Wednesday, December 12, 2007

Yang Risau Setelah Bercampur

Ratusan perempuan Indonesia di Batam rela jadi istri simpanan orang Singapura, meski posisi mereka lemah di depan hukum. Anak-anak mereka terancam kehilangan kewarganegaraan.

’’Cuma tahu sama teri aja, Mbak?’’ tanya pemilik sebuah warung kelontong di Tiban Indah kepada Hesti, suatu pagi akhir Juli lalu. ’’Iya, habis abang ku udah sebulan tak datang. Tak ada kabar,’’ kata Hesti. ’’Ditelepon dong, biar ke sini,’’ si pemilik warung menukas. ’’Iya, ntar aja,’’ jawab Hesti sambil melempar selembar uang lima ribuan dan berlalu dari warung itu.



Hesti, perempuan muda beranak satu asal Medan, sudah dua tahun lebih menetap di Tiban Indah, tak jauh dari warung tempatnya rutin belanja kebutuhan dapur saban pagi. Suaminya warga negara Singapura, yang kerap disebutnya “abang ku”. Ia mengaku dinikahi tiga tahun silam. Dari hasil pernikahan itu, Hesti, yang kini tengah mengandung anak kedua, dikarunia seorang anak perempuan berusia dua tahun. Bocah berkulit kuning dan bermata sipit itu diberi nama Tifa.

Sebulan terakhir Hesti uring-uringan. Suaminya yang bekerja sebagai sopir taksi di Singapura tak kunjung memberi kabar. Biasanya ia rutin datang tiap akhir pekan. ’’Hampir tiap malam HP saya simpan di samping bantal, takut kalau dia telepon saya tak dengar. Eh, sampai hari ini tak ada kabar,’’ katanya dengan raut gundah. Tifa pun ikut gelisah. Ia rewel nyaris setiap malam. Tak jarang pula si anak jadi sasaran pelampiasan kekesalan hati sang ibu. ‘’Kadang saya cubit biar berhenti nangis. Habis hati lagi kesal begini, dia tanya terus papanya di mana,’’ katanya.

Tak cuma kabar keberadaan suaminya yang membuat hati dan pikiran Hesti berkecamuk. Menipisnya cadangan fulus di kantong menggandakan kecemasannya. Ia mengaku uang tersisa hanya cukup untuk hidup seminggu ke depan. ‘’Kalau tidak, terpaksa ngutang untuk makan,’’ ucapnya.

Belakangan ia hanya menyantap lauk tahu, tempe, dan teri ditambah sayur kangkung. Sudah sepekan lidah Hesti tak bertemu daging dan ayam. Untunglah, rumah tipe 21 yang dikontraknya telah lunas sewanya hingga dua bulan ke muka. ‘’Biasanya tiap datang awal bulan dia ninggalin duit Rp2 juta,’’ ungkapnya. Semua kebutuhan masuk dalam jatah bulanan itu. Ya kontrakan rumah, rekening air dan listrik hingga kebutuhan anak.

Lalu kenapa tak telepon saja ke Singapura? Wajahnya mendadak merah. Diam sejenak, Hesti menjawab, ‘’Mana bisa. Saya tak boleh telepon dia. Dia kan sudah punya istri di sana. Kalau saya telepon, bisa-bisa dia malah ceraikan saya.’’

Di Batam, ada banyak perempuan seperti Hesti: jadi istri kedua orang Singapura. ‘’Jumlahnya ratusan orang. Tapi kita tak punya data pasti, karena mereka menikah tidak secara resmi,’’ kata Rainis Ris, Kepala Seksi Perkawinan, Perceraian, Pengesahan Anak dan Adopsi, Dinas Kependudukan Kota Batam.

Banyak jalan menuju tangga pelaminan. Bagi pasangan kawin campur seperti ini, proses perkenalan hingga sampai ke akad nikah biasanya berlangsung cepat. Hesti, misalnya, mengaku bertemu suaminya ketika ia bekerja sebagai pelayan stan makanan di sebuah food court di Nagoya. ‘’Dia rutin makan tiap week end di sana. Setelah sebulan kenal, akhirnya kami nikah,’’ tuturnya. Hesti dan suaminya nikah siri alias di bawah tangan.

Rainis Ris mengatakan, berdasarkan pengakuan yang ia dapat dari sejumlah perempuan yang jadi teman hidup orang Singapura, kebanyakan mereka berkenalan di tempat hiburan malam. Maklum, Batam adalah tempat plesiran akhir pekan lelaki Singapura, yang kerap disebut apek. Maka tak heran, predikat sebagai perempuan “nakal” dan “tak benar” melekat erat dengan perempuan-perempuan yang jadi istri simpanan orang Singapura.

Hesti tak menyangkal fakta itu, tapi ia bergegas menambahkan, ‘’Tak semua istri orang Singapura berasal dari dunia hiburan,’’ kata Hesti. ‘’Mereka yang biasanya ketemu di diskotek atau karaoke, biasanya tidak menikah, hanya dicarikan rumah lalu dikunjungi tiap minggu dan ditinggalin duit. Mereka tak mau punya anak,’’ katanya.

Pandangan miring itu tak hanya milik orang kita, di mata WN Singapura pun, posisi perempuan-perempuan itu sama saja. ‘’Teman-teman abang ku sampai sekarang nggak percaya kalau aku belum pernah masuk diskotek. Mereka selalu bilang kalau aku kenal abang ku di diskotek. Rasanya ingin kulempar saja muka dia,’’ kata Hesti. ‘’Ada yang bilang kita mau dinikahi karena ingin uangnya saja,’’ ucapnya.

Cerita yang sama mengalir dari mulut Iin (21), yang menikah dengan pria Singapura berumur 55 tahun. Ketika menumpang taksi dari Nagoya ke Tiban, ia mengobrol dengan sopir angkutan umum itu. ‘’Dia nanya suami saya orang mana,’’ kata Iin mengisahkan. Iin menjawab jujur, bahwa suaminya orang Singapura. ‘’Sambil tertawa si sopir tadi bilang: Mbak kalau suaminya tak pulang-pulang Mbak tinggal sama saya aja ya,’’ katanya menirukan. ‘’Sepertinya kita ini perempuan nggak benar,’’ ujar Iin.

Pelecehan semacam itu tak cuma sekali dialami Iin. Pengalaman buruk itu membuatnya tegang dan trauma setiap kali bepergian. ‘’Akhirnya, kalau di taksi atau di pasar jumpa orang, kalau ada yang nanya suami saya orang mana, selalu saya jawab suami saya orang Indonesia kerja di perusahaan kapal di Tanjunguncang,’’ katanya.

Pertemuan Iin dengan suaminya terbilang unik. Ia bertemu di Karimun ketika suaminya bekerja sebagai tukang las di perusahaan pembuatan kapal Karimun Sembawang Shipyard. Di perusahaan itu, orang tua Iin, yang aslinya berasal dari Kediri, bekerja sebagai pemasok makan siang bagi pekerja pabrik kapal Sembawang.

Ketika itulah, Iin yang masih duduk di bangku SMP kerap menemani ibunya mengantar makanan ke perusahaan milik BUMN Singapura itu. ‘’Saya sering ketemu suami di sana,’’ katanya. Cinta datang karena sering berjumpa. Si suami, akhirnya melamar Iin kepada kedua orang tuanya. ‘’Sampai sekarang saya nggak tahu kenapa saya mau menerima dia, mungkin karena sayang saja,’’ katanya. ‘’Kalau orang lain curiga alasannya karena uang, biar saja,’’ katanya. Akhir Desember 2000, mereka menikah siri di Karimun. ‘’Suami saya jadi mualaf,’’ kata Iin yang kini juga tinggal di Tiban Indah.

Sejak berhenti bekerja di Karimun, suami Iin, yang dari istri pertamanya di Singapura dikaruniai dua orang anak, membuka usaha bengkel di daerah Jurong, Singapura. Ia mengunjungi Iin dan Aisya, anak mereka yang kini berumur empat tahun, tiap akhir pekan di Batam.


***

RUMAH berdinding batako tanpa cat itu tampak sepi dari luar. Sebuah pintu di bagian depan yang terbuat dari bahan tripleks, tertutup rapat. Sayup-sayup suara televisi terdengar dari jendela yang berada di dinding sebelah kanan rumah. Di rumah sederhana berlantai semen kasar di Tiban Kampung inilah, Sulaiman (bukan nama sebenarnya) tinggal bersama keluarga. ‘’Silakan masuk,’’ katanya, ketika saya datang mengetuk, Senin (20/8).

Dari informasi yang diperoleh, Sulaiman dikenal sebagai “penghulu”. Ia kerap menikahkan sejumlah pasangan yang butuh pengesahan sebagai suami istri dalam waktu cepat. ‘’Kalau sering sih nggak juga, tapi beberapa kali memang iya,’’ katanya. Berdasarkan catatan dalam memori Sulaiman, setidaknya ia pernah menikahkan empat pasang perempuan Indonesia dengan lelaki Singapura. ‘’Sesama orang kita juga ada,’’ kata pria 40 tahun itu.

Menurut Sulaiman, yang ia lakukan tidak menyalahi aturan. ‘’Secara Islam itu sah. Syarat-syaratnya terpenuhi semua. Mempelai pria juga sudah masuk Islam,’’ katanya. ‘’Hanya memang tidak ada bukunya. Tidak tercatat di lembar pemerintah,’’ ia menambahkan.

Yang dimaksud Sulaiman adalah nikah siri. Prosesi nikah seperti inilah yang paling sering dilalui pasangan campuran Indonesia-Singapura. Jalan ini ditempuh karena syaratnya tidak serumit ketika sepasang pengantin menikah secara resmi di Kantor Urusan Agama atau di Kantor Catatan Sipil.

Yang penting ada wali dan mahar, ijab kabul bisa dilangsungkan. Bahkan, wali perempuan lebih sering tidak berasal dari keluarga inti. Tarifnya pun sangat terjangkau. ‘’Kalau saya ala kadarnya saja. Biasanya Rp500 ribu,’’ kata Sulaiman. Menurut dia, tak sulit untuk mencari “penghulu” di Batam ini. ‘’Banyak kok yang bisa menikahkan, kalau Anda mau,’’ katanya.

Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Sekupang, Sobri mengatakan, ada beberapa alasan kenapa nikah siri ditempuh pasangan perempuan Indonesia dengan lelaki Singapura atau lelaki asing lainnya. ‘’Yang pertama, jelas karena si perempuan bukan istri pertama. Kedua, karena si pria tidak mendapat izin dari istri pertama. Nikah ini adalah nikah diam-diam,’’ kata Sobri.

Untuk menikah secara resmi dengan WN Singapura, kata Sobri, perlu syarat lumayan berat. Pertama, calon mempelai pria harus mengantongi rekomendasi dari Mahkamah Syariah Singapura. Bagi calon mempelai yang jadi mualaf, sebelum rekomendasi diterbitkan Mahkamah Syariah, mereka terlebih dahulu dibina oleh Majelis Agama Islam Singapura. ‘’Rekomendasi dari Mahkamah Syariah kemudian dilampirkan dengan foto copy paspor, kartu identitas (KTP Singapura), dan pas foto,’’ kata Sobri.

Khusus untuk calon mempelai yang sudah punya istri, wajib melampirkan surat keterangan dari istri pertama. ‘’Kalau istri sudah meninggal atau cerai harus ada surat keterangan dari Pemerintah Singapura. Semacam akte cerai,’’ kata Sobri. Karena syarat yang dimintakan rasanya sulit dipenuhi, akhirnya banyak pasangan memutuskan nikah siri. ‘’Kebanyakan alasan mereka lebih mudah dan murah. Mereka tak sadar kalau nikah siri risikonya besar,’’ kata Sobri.


***

MENJELANG tahun ajaran baru 2007/2008 pada Juni lalu, Ariana sibuk bukan kepalang. Aryo (7), anak tertuanya, bakal masuk sekolah dasar. Soal biaya, perempuan beranak dua itu tak terlalu risau. ‘’Waktu itu, saya hanya cemas Aryo nggak diterima karena dia nggak punya akte kelahiran,’’ kata dia menuturkan. Sejak Aryo lahir, Ariana yang kini menetap di Marina Park, Nagoya itu, memang tak pernah mencatatkannya di Dinas Kependudukan. ‘’Prosesnya rumit,’’ kata dia.

Ketika coba mengurusnya dua tahun lalu, waktu Aryo mau mendaftar ke taman kanak-kanak, Ariana dimintai syarat yang tak sanggup ia penuhi. ‘’Mereka menanyakan buku nikah saya,’’ katanya. Seperti pasangan Indonesia-Singapura di Batam umumnya, Ariana dan suaminya nikah bawah tangan. ‘’Bagaimana saya mau tunjukkan, kalau buku nikahnya saya nggak punya,’’ kata perempuan yang sudah dua tahun tak dikunjungi suaminya, meski masih terus mendapat kiriman uang tiap bulan.

Kepala Seksi Perkawinan, Pencatatan, Pengesahan Anak dan Adopsi, Dinas Kependudukan, Rainis Ris mengatakan, buku nikah orang tua adalah syarat wajib mengurus akte kelahiran anak. Namun, jika si ibu tidak bisa menunjukkan buku nikah, maka ia harus meminta ketetapan atau vonis pengadilan. Ketentuan itu, kata dia, diberlakukan bagi anak hasil nikah siri atau hubungan di luar nikah. ‘’Nikah siri atau luar nikah, dalam undang-undang statusnya sama saja, yaitu di luar perkawinan,’’ papar Rainis.

Setelah akte diterbitkan, nama ayah tidak tercantum di lembar negara itu. ‘’Hanya ada nama ibu dalam akte kelahiran. Begitulah ketentuannya,’’ kata Rainis. Ketentuan itu mengacu pada pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Di situ disebutkan, anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. ‘’Itulah bedanya anak hasil nikah resmi dengan nikah siri atau di luar nikah. Itu risiko bagi yang menempuh jalan tersebut,’’ ia menegaskan.

Kepusingan itulah yang dialami perempuan Indonesia yang menikah tak resmi dengan WN Singapura. Hesti dan Iin hingga kini belum mengurus akte kelahiran anak mereka karena terganjal masalah yang sama. ‘’Nanti saja, kalau sudah mau masuk sekolah,’’ ujar Iin. Untuk tetap bisa menyekolahkan anaknya, Ariana akhirnya menempuh jalan pintas untuk mendapatkan akte. ‘’Ada yang bantu, akhirnya Aryo dapat akte juga. Biayanya Rp2 juta,’’ katanya. Namun, Rainis Ris membantah biaya pembuatan akte anak nikah siri sebesar itu. ‘’Nggak sampailah. Biayanya relatif,’’ katanya sambil menolak menyebut angka pasti.

Selesai soal akte, rintangan lain siap menanti anak-anak hasil kawin campur lewat jalur tak resmi ini. Kepala Bidang Pelayanan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Provinsi Kepri, Hajerawati mengatakan, jika orang tua ingin anak-anak mereka jadi warga negara Indonesia, mereka wajib didaftarkan ke Departemen Hukum dan HAM. ‘’Ketentuan ini berlaku bagi anak-anak hasil kawin campur yang lahir sebelum 1 Agustus 2006,’’ katanya. Kepada mereka pemerintah memberi waktu tiga tahun. ‘’Kalau tidak, anak-anak itu bisa kehilangan kewarganegaraan atau stateless,’’ katanya menegaskan. Bagaimana dengan anak yang lahir setelah 1 Agustus 2006? ‘’Mereka otomatis jadi WNI berdasarkan Undang-Undang 12 tentang Kewarganegaraan. Namun pada saat berumur 18 tahun si anak tetap harus memilih apakah ikut kewarganegaraan ibu atau ayah,’’ katanya.

Meski Hajerawati mengaku sudah melancarkan sejumlah sosialisasi, nyatanya tak banyak perempuan pasangan hidup WN Singapura, yang rata-rata berpendidikan SMA ke bawah, tahu masalah ini. IIn dan Hesti, misalnya, hanya menggelang ketika ditanya. Ariana malah lebih lugu lagi. ‘’Saya kira setelah dapat akte semuanya sudah selesai,’’ katanya.

Data terakhir di Kanwil Dephuk dan HAM Kepri, sejak kantor itu beroperasi setahun lalu, ada 155 orang yang mengajukan permohonan. Hajerawati mengatakan, persyaratan mengurus kewarganegaraan bagi anak yang lahir sebelum 1 Agustus 2006 adalah membuat surat permohonan, melampirkan foto kopi KTP pemohon (ibu), akte kelahiran anak, buku nikah, kartu keluarga, dan pas foto. ‘’Untuk yang nikah siri harus ada penetapan dari pengadilan,’’ katanya.

Rainis Ris mengatakan, tak cuma masalah kewarganegaraan yang bakal dihadapi anak-anak ini. Untuk mendapatkan warisan, di mata hukum posisi mereka juga lemah. ‘’Lha, bagaimana mau dapat warisan dari ayah, orang dalam aktenya saja jelas-jelas nama ayahnya tidak ada. Posisi mereka benar-benar lemah,’’ katanya. Karena itu, kata dia, ia kerap menasihati warga Indonesia yang ingin menikah dengan WN Singapura. ‘’Saya selalu bilang, pikirkanlah masak-masak. Jangan bangga punya suami Singapura, toh tidak semua kaya dan baik,’’ katanya.

Berdasarkan pengamatan Rainis, mayoritas pria Singapura yang menikahi orang kita umumnya bekerja di sektor informal. ‘’Di sana mereka kerja jadi tukang sapu, cleaning service, sopir taksi, buruh pelabuhan dan pekerjaan kasar lainnya. Mereka kelihatan gagah kalau ke Batam karena nilai dolar Singapura lebih tinggi dari rupiah,’’ katanya.

Perempuan Indonsia bukannya tak menyadari hal itu. Karena itu, sebagian mengantisipasi dengan membuat perjanjian dan menuntut pembelian harta atas nama mereka. Iin dan Ariana menjadikan rumah yang dibeli suaminya atas nama mereka. ‘’Anak saya juga sudah masuk asuransi yang dibayar oleh suami,’’ kata Ariana. ‘’Rumah ini pegangan saya, kalau suatu saat suami tidak ada lagi,’’ kata Iin. ***


No comments: