Monday, December 24, 2007

Hamer D-17

HAUR Mekar adalah sebuah perkampungan padat di Bandung. Ia berada persis di seberang kampus Universitas Padjajaran di Jalan Dipati Ukur. Kampung itu, kini dibelakangi oleh Monumen Perjuangan Jawa Barat, yang kokoh dan besar.

Oleh puluhan ribu penghuninya, Haur Mekar biasa disingkat Hamer. lokasinya sangat strategis. Ia berada tak jauh dari Dago, bisa ditempuh dengan jalan kaki di bawah rindangnya pohon Jalan Hasanudin di samping Unpad. Gedung sate dan Lapangan Gasibu, ikon utama Kota Bandung, hanya berjarak 500 meter saja. Posisinya simetris dengan Monumen Perjuangan Jawa Barat.


Haur Mekar memiliki lebih dari sepuluh blok, yang masing-masing blok dinamai dengan abjad, seperti Blok A, B, C, D dan seterusnya. Hampir semua rumah penduduk di perkampungan ini disulap jadi kos-kosan. Sebab itu, mayoritas penghuni Haur Mekar adalah mahasiswa dari berbagai daerah di Nusantara.

Selain sewa kamar yang relatif murah, mayoritas mahasiswa memilih tinggal di Haur Mekar, karena semua angkutan umum melintasi Jalan Dipati Ukur. Dari sini orang bisa menuju kampus mana saja. Mau ke ITB, Unisba, Unpas, dan Unpar, bahkan ke Unpad Jatinangor pun bisa, karena Damri mangkalnya di sini.

Karena dihuni begitu banyak manusia, segala kebutuhan hidup tersedia di Haur Mekar. Kecuali diskotek dan hiburan malam. Untuk urusan makan penghuni tak pernah risau. Ratusan tempat makan, mulai dari yang bercita rasa Sunda, Jawa hingga Padang, bertebaran di sini. Harganya murah meriah, kelas kantong mahasiswa.

Jika malam hinggap di kawasan itu, pilihan tempat makan makin beragam lagi. Puluhan tenda pedagang berderet rapi di sepanjang sisi Monumen Perjuangan Jawa Barat. Ada pecel lele, nasi goreng, soto, gule kambing, sate Madura, sate Padang dan sebagainya. Dari sekian banyak tempat makan, yang paling ramai disinggahi penghuni Haur Mekar adalah Kantin Haur Mekar. Di kantin ini pembeli makan dengsn sistem prasmanan: makanan diambil sendiri, setelah itu langsung bayar di kasir, baru boleh makan. Sistem seperti ini banyak digunakan tempat makan mahasiswa di Bandung.


***
SEJAK 1992 saya tinggal di perkampungan ini. Tepatnya di Haur Mekar Blok D 17 (Hamer D-17). Rumah ini milik Pak Koko. Menurut cerita Agus, cucu Pak Koko, kakeknya dulu adalah seorang jawara di kawasan itu. Pak Koko memang dikenal luas oleh warga di kawasan itu, bahkan hingga ke Haur Pancuh dan Sekeloa, kampung tetangga.

Saat masuk pertama kali, rumah kos Hamer D-17 memiliki 12 kamar: enam di lantai atas dan enam di lantai bawah. Lantai atas menggunakan papan kayu. Berandanya luas. Kalau malam hari nongkrong di beranda angin dingin terasa hingga ke tulang.

Mayoritas kamar kos Hamer D-17 dihuni oleh dua orang. Kamar mandi berada di bawah, berderet dekat tangga naik ke lantai atas. Jumlahnya ada lima. Kalau pagi mau mandi harus antri. Saya tinggal sendiri di lantai atas. Kamarnya cukup luas 3x4 meter. Waktu itu, sewanya Rp450 ribu setahun. Di antara para penghuni, saat itu, saya paling kecil, saya masih SMA, yang lain adalah mahasiswa.

Suasana kekeluargaan di Hamer D-17 kental terasa. Waktu itu, kamar kos yang memiliki tv dan komputer kebetulan hanya satu, yaitu di kamar sepupu saya, Rainir yang kuliah di Ekonomi Pembangunan Unpad. Karena itu, hampir saban malam, para penghuni kumpul di kamar itu nonton tv sambil main game komputer Championship Manager (CM) hingga adzan subuh terdengar.

Enam bulan pertama tinggal di sana, ada satu penghuni yang saya tak pernah tampak wajahnya. Kamarnya ada di bagian pojok lantai bawah. Meski saya tak pernah melihat orang di kamar itu, tapi pintu kamar selalu terbuka. Dari luar, suasananya di dalam kamar terlihat gelap, karena jendela selalu ditutupi gorden. Aneh.

Menurut Agus, cucu pemilik rumah kos, penghuni kamar itu bernama Wiganda. Ia kuliah di Fakultas Kedokteran Unpad. Wiganda berasal dari Garut. ''Sekarang dia lagi ke Timor-Timur,'' kata Agus. Wiganda rupanya bergabung dengan TNI lewat jalur akademis. Pangkatnya letnan dua.

Saat pertama berjumpa,  kesan "aneh" terhadap Wiganda tetap ada dalam benak saya. Ia pendiam, meski sesekali suka bercerita. Pulang dari Timor Timur, Wiganda pindah ke lantai atas. Ia berduet dalam satu kamar dengan Ali Abu Tholib, mahasiswa PAAP Unpad asal Sukabumi. Ali tak kalah "gila"-nya dengan Wiganda. Ia tak pernah berhenti becanda. Kamar mereka berantakan tak pernah rapi. Yang saya ingat, ciri khas Ali Abu Tholib adalah, ia kerap memakai celana jins yang merangkap kaos kaki. Maksudnya, kaki celananya selalu kepanjangan, dan tak pernah digulung, dibiarkan begitu saja hingga menutupi ujung jarinya.


***
TAHUN 1995 ada "revolusi" di rumah kos Pak Koko. Ia membangun sembilan kamar kos khusus kaum hawa dan menambah dua kamar lagi untuk pria. Sudah bisa diduga, kehadiran penghuni wanita menambah semarak kehidupan di Hamer D-17. Terlebih lagi, beberapa penghuni baru di kos-kosan pria masuk menggantikan penghuni lama. Para penghuni pria kerap "memantau" penghuni wanita. Ada yang benar-benar jatuh cinta, bahkan sampai jadian segala. Seingat saya, yang jadian itu Deddy (Fikom Unisba) dengan Nita (Biologi ITB)

Pada tahun itu, saya baru menamatkan SMA. Saya memutuskan tetap tinggal di Hamer D-17, karena saya meneruskan kuliah ke Fikom Unisba. Saya hanya pindah kamar saja ke bagian depan. Sebelumnya kamar saya ada di pojok belakang lantai atas. Harga kamar pun melonjak hingga Rp750 ribu setahun.

Dari tahun ke tahun pergantian penghuni di rumah kos Pak Koko selalu terjadi. Masa kontrak seluruh kamar biasanya berlaku dari bulan Juli tahun pertama masuk hingga Juli tahun depannya. Atau bertepatan dengan permulaan semester baru masa kuliah.

Kendati banyak perubahan yang terjadi di Hamer D-17, yang saya rasakan, suasana kebersamaan sesama penghuni kos tetap hidup terpelihara. Jangankan saling meminjam duit, kaset, dan buku, pinjam baju dan sepatu pun kerap dilakukan sesama penghuni. Yang paling sering digilir adalah hitter pemanas air untuk bikin mi rebus dan kopi.

Kalau malam hari, para penghuni pria dan wanita kerap berkumpul di beranda kos-kosan pria. Ngobrol sambil main gitar. Biasanya itu dilakukan setelah keluar rame-rame cari makan malam. Setidaknya, ada tiga orang penghuni yang jago nyanyi dan gitar, yaitu Deddy Bless (Fikom Unisba), Agung Akbar (STBA Yapari), dan sang maestro Hamer D-17 Andreas Kusumahadi (Geodesi ITB).

Saya punya kesan tersendiri terhadap Andreas. Arek Malang ini, orangnya pendiam. Tapi, ngobrol apa saja bisa nyambung. Ia cerdas. Pemuja Eddy Van Halen. Andreas adalah orang yang sangat bersahaja. Meski tak punya komputer pribadi di kamar kosnya, (sejak 1995 mayoritas penghuni Hamer D-17 punya komputer sendiri), tapi Andreas adalah tempat penghuni lain bertanya soal software dan hardware komputer. Ia justru lebih paham komputer ketyimbang mereka yang punya komputer. Ia mahir mengerjakan desain grafis dan animasi. Saya sering melihatnya mengerjakan desain di kamar Wildan (FE Unpas) atau Takwa (MIPA Unpad).

Pada tahun 1997, mayoritas penghuni Hamer D-17 adalah mahasiswa angkatan 1995 ke atas. Angkatan tua atau 1995 ke bawah sudah pada pindah, sebagian besar mereka sudah menamatkan kuliah atau bekerja. Di antara para penghuni yang muda-muda itu, ada satu penghuni yang dituakan. Abang Amancik, namanya. Ia menempuh studi S-2 di Fakultas Hukum Unpad. Abang Amancik adalah dosen Universitas Bengkulu. Bang Amancik juga orang yang sederhana. Tidak seperti penghuni lainnya, yang hari-hari makan di warung, Abang Amancik justru memasak sendiri. ''Biar hemat,'' katanya.

Saat Monumen Perjuangan Jawa Barat selesai dibangun, tahun 1998, sebuah kebiasaan baru merasuki penghuni Hamer D-17. Tiap sore, penghuni pria main bola di pelataran monumen. Beberapa rumah kos lain juga bikin "tim sepak bola" sendiri. Tiap sore, pelataran dan jalan yang menghubungkan Monumen Perjuangan dengan Lapangan Gasibu penuh oleh orang bermain bola. Semua penghuni demam bola. Saat Piala Dunia 1998 digelar, tiap malam diadakan nonton bareng di beranda menggunakan tv milik Rene (Perminyakan ITB).



***
WALAU tahun berganti dan penghuni datang dan pergi, tradisi dan kebiasaan yang ada di Hamer D-17 tak pernah lekang. Di sini, setiap orang hidup dengan ideologinya masing-masing: dari yang paling kiri sampai paling kanan. Tiap-tiap penghuni bebas menjalani hidup dengan gaya dan karakternya sendiri-sendiri. Ada yang malas nyuci, sehingga kalau baju bersihnya sudah habis, baju kotor yang ada di lemaripun dipakai lagi. Ada yang buang air di kamar mandi sambil sarapan kopi dan baca koran. "Untuk menyingkat waktu,'' katanya.

Debat dan diskusi soal isu-isu sosial politik politik aktual juga terus terpelihara, meski suasananya sangat warung kopi. Biasanya itu terjadi kalau penghuni sedang berkumpul di beranda atas. Di beranda ini juga penghuni baca koran Kompas yang dilanggani secara patungan. Atau baca selebaran gelap dan buku-buku yang dilarang pemerintah, yang dibawa oleh salah satu penghuni.

Tahun 1999, saya meninggalkan Hamer D-17. Waktu itu, ada sekitar lima penghuni lainnya yang juga keluar dari kos-kosan itu. Bersama Rocky, teman satu kelas saya di Fikom Unisba yang dulu juga tinggal di Hamer D-17, saya mengontrak sebuah rumah di Tubagus Ismail. Di lingkungan baru ini suasananya sangat sepi. Kebanyakan adalah keluarga, bukan mahasiswa. Saya tak kerasan tinggal di sini. Cari makan susah. Angkot pun hanya sampai jam 9 malam.

Januari 2000, saya pindah lagi ke Haur Mekar, tapi tidak ke rumah Pak Koko. Saya tinggal di Blok F. Sesekali saya masih mampir ke rumah Pak Koko, ketemu dengan penghuni lama yang masih bertahan di sana.

Pada Januari 2000 itu juga, bersama Riki, sepupu saya yang dulu juga tinggal di Hamer D-17, saya menjalankan usaha warnet di Jalan Titimplik. Sejak warnet beroperasi, saya tak pernah lagi singgah ke Hamer D-17 hingga tulisan ini saya ketik. Delapan tahun sudah lamanya. Tapi, penggalan hidup saya di Hamer D-17 dan para penghuninya beserta kebaikan-kebaikan mereka akan selalu hidup dalam ingatan saya: Rainir, Riki, Budi, Al, Cecep, Asep, Diki, Andreas, Eddy, Deddy, Agung, Feri, Mahdi, Romi, Rocky, Rudi, Rene, Aji, Abang Amancik, Nita, Ririn, Indah, Otih dan semua yang pernah di sana. Kalau Anda jumpa mereka, sampaikan salam saya. ***



3 comments:

Anonymous said...

wah...never ending story of hamer d-17 emang never ending...
kita masih keep in touch lho..
kumaha kabarna bal, damang? long time no see..

apew

Anonymous said...

sisa-sisa hamer d-17;
-deddy bless nikah sama nitta, udah punya anak 1,tinggal di jkt, trus ke bandung, sekarang di brebes.
-andreas udah punya anak, tinggal di deventer, netherlands, trus ke bandung, tahun depan pindah lagi ke france.
-asep sochoy, sekarang tinggal di bahrain
-dr wiganda, buka praktek di margahayu
-agung, di cirebon, anaknya baru satu.
-takwa, buka toko plastik di cirebon.
-wildan, punya anak satu, tingal di margahayu
-ali tolib, hilang dari peredaran
-feri, mahdi,romi di cirebon
-saya, tinggal di bandung, punya anak satu, istri juga satu.

apew

Anonymous said...

Allow.. barudaks 90 aya didieu yeuh: http://mcmxc.wordpress.com

Salam. Mungkin elo nggak begitu kenal aku, tapi dulu sering maen ke Hamer. Mun si Apew mah kenal lah...

Harry