapi, lama-lama saya tak tahan juga,’’ katanya. Puncaknya, Darmini memberontak. Ia kabur dari rumah majikannya ke KJRI. ‘’Saya nggak mau lama-lama diperlakukan seperti ini,’’ katanya.

Melalui KJRI, Darmini mengajukan gugatan kepada mantan majikannya. Serangkaian sidang sudah digelar di Pengadilan Malaysia. Didik menuturkan, angin kemenangan bertiup ke arah Darmini. ‘’Putusannya segera keluar. Kalau menang, dia bisa dapat ganti rugi 50 ribu ringgit atau sekitar Rp125 juta,’’ kata Didik.

Darmini tak sendiri. Di tempat penampungan KJRI Johor, kini terdapat 25 orang perempuan Indonesia bernasib serupa dengannya. Kusnaini (18), asal Palembang, Sumatera Selatan bernasib kurang lebih sama. Bila Darmini tak gajian selama 14 tahun, Kusnaini sedikit “beruntung”. ‘’Saya dua tahun tak menerima gaji,’’ katanya. Selain tak dapat upah,

Kusnaini juga kerap diperlakukan tak manusiawi oleh sang majikan. ‘’Tak tahan lagi, saya lapor ke sini,’’ katanya.Ia berharap bisa segera pulang ke kampung halaman. “Saya kapok bekerja di sini,’’ ucapnya. Kisah pahit Darmini dan Kusnaini hanya bagian kecil dari ratusan kasus yang pernah terjadi.

Agar tak terus terulang, KJRI mengubah sistem kontrak TKI di Johor. ‘’Sekarang dalam kontrak kerja yang ditandatangani antara majikan dengan pekerja, langsung dicantumkan upah yang wajib dibayarkan majikan. Kalau isi kontrak dilanggar, kita bisa gugat ke pengadilan dengan bukti kuat. Dan kita bisa menang,’’ kata Didik.

Selain itu, kata Didik, dalam menandatangani perjanjian, pihak majikan tidak boleh diwakili oleh agen tenaga kerja. ‘’Harus langsung yang bersangkutan. Kalau perusahaan, biasanya langsung GM (general manajer)-nya,’’ katanya.  Tujuannya, agar isi kontrak benar-benar dipatuhi kedua belah pihak.

Pasaran upah tenaga kerja di Johor cukup beragam. Untuk sektor pembantu rumah tangga, gaji pokok para TKI 500 ringgit sebulan. Ditambah sejumlah insentif mereka bisa membawa pulang hingga 1.000 sampai 1.200 ringgit sebulan.

Sedangkan sektor bangunan upah dibagi berdasarkan keterampilan. ‘’Untuk yang tidak punya skill menerima 30 ringgit sehari dan yang punya skill 40 ringgit,’’ papar Didik.


***
TIGA jam perjalanan dari Kantor KJRI, tepatnya di daerah Kluang, berdiri sebuah penjara besar dengan sistem pengamanan canggih. ‘’Ini penjara terlengkap dan termoderen di Asia Tenggara,’’ kata Jamaludin bin Saad, Kepala Penjara Kluang.

Penjara Kluang berdiri di atas lahan seluas 300 hektare dan dikelilingi kebun sawit Mulai beroperasi sejak Januari 2005 silam. Pembangunannya menghabiskan biaya 350 juta ringgit.

Keistimewaan Penjara Kluang bukan hanya pada sarana dan teknologi pengamanannya yang super canggih, tapi juga pada penghuninya. Meski berada di Malaysia, penghuni Penjara Kluang mayoritas adalah orang Indonesia. Dari 2.760 narapidana yang ada di sana, sebanyak 1.042 orang berasal dari Indonesia. 228 di antaranya adalah perempuan.

Mereka adalah tenaga kerja yang terjerat berbagai kasus. Mulai dari pelanggaran keimigrasian hingga tindak kriminalitas. ‘’Yang perempuan ada yang terlibat pelacuran,’’ kata Jamaludin.
Sebanyak 46 orang TKI yang menghuni Penjara Kluang akan dipulangkan ke daerah asal masing-masing melalui Batam.

Jamaludin mengatakan, setelah dideportasi tidak ada larangan bagi warga Indonesia yang pernah terjerat kasut untuk kembali bekerja di Malaysia. ‘’Sepanjang mereka datang dengan dokumen lengkap, kita akan terima,’’ katanya.

Pemerintah Indonesia melalui KJRI Johor menilai langkah penanganan TKI bermasalah yang ditempuh Pemerintah Malaysia makin membaik. ‘’Langkah-langkah yang mereka ambil makin makin baik. Dan kita terus berkoordinasi dengan mereka. Dan, segala biaya yang menyangkut deporrtasi ditanggung Pemerintah Malaysia,’’ kata Didik.

Tahun lalu, kata Didik, mereka yang dipulangkan berjumlah 23 ribu orang. ‘’Tahun ini, jumlahnya kurang lebih sama,’’ ujarnya. ***


No comments: