Friday, December 28, 2007

Mereka Pamit Setelah Digigit

SARI Rahma kini hanyalah sebuah nama yang jadi kenangan tak terlupakan bagi keluarga Salbi dan Siti Lazima. Bocah perempuan berusia 12 tahun itu tak lagi muncul di tengah-tengah kehidupan mereka. Tak ada lagi kelucuan dan kelincahan Sari yang biasa mewarnai hari-hari keluarga Salbi. Hilang pula kenakalan khas anak-anak yang selama ini menghadirkan derai tawa.


Sari Rahma gadis cilik yang menjadi bunga di sebuah rumah bersahaja di Kampung Agas RT IV/RW VII, Kelurahan Seiharapan itu, pergi meninggalkan Salbi dan Siti selama-selamanya. Virus demam berdarah dengue (DBD) merenggut hidupnya sebelum sempat menapak masa yang lebih indah. Bunga keluarga Salbi itu kuncup sebelum merekah.

Sari ‘pamit’ pada Senin, 28 Juni silam di ruang ICU Rumah Sakit Umum Otorita Batam (RSUOB). Pelajar kelas enam SD itu digotong ke rumah sakit sepekan sebelumnya. Siti menuturkan, putri kesayangannya itu mengalami demam tinggi sekitar empat hari sebelum dibawa ke rumah sakit. Kala itu, Siti menduga anaknya hanya didera demam biasa. Karena itu, kata dia, ‘’Saya bawa berobat ke bidan saja.’’

Karena resep bidan tak mempan meredakan demam Sari, Siti memutuskan membawanya ke rumah sakit. Di sana, ia dipasangi dua buah selang infus masing-masing di hidung bagian kiri dan tangan sebelah kanan. Tapi, panas Sari tak surut juga. Ia masih sering merasakan demam tinggi bahkan kerap mengeluarkan muntah. Berbagai upaya ditempuh tim dokter untuk menyelamatkan Sari, tapi Tuhan menginginkannya saat itu juga. Pukul 11.15 Senin itu, Sari meninggalkan dunia fana. Duka menyesaki relung hati Salbi sekeluarga. ‘’Kami hanya bisa tabah dan berdoa semoga arwah Sari diterima di sisi-Nya,’’ kata Salbi pasrah. Sari dimakamkan di Pekuburan Umum Seipanas.

DBD pula yang memisahkan Petrus Panji Negara Sipahutar, biasa dipanggil Ipan, dengan kedua orangtuanya Dumas Sipahutar dan Sutinah Br Tobing. Ipan yang masih berumur lima tahun itu meninggal di RSUOB Selasa, 2 Mei silam. Sebelum masuk ke RSOB, warga Perumahan Bida Ayu, Tanjungpiayu tersebut sempat di rawat di RSUD Batuaji dan RS Casa Medical Center, Mukakuning.

Kepergian Ipan menambah panjang daftar kemalangan yang menimpa keluarga Dumas Sipahutar. Pasalnya, setahun lalu, salah seorang anaknya telah lebih dulu ‘meninggalkan’ mereka sekeluarga. Enam bulan kemudian bayi kembar pasangan Dumas-Sutinah juga mengalami nasib serupa. Kini, keluarga ini hanya punya Daniel (12) sebagai pelipur lara.

Sari dan Ipan adalah dua dari 149 korban DBD yang terdata sejak Januari lalu. Korban terakhir yang meninggal tercatat adalah Satria (1,9 tahun). Balita itu wafat di RSUD Batuaji, awal Agustus lalu, selang beberapa jam setelah sampai di rumah sakit milik pemerintah tersebut.

Pada awal musim penghujan pertengahan tahun ini, kasus DBD merebak lagi. Hampir setiap hari, rumah sakit kedatangan pasien DBD. Di RSUD saja, misalnya, dalam sepekan terakhir tercatat enam orang pasien. Pun demikian di RSUOB dan sejumlah rumah sakit lainnya. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya pencegahan, tapi jatuhnya korban tak bisa dihindarkan. ‘’Batam masih rawan,’’ kata Kepala RSUD Batam dr Nenden Siti Komariah.

Sebab itu, kata dia, bila ada anggota keluarga yang terkena gejala DBD berupa demam tinggi, sakit pada otot dan persendian, serta timbul bintik-bintik merah pada kulit akibat pecahnya pembuluh darah, maka segera larikan ke rumah sakit atau puskesmas terdekat. ‘’Jangan biarkan jadi parah. Makin cepat dibawa ke rumah sakit, makin besar kemungkinan diantisipasi,’’ katanya.

Repotnya, hampir sebagian warga, termasuk kalangan menengah atas, tidak bisa membedakan gejala DBD dengan gejala flu biasa ataupun penyakit lain, karena semuanya memiliki kemiripan. Bahkan, tak jarang petugas medispun kerap salah menduga. Karena itu, penanganan dan langkah pencegahan yang diberikan kepada korbanpun jadi berbeda.

Dengarlah pengakuan Nurhayati (35), warga Perumahan Bida Ayu, Blok W, Tanjungpiayu, ketika anaknya Monika Matondang terserang DBD, pertengahan Mei lalu. Nurhayati menuturkan, begitu Monika menderita panas dan demam ia langsung membawanya ke bidan terdekat untuk mendapat pertolongan. ‘’Kata bidan, anak saya kena demam dan campak,’’ ia menuturkan. ‘’Karena demamnya tak turun juga saya putuskan bawa ke rumah sakit saja, eh, ternyata DBD,’’ katanya. Setelah menjalani rawat inap di RSUOB, Monika dinyatakan sembuh.

Perihal salah diagnosis ini diakui dr Titte K. Adimidjaja dari Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan. Dalam situs depkes.go.id, ia menyebutkan, ‘’Penyakit DBD sering salah diagnosis dengan penyakit lain seperti flu atau tipus Hal ini disebabkan karena infeksi virus dengue yang menyebabkan DBD bisa bersifat asimtomatik atau tidak jelas gejalanya.’’

Masalah bisa bertambah rumit karena virus tersebut dapat masuk bersamaan dengan infeksi penyakit lain seperti flu atau tipus. Oleh karena itu, kata Titte K. Adimidjaja, diperlukan kejelian pemahaman tentang perjalanan penyakit infeksi virus dengue, patofisiologi, dan ketajaman pengamatan klinis.

Setali tiga uang, Kepala Dinas Kesehatan Batam juga mengakui seringnya salah diagnosa terhadap penderita dalam penanganan pertama. Akibatnya, penderitaan korban jadi berlarut-larut. Sebab itu, ia mewanti-wanti warga agar langsung ke rumah sakit saja. ‘’Kalau anaknya demam jangan ditunda, langsung periksa ke dokter jangan bidan. Bidan kan tidak ahli dalam hal penyakit DBD ini,’’ ujarnya.

Ahli epidemiologi dari RSUOB dr Thamrin Aziz menjelaskan, penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue dengan tipe DEN 1, DEN 2, DEN 3, dan DEN 4 oleh nyamuk aedes aegypti. Virus yang banyak berkembang di masyarakat adalah virus dengue dengan tipe satu dan tiga. ‘’Yang paling berat itu tipe tiga,’’ ujar Thamrin.

Manusia akan terserang penyakit DBD setelah mendapat gigitan aedes aegypti, dan virus yang dibawa oleh nyamuk tersebut menyebabkan gangguan pada pembuluh darah. ‘’Tapi, tidak setiap gigitan akan menyebabkan DBD,’’ katanya. Pasalnya, tidak semua nyamuk aedes aegypti mengandung virus dengue setiap saat. Akan tetapi, kata dia, warga harus tetap berhati-hati dan melakukan pencegahan dini. ‘’Karena sampai sekarang DBD belum ada obatnya,’’ Thamrin mengingatkan.

Karena obat penangkal belum ditemukan, maka penanganan yang diberikan kepada korban adalah meningkatkan daya tahan dan kekebalan tubuh. Maka tak heran, begitu pasien DBD masuk, petugas rumah sakit langsung memasang selang infus untuk menyuntikkan nutrisi ke dalam tubuh korban. Bahkan, hingga dua selang infus sekaligus. Trombositnya juga ditambah. ‘’Hanya itu yang bisa dilakukan, karena seperti penyakit AIDS, obat DBD juga belum ditemukan,’’ papar Thamrin.

Kondisi lingkungan adalah faktor yang paling menentukan berkembang biaknya penyakit membunuh ini. Departemen Kesehatan menyebutkan, yang paling berisiko menderita DBD adalah warga yang tinggal di daerah lembab serta daerah pinggiran kumuh. Penyakit DBD sering terjadi di daerah tropis, dan muncul pada musim penghujan.

Berdasarkan keterangan dari sejumlah rumah sakit di Batam, mayoritas penderita DBD adalah warga yang hidup di permukiman padat. Dinas Kesehatan Kota Batam mengidentifikasi kawasan Sagulung, Tiban kampung, Bengkong, dan beberapa permukiman padat lainnya sebagai daerah rawan DBD.

Thamrin mengatakan, nyamuk aedes aegypti berbeda dengan nyamuk anopeles penyebab malaria. Aedes aegypti, dalam istilah Thamrin, adalah “nyamuk elit”. Pasalnya, ia hanya bisa berkembang biak pada air yang bersih dan jernih. ‘’Tidak seperti nyamuk anopeles yang hidup di selokan,’’ katanya. Karena itu, yang terus menjadi perhatian adalah tempat-tempat penampungan, seperti bak air kamar mandi, tempat penampungan air minum, dan pot bunga. ‘’Hujan yang belakangan ini sering turun menyebabkan air banyak yang tergenang hingga habitat nyamuk makin tinggi pula,’’ kata Thamrin.

Dengan faktor penyebab seperti itu, Thamrin tak sepakat bila DBD dikategorikan hanya untuk kelompok warga kurang mampu saja. ‘’Mau anak yang tinggal ruli atau anak direktur sekalipun bisa kena DBD. Virus dengue tidak mengenal diskriminasi,’’ ujarnya. ‘’Sepanjang lingkungannya rawan untuk pembiakan aedes aegypti mau di perumahan elit sekalipun bisa kena,’’ katanya. ***



No comments: