Wednesday, December 12, 2007

Menengok Bengkulu Usai Gempa Mengguncang



Sebuah truk warna hijau merayap pelan di jalan Desa Lubuk Lesung, Kecamatan Lais, Bengkulu Utara, Senin (24/9) siang. Kaki Yanto, sang sopir, belum penuh menginjak pedal rem, meski aba-aba segera berhenti sudah disampaikan kendaraan pemandu yang berada tepat di depan truk Hino yang dikemudikannya.


Belasan warga: perempuan, laki-laki, tua, dan muda berlari-lari kecil mengejar truk itu. Sejumlah anak-anak bahkan bergelayut di bagian belakang truk. Di tepi lapangan kecil di Desa Lubuk Lesung, Yanto memarkir kendaraannya. Belasan orang yang sejak pintu masuk desa mengejar kendaraan itu, sontak mengepungnya. ‘’Ada bantuan datang. Ayo, kita serbu,’’ teriak salah seorang dari mereka.

Suasana jadi hiruk-pikuk. Sebagian besar penghuni Desa Lubuk Lesung berdatangan ke lapangan kecil itu. ‘’Beginilah, Pak, setiap ada bantuan datang warga berebut ingin dapat,’’ kata Kepala Desa Lubuk Lesung Suprapto. Desa berpenghuni sekitar 500 kepala keluarga itu merupakan salah satu daerah terparah di Kabupaten Bengkulu Utara, yang diguncang gempa berkekuatan 7,9 Skala Richter sehari jelang Ramadan.

Menurut catatan pengurus desa, sedikitnya ada 60 rumah yang rata dengan tanah. Sekitar 150 unit lainnya mengalami rusak parah dan tak layak huni lagi. Deretan tenda ala kadarnya yang berdiri di depan runtuhan rumah di sepanjang sisi jalan desa megonfirmasi data itu.

Suprapto mengatakan, sejak petaka menghampiri desa mereka sejumlah bantuan memang datang dari berbagai lembaga nasional dan internasional. Tapi, kata dia, itu belum cukup. ‘’Warga belum bisa beraktivitas. Masih trauma. Jadi hidup sepenuhnya bergantung pada bantuan. Sebab itu, bantuan yang datang selalu habis,’’ katanya. Karena itu pula, Suprapto menambahkan, setiap ada bantuan datang warga mengejar dan menyerbunya. ‘’Desa ini masih butuh banyak pertolongan,’’ ucapnya.

Susianti (34), ibu dua anak balita, mengatakan, yang sangat dibutuhkan korban gempa di Lubuk Lesung adalah makanan bayi, baik berupa susu maupun biskuit. ‘’Di sini banyak balita, sedangkan makanan bayi sangat sedikit,’’ katanya, diamini ibu-ibu lainnya.

Kondisi serupa juga dialami warga Desa Maninjau, Kecamatan Batiknau, Argamakmur. Warga mengejar-ngejar setiap kendaraan pengangkut bantuan yang masuk ke desa itu. Kalaupun kendaraan bantuan tak masuk ke desa mereka, hanya melintas di jalan raya lintas Sumatera, warga memburunya beramai-ramai dengan sepeda motor. ‘’Kasarnya, warga masih haus dengan bantuan. Mau gimana lagi, memang itu yang bisa diandalkan sekarang untuk melanjutkan hidup,’’ kata Irman, tokoh warga Batiknau. Di desa yang dihuni mayoritas transmigran asal Pulau Jawa ini, ratusan rumah terempas diamuk gempa.

Nanang, seorang warga Bengkulu bercerita, dua hari hingga lima hari pasca gempa, perburuan warga terhadap bantuan lebih “ganas” lagi. Pencegatan truk bantuan di tengah jalan menuju lokasi bencana bukan cerita langka di wilayah itu. Setelah truk berhenti, warga menurunkan isinya beramai-ramai. Tak jarang pula, terjadi perkelahian sesama warga karena berebut bantuan. ’Ini karena pemerintah tak beres mengurus bantuan. Warga tak punya pilihan, tapi keluarga mereka harus bertahan hidup,’’ ucapnya.

Meski sudah lebih dari dua pekan gempa menghancurkan beberapa kawasan di Bengkulu, secara umum, kondisi sosial dan perekonomian masyarakat belum pulih. Warga masih diliputi trauma. Gempa kecil sesekali datang menyusul, mendebarkan jantung warga. Kabar burung yang beredar melalui SMS tentang bakal adanya gempa yang lebih besar dengan kekuatan 8,2 SR kian membuat penduduk dibalut kecemasan.

Warga yang rumahnya selamat dari guncangan gempa, tak luput dari perasaan takut. Karena itu, sebagian besar dari mereka sampai sekarang memilih tidur di ruang tamu. ‘’Ini untuk jaga-jaga saja. Kalau di ruang tamu, kita bisa cepat keluar begitu ada gempa besar lagi,’’ kata Kepala PLN Cabang Bengkulu Sasono. Di rumah dinasnya yang berarsitektur Belanda, Sasono menumpuk sejumlah kasur di ruang tamu. Di situlah ia bersama istri dan anak-anaknya tidur saban malam sejak gempa besar mengguncang. ‘’Di Bengkulu, banyak warga yang seperti ini, memilih tidur di ruang tamu daripada di kamar,’’ ungkapnya.

Bencana juga telah menyebabkan melonjaknya harga bahan kebutuhan pokok di Provinsi Bengkulu. Sejumlah toko yang selama ini berfungsi sebagai pemasok kebutuhan dasar masih tutup. Pemiliknya ada yang mengungsi ke luar dari Bengkulu. ‘’Pasar tak seramai dulu lagi. Pedagang masih ragu menambah barang, takut ada gempa nanti barang tak bisa diselamatkan,’’ kata Tamlan, pemilik toko kelontongn di Pasar Minggu, Kota Bengkulu. ‘’Selain itu, beberapa toko juga retak-retak sehingga harus direnovasi dulu sebelum dipakai lagi,’’ Tamlan menambahkan.

Syaiful Anwar, seorang pegawai BUMN mengatakan, kenaikan harga tidak hanya dikarenakan banyaknya toko yang masih tutup, tapi juga karena spekulasi dan praktik aji mumpung yang diterapkan beberapa pedagang. Menurut dia, banyak pedagang memanfaatkan tingginya permintaan kebutuhan pokok untuk menaikkan harga. Minyak goreng yang biasanya rata-rata dijual Rp10 ribu per kilo, mendadak naik harganya jadi Rp16 ribu. Begitu pula dengan mi instan dan makanan ringan lainnya. Harganya membubung tinggi.

Belakangan, permintaan terhadap bahan kebutuhan pokok meningkat pesat di Bengkulu. Permintaan tak hanya datang dari penduduk setempat, tapi lebih banyak dari donatur. Beberapa lembaga pemberi bantuan datang ke Bengkulu dengan hanya berbekal uang.

Setibanya di Bengkulu, barulah mereka berbelanja segala keperluan yang akan disumbangkan kepada korban gempa. Para donatur ini membeli berbagai barang dalam skala besar. Kesempatan inilah yang digunakan beberapa pedagang menangguk untung berlipat dengan meninggikan harga jual. Mereka, para pedagang itu, lupa bahwa bantuan itu sesungguhnya untuk saudara-saudara mereka juga, orang Bengkulu. Bukan orang luar.


***

SELASA (25/9), cuaca cerah menggantung di langit Mukomuko. Terik matahari menusuk ke pori-pori kulit. Di lapangan olahraga milik PT PLN Persero, sekitar tiga kilometer dari pusat pemerintahan Kabupaten Mukomuko, belasan bocah asyik berkejaran. Tak hirau dengan gerahnya udara selepas adzan zuhur siang itu. Tawa pecah ketika salah seorang dari mereka tersandung dan jatuh ke tanah.

Lapangan PLN Mukomuko adalah lingkungan baru para bocah tersebut. Setelah gempa besar yang terjadi Rabu (12/9), mengusir mereka dari rumah tempat mereka merajut hidup selama ini. ‘’Mereka sebelumnya tinggal di Pantai Indah. Rumahnya hancur kena gempa dan gelombang besar,’’ kata Novi, pegawai PLN Mukomuko.

Sejak hari naas itu, warga yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan boyongan ke lapangan PLN. Ada sebelas kepala keluarga mengungsi ke sana. Mereka tinggal di dalam enam unit tenda, yang dibangun dengan plastik dan terpal seadanya. Satu tenda dihuni dua keluarga. Tanpa sekat, tanpa pemisah. ‘’Jalani sajalah. Namanya juga musibah,’’ kata Buyung Syahrial, Ketua Kelompok Pengungsi Warga Pantai Indah. ‘’Untunglah ini bulan puasa, pikiran kita nggak kemana-mana,’’ kata Buyung terbahak, ketika ditanya bagaimana rasanya tinggal dalam tenda tanpa sekat dengan sepasang suami istri lain.

Para orang tua memang bisa menerima kenyataan tersebut. Namun tidak demikian dengan anak-anak mereka. ‘’Anak jadi sering rewel. Habis kalau siang begini di dalam tenda panasnya bukan main. Dia tak bisa tidur,’’ ujar Rosita, yang siang itu bersusah payah menghentikan tangis anak balitanya. Jika malam tiba, cuaca memang tak lagi gerah. Tapi, pergantian waktu tak menghentikan masalah. ‘’Nyamuk di sini banyak. Kalau sudah dini hari udara jadi dingin sekali. Habis di sini dikelilingi hutan,’’ Rosita menumpahkan keluhannya.

Di tempat pengungsian itu terdapat 12 anak balita. Kata Rosita, sejak area pengungsian dibuka, belum sekalipun bantuan berupa makanan dan kebutuhan balita pernah mereka terima. ‘’Yang belum biasa makan nasi, akhirnya dipaksa makan nasi. Daripada tak makan sama sekali,’’ ungkapnya.

10 kilometer dari lapangan PLN Persero, terdapat Kantor Kepala Desa Tanjungalai, Kecamatan Lubuk Pinang. Di teras kantor yang penuh debu dan sampah plastik, Mardenis sibuk membujuk Septi, putrinya yang masih berumur 2 tahun, agar mau menelan mi rebus yang disuapkan ke mulut bocah itu. ‘’Mungkin dia sudah bosan. Sudah dua minggu makan mi rebus dan nasi terus,’’ kata Mardenis.

Saban hari, kata dia, tiap keluarga korban gempa di Tanjungalai dijatahi beras 1,5 liter plus empat bungkus mi instan oleh aparat desa yang menerima bantuan kemanusiaan. ‘’Kalau mi rasanya melimpah-limpah, tapi makanan bayi tidak pernah ada yang kasih,’’ katanya.

Karena itu, ketika melihat berkardus-kardus susu dan biskuit balita diturunkan oleh organisasi penyumbang di Kantor Kepala Desa, Mardenis bersorak. ‘’Wah, ada roti dan susu ya,’’ katanya. ‘’Saya minta buat anak saya,’’ ujarnya.

Rumah Mardenis terletak di samping Kantor Kepala Desa. Kini rumah dari bahan batako itu tinggal puing belaka. ‘’Kami sekarang tinggal di situ,’’ ucapnya sembari menunjuk tenda warna oranye di sisi kanan Kantor Kepala Desa. Ia tak tahu sampai kapan akan tinggal di tenda itu. ‘’Sampai Lebaran mungkin masih di situ. Saya dan suami belum bisa berpikir mau bikin apa. Jangankan Lebaran, besok saja tak tahu bagaimana,’’ katanya.

Kepala Desa Tanjungalai Iskandar mengatakan, di wilayah itu tercatat 171 rumah hancur dan rusak parah. SDN 009, satu-satunya sarana pendidikan dasar di sana juga remuk tak berbentuk. ‘’Hingga kini sekolah masih diliburkan. Belum ada pengumuman dari pemerintah kapan belajar mengajar akan dimulai lagi,’’ katanya. ‘’Masyarakat kini hanya berpikir bagaimana hidup hari ini. Nggak mikir yang lain-lain, Lebaran apalagi sekolah anak,’’ kata Iskandar.

Desa Tanjungalai adalah daerah paling utara di Kabupaten Mukomuko. Desa ini berbatasan dengan Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Tak heran sebagian besar warga di sana berasal dari etnis Minangkabau. Sehari-hari mereka menggunakan bahasa Minang untuk berkomunikasi. Berbeda dengan Kota Bengkulu dan daerah selatan Provinsi Bengkulu yang lebih banyak menggunakan bahasa Palembang. Butuh waktu enam jam perjalanan darat melintasi perkebunan sawit dan karet untuk mencapai Mukomuko dari Kota Bengkulu. ***


No comments: