Monday, December 24, 2007

20/11/2006 (Kelahiran)


HARI baru saja berganti. Pukul 24.10, sepi membekap kawasan Simpang Jam, titik lalu lintas terpadat di Batam. Dari sebuah kamar di lantai dua Rumah Sakit Awal Bros, seorang suster berseragam merah berkata kepada rekan kerjanya, yang mengenakan seragam putih, ‘’Kalau jam segini, Batam sudah mati,’’ ujarnya. ‘’Kita saja yang masih hidup,’’ temannya menjawab.


Di samping kedua suster itu, di atas sebuah ranjang dengan seprei putih, seorang perempuan tak henti mengucap sahadat dan salawat. Ujung selang infus terpasang di tangan kirinya. ‘’Sudah buka berapa?’’ suster baju merah bertanya. ‘’Baru dua,’’ si baju putih menjawab dan menambahkan, ‘’Masih lama, mungkin tiga jam lagi.’’

Tiga jam, dalam situasi menahan sakit, bukanlah waktu yang singkat. Setelah para suster itu pergi, saya mengulang lagi ucapannya kepada perempuan yang terbaring di ranjang. ‘’Suster tadi bilang sekitar tiga jam lagi,’’ kata saya. ‘’Ya, nggak apa-apa, tunggu saja,’’ kata Narti Kristiyani, perempuan itu, istri saya. Ia sedang berjuang menahan sakit melahirkan anak pertama kami.

Melahirkan bagi seorang perempuan adalah kodrat. Tapi, menurut saya, substansinya bukan soal kodrat dan keharusan yang harus dijalani perempuan. Melahirkan (secara normal), bagi saya, adalah sebuah pergulatan antara hidup dan mati, yang sesungguhnya.

Sejak ketuban pecah, si ibu sudah meregang badan menahan sakit. Proses dari ketuban pecah hingga si bayi benar-benar terlahir bisa memakan waktu hingga enam jam. Selama rentang itulah, rasa sakit tak bisa dihentikan. Makin dekat detik kelahiran, makin memuncak rasa sakit. Karena itu, merapal doa dan ayat suci sembari memasrahkan diri pada Tuhan adalah satu-satunya pilihan.

Menurut seorang suster yang ikut dalam penanganan proses kelahiran anak kami, dalam pergulatan itu, ada tiga kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, ibu dan bayi selamat semua. Kedua, ibu selamat tapi bayi tidak. Ketiga, bayi selamat, tapi ibunya tidak.


***
TIGA jam setelah kedua suster tadi pergi, atau sekitar pukul 03.00 dini hari, belum juga terlihat tanda-tanda anak kami bakal lahir. Tak lama suster datang mengecek. Lalu berkata, ‘’Belum. Tunggu saja,’’ katanya. Apa boleh buat, kami harus memperpanjang masa penantian. Ini pengalaman pertama sepasang suami istri yang harap-harap cemas menanti kelahiran buah hati.

Saat adzan subuh berkumdang, lafal sahadat dan salawat istri saya makin keras terdengar, berpacu dengan rasa sakit yang makin tak tertahankan. Tiga orang suster kemudian datang lagi. Ia mengecek kondisi terakhir. Dengan suara agak terkejut, ia berkata pada rekannya, ‘’Wah, sudah buka delapan. Ayo, cepat ke ruangan kelahiran,’’ katanya.

Dengan menggunakan ranjang dorong, istri saya dibawa ke ruang kelahiran. Si suster kemudian menelepon dr Adriyanti, dokter yang menangani istri saya sejak masa awal kehamilan. Dokter Aad, begitu ia biasa dipanggil, datang tergopoh-gopoh. Tampaknya ia belum mandi. ‘’Bagaimana?’’ ia bertanya pada para suster yang mengelilingi istri saya. ‘’Sudah dekat, Bu,’’ jawab salah seorang dari mereka.

Dokter Aat pun memulai pekerjaannya. Saya berdiri di samping istri saya. Memegang tangannya sambil membaca doa. Dalam situasi kritis, ketika para perempuan bergulat menahan sakit saat melahirkan, tak ada yang lebih yang bisa dikerjakan para suami, kecuali “hanya” berdiri di samping istrinya, atau merokok di luar ruangan!

Pukul 06.10, Senin 20 November 2006, anak yang kami tunggu-tunggu, akhirnya lahir dengan selamat. Alhamdulillah. Sesuai rencana, ia kami beri nama bernuansa Jawa (istri saya dari Solo). Radithya Wisanggeni, nama anak kami. Radithya artinya Matahari dan Wisanggeni adalah sosok dalam dunia wayang dengan kemampuan bisa terbang seperti Gatotkaca dan masuk ke bumi seperti Antareja dan hidup di laut seperti Antasena.

Mengutip pesan Kahlil Gibran, kami berharap, anak kami, Radithya Wisanggeni di masa depannya adalah, “orang yang menatap Matahari dengan mata nyalang dan menggenggam bola api dengan jari jemari tanpa gemetar’’. Semoga! ***


No comments: