Friday, December 28, 2007

Bertaruh Nyawa Menjaga Hutan

KARTU bridge warna biru itu tak sempat dirapikan. Lembar-lembarnya berserakan tak beraturan. Umar Saleh (34) bersusah payah menyusunnya. Tapi, kantuk yang mendera membuat tangannya seperti kehilangan tenaga. Ia terkulai dengan wajah tengkurap di atas lembaran kartu permainan logika yang sudah lusuh itu. Sayup-sayup suara dengkuran terdengar dari mulutnya. Berpacu dengan bisingnya knalpot dan mesin kendaraan yang melintas hanya beberapa meter saja tempatnya terlelap.


Anggalena (29), rekan Umar Saleh, sudah lebih dulu menuju ‘’peraduan’’. Meski hanya beralas sehelai tembikar, lelaki asal Aceh itu tak merasa kedinginan. Bahkan, ia tidur tanpa baju. ‘’Pengap dan gelap di sini. Tapi, silakan kalau mau istirahat,’’ kata Anggalena kepada saya di Pos Pengamanan Hutan Lindung Seiladi. ‘’Saya ketiduran, habis kerja kami hanya berjaga seharian,’’ kata Umar. ‘’Suntuk juga, tapi tak ada pilihan,’’ lelaki asal Flores beranak dua itu menambahkan. Umar dan Angga adalah petugas jaga hutan atau biasa disebut jagawana, khusus Hutan Lindung Seiladi

Hutan Lindung Seiladi memiliki luas 59,37 hektare. Kawasan itu ditetapkan sebagai hutan lindung melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 428/Kpts-II/1992. Kerika itu Menteri Kehutanan dijabat oleh Ir. Hasrul Harahap. Hutan Lindung Seiladi membentang dari arah Simpang Jam sampai areal permukiman Tiban Kampung. Ia berbatasan dengan Hutan Lindung Bukit Tiban.

Hutan itu melintasi sebuah waduk yang jadi salah satu sumber air utama warga Batam, Waduk Seiladi. Volume air di waduk ini mencapai 9.600.000 meter kubik, dengan kisaran debit 290 liter per detik. Fungsi utama Hutan Lindung Seiladi adalah menjaga sistem tata air atau hidro orologis Waduk Seiladi. Umar dan Anggalena adalah bagian tak terpisahkan dari lingkaran sistem itu. Menjaga agar hutan tak punah dan air waduk tak mengering.

Wilayah pengamanan Umar dan Angga berada tak jauh dari Waduk Seiladi. Pos mereka berjarak sekitar 100 meter dari jembatan besi yang membentang di atas waduk itu, tepat di seberang jalan masuk Hotel Vista. Beban tugas sebagai jagawana tidaklah ringan. ‘’Selain menjaga hutan, kami juga mengamankan waduk,’’ kata Angga.

Bersama dua rekan lainnya, mereka bergiliran siang dan malam. Kadang duet Umar dan Angga kebagian jatah jaga malam, rekan lainnya jaga siang. Dan, sebaliknya. Untuk menumpas rasa jemu karena berjaga seharian atau semalaman, mereka bermain bridge. ‘’Kalau main kartu terus bosan juga. Ya, kita tidur aja lah,’’ ucap Angga.

Angga mengatakan, mengamankan hutan butuh nyali besar. ‘’Ini kerja menyabung nyawa,’’ katanya. Selain berhadapan dengan manusia, mereka juga harus menatap risiko bertemu binatang buas. ‘’Yang harus kita hadapi penebang liar dengan alat yang tak bisa ditandingi,’’ ujarnya dengan ekspresi orang sedang ketakutan. Bagi Umar dan Angga menyerbu penebang liar adalah berjudi dengan nasib. Pasalnya, peralatan yang mereka miliki sungguh sangat minim. Patroli rutin yang mereka gelar hanya berbekal sebuah senter. Senjata? ‘’Senjata kami hanya keberanian,’’ Angga mengeluh. ‘’Paling kalau duel, ya pakai kayu,’’ ujarnya.

Para penebang liar kini makin canggih. Selain menggunakan mesin, mereka juga pakai kendaraan roda empat gardan ganda menembus hutan. Sebab itu, jagawana kerap kecolongan. Pernah, suatu ketika, tutur Umar, mereka dapat informasi ada penebang liar. ‘’Tapi, begitu sampai di lokasi, kita hanya menemukan sisa-sisa. Kami kalah cepat,’’ kata Umar. Sama dengan Angga, Umar pun hanya mengandalkan nyali dan pasrah pada Tuhan. ‘’Sesungguhnya ibadahku, hidup dan matiku hanya karena Allah,’’ kata Umar mengutip bacaan salat. ‘’Kalau terjadi apa-apa itu risiko,’’ katanya kalem.

Sebab itu pula, setiap penggerebegan penebangan liar mereka lebih memilih berkoordinasi dengan Direktorat Pengamanan Otorita Batam. ‘’Kita lapor ke pusat saja,’’ kata Angga. Pusat yang dimaksud adalah OB sebagai institusi. Karena, rantai informasi yang begitu panjang, jangan heran mereka sering kecolongan.

Tak hanya mengamankan hutan, mengawasi waduk pun tak kalah rumitnya. Mereka diperintahkan untuk melarang orang-orang yang memancing di waduk itu. Tapi, usaha mereka kerap membentur tembok. ‘’Yang paling banyak mancing justru aparat. Kita serba salah,’’ kata Angga. ‘’Kita ingatkan, mereka malah sebut-sebut pangkat segala,’’ katanya. ‘’Bahkan, motor mereka di parkir di depan pos kami ini. Ini nantang atau apa?’’ ucapnya. ‘’Orang ATB pun sering mancing di sini,’’ ia menambahkan.

Kendati mempertaruhkan nyawa, tapi upah yang diterima jagawana masih jauh dari layak. Per bulannya, ungkap Angga, mereka hanya mendapat gaji Rp750 ribu yang dibayar tiap tanggal 17 plus makan siang. Kalau kebagian shift malam, jatah makan hilang. Terpaksa bawa sendiri dari rumah. ‘’Yang antar gaji orang dari PT,’’ kata Angga.

Rupanya, mereka direkrut melalui perusahaan outsourcing. Tapi, malangnya, Angga dan Umar sendiri tak tahu nama perusahaannya. ‘’Apa ya…? Saya lupa,’’ kata Angga sambil menatap Umar seolah mencari jawaban kepada rekannya itu. ‘’Saya juga tak tahu,’’ Umar menukas cepat. ‘’Yang jelas, orangnya kalau datang pakai Motor Supra Fit,’’ ujar Angga. Mereka juga tak paham apakah dapat asuransi kerja atau tidak. ‘’Itulah, saya nggak ngerti. Ditawarkan kerja, ya saya terima saja,’’ kata Angga.

Cukupkah gaji itu? ‘’Jangankan Pak Umar yang punya keluarga, saya yang lajang saja, gaji itu tak cukup,’’ ungkap Angga. Dan, tak hanya gaji yang di bawah UMK, fasilitas kerja pun sungguh sangat minim. Dari pertama masuk, mereka dijanjikan akan diberi seragam dinas (pakaian, sepatu dll). ‘’ Tapi sampai sekarang nggak ada. Mungkin dia sudah lupa,’’ kata Angga.

Pos penjagaan yang mereka tunggui pun kondisinya sangat memprihatinkan. Kamar mandi yang tersedia di dalam pos, tak pernah berfungsi, karena tidak ada aliran air. ‘’Kalau mau buang air atau mandi, harus pergi ke mata air di belakang, jaraknya 200 meter,’’ ujar Umar. Derita itu belum cukup, listrik di pos jaga pun kini tak mengalir lagi. ‘’Sudah dua bulan mati,’’ kata Angga. Sampai sekarang, mereka hanya mengandalkan penerangan lampu jalan yang berada persis di depan pos jaga. ‘’Beginilah, bagaimana lagi,’’ kata Umar. ‘’Kalau ada pekerjaan lain, tolong kabari saya,’’ Angga berharap.



***
SETELAH hampir 14 tahun sejak pertama kali dikukuhkan, kondisi hutan di Batam telah mengalami banyak perubahan, penyusutan, dan kerusakan. Kepala Seksi Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Wilayah Batam, Himawan Sasongko menyebutkan, kerusakan hutan di Batam disebabkan oleh dua faktor utama. Pertama, adanya perubahan peruntukan secara sepihak untuk kepentingan pembangunan. Kedua, karena perambahan liar. ‘’Namun, faktor pertama jauh lebih dominan. Perambahan liar persentasenya sangat kecil sekali,” ujarnya.

Perubahan peruntukan secara sepihak yang dimaksud Himawan adalah pengalokasian kawasan hutan lindung oleh Otorita Batam kepada pihak ketiga untuk keperluan komersil. Selama ini, proses itu dikenal dengan istilah ‘’alih fungsi”. Akan tetapi, Himawan menjelaskan, kata ‘’alih fungsi” bisa digunakan jika perubahan peruntukan hutan sudah mendapat persetujuan Menteri Kehutanan dan dibuatkan surat keputusannya. ‘’Kalau belum ada SK Menhut, berarti itu perubahan peruntukan secara sepihak, bukan alih fungsi,” tegasnya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi SDA Hayati dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang berhak melakukan alih fungsi kawasan hutan adalah Menteri Kehutanan.

Berdasarkan fungsinya, hutan di Batam dibagi dalam dua kategori, yaitu hutan lindung dan hutan wisata. Seluruhnya ada 13 titik. 12 titik merupakan kawasan hutan lindung, dan satu titik adalah kawasan hutan wisata.

Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Berdasarkan prinsip otonomi daerah, hutan lindung berada di bawah kendali pemerintah daerah. Sementara hutan wisata adalah kawasan konservasi untuk pengembangan wisata alam. Pengawasan dan kendali terhadap hutan wisata berada di bawah Kantor KSDA.

Seluruh kawasan hutan di Batam ditetapkan melalui empat Surat Keputusan Menteri Kehutanan. SK Nomor 427/Kpts-II/1992 adalah penetapan untuk Hutan Wisata Mukakuning seluas 2.065.62 hektare; SK Nomor 428/Kpts-II/1992 adalah penetapan untuk hutan lindung di kawasan Sekupang (terpecah di empat titik) dengan total luas 2.695.37 hektare; SK Nomor 719/Kpts-II/1993 menetapkan kawasan hutan lindung di Batuampar dan Tanjungpiayu yang luas keseluruhannya mencapai 674.66 hektare: SK Nomor 202/Kpts-II/1994 mengukuhkan empat kawasan hutan lindung di Duriangkang, Baloi, dan Nongsa (dua titik) dengan total keseluruhan 6.645.95 hektare. Secara keseluruhan, luas hutan lindung dan hutan wisata di Batam adalah 12.081.60 hektare.



***
PUSAT perbelanjaan Aviari di Batuaji selalu ramai dikunjungi. Selain supermarket moderen, juga ada pasar tradisional melengkapi fasilitas yang dibangun pengelola. Dulu, area tempat pertokoan itu kini berdiri adalah Hutan Wisata Mukakuning. Area itu dialokasikan secara sepihak oleh Otorita Batam pertama kali pada tahun 1994. Atau hanya berselang dua tahun setelah penetapan oleh Menhut.

Sejak itu, perubahan sepihak seolah tak bisa dihentikan. Hutan Wisata Mukakuning yang juga meliputi kawasan komersil Panbil, hingga akhir 2005, diperkirakan menyusut sampai 800 hektare! Anehnya, Otorita Batam tak pernah berkirim surat ke Kantor KSDA sebagai pengendali hutan wisata, perihal areal yang sudah dialokasikan dan yang bakal dialokasikan. ‘’Kalau mereka ajukan, pasti kami tolak. Tapi, sampai hari ini tak ada selembar pun surat dari OB yang masuk,” ungkap Himawan.

Tak cukup dengan hutan wisata, hutan lindung pun ikut dalam perubahan peruntukan sepihak itu. Bahkan, Hutan Lindung Batuampar I seluas 78,21 hektare, tandas tak bersisa! Hutan Lindung Batuampar III juga bernasib hampir serupa. Dari total luas 248.10 hektare, yang tersisa hanya 5.10 hektare saja! Semua berubah jadi ruko, perumahan, dan kawasan industri. Berdasarkan catatan rekapitulasi tahun 2003 yang dibuat Dinas Kelautan, Perikanan, dan Pertanian Kota Batam, perubahan peruntukan hutan mencapai 1.618.91 hektare.

Seorang pejabat di lingkungan Pemerintah Kota Batam membisikkan, ‘’Kalau pemerintah konsisten, mereka yang terlibat bisa dibui dengan jerat UU 41. Apa bedanya ini dengan ilegal logging. Malah lebih gawat dari ilegal logging.”

Komisi IV DPR RI menuliskan angka perubahan seluas 2.235 hektare sampai akhir 2005. Dari jumlah yang direkam wakil rakyat di pusat itu, seluas 846 hektare di antaranya sudah didiami bangunan permanen. Padahal, kata Ketua Sub Komisi Kehutanan Komisi IV DPR, Suswono, seluruh areal hutan yang sudah berubah fungsi itu belum mendapat persetujuan pemerintah dan DPR.

UU 41/1999 secara tegas menyebutkan, alih fungsi hutan harus mendapat persetujuan DPR. Suswono meminta dilakukan pengkajian ulang untuk rekonservasi. ‘’Jika perlu, bangunan itu dibongkar dan lahannya dikembalikan jadi hutan lindung,” tegasnya. 'Sekalipun pihak ketiga sudah mengantongi izin prinsip atau membayar UWTO,'' kata Azwar Chez Putra, kolega Suswono di Komisi IV. Suswono meradang. Pasalnya, legislator dari PKS itu melihat OB tak pernah menjalankan mekanisme yang diatur UU dalam mengalokasikan kawasan hutan lindung. Legislatif merasa dilangkahi.

Alih fungsi hutan harus melewati beberapa tahapan. ‘’Pertama, mereka harus membuat permohonan resmi dulu kepada Menteri Kehutanan,” papar Himawan. Setelah Itu, Menhut melalui jajaran di bawahnya melakukan pengkajian dan anlisa. ‘’Dalam hal ini, kita harus meminta pertimbangan otoritas keilmuan. Bisa saja dalam hal ini LIPI. Itu diatur dalam undang-undang,” kata Himawan lebih lanjut. Dari kajian itu, Menhut bersama jajarannya akan membuat resume dan meminta persetujuan DPR. Jika Menhut setuju dan DPR menyatakan OK, maka alih fungsi bisa dilakukan.

Pihak OB beralasan, perubahan fungsi hutan lindung dilakukan untuk mendukung investasi. Pada beberapa titik hutan mereka mencarikan hutan pengganti dan melakukan penghijauan. Menurut Direktur Permukiman, Tenaga Kerja dan Sosial OB, Fitrah Kamarudin, setidaknya ada anggaran sebesar Rp700 juta per tahun untuk penghijauan kawasan yang sudah gundul.

Namun, di mata Azwar Chez Putra, alasan itu tak bisa diterima. Justru, kata dia, Batam tidak akan menarik lagi sebagai kawasan tujuan investasi jika beberapa tahun ke depan daerah ini kesulitan sumber air bersih. Investor akan ketar-ketir. ‘’Kalau begitu, bukan investasi yang akan kita dapat, tapi bencana yang bakal dituai,” kata politisi Partai Golkar asal Riau itu. ‘’Justru banjir yang akan jadi langganan,” ujarnya. Peringatan Azwar bukan isapan jempol. Bencana banjir dan longsor, karena kian menyusutnya daerah serapan air, sudah jadi tamu tahunan penduduk Batam. Bahkan, awal 2006 lalu gambaran mengerikan itu sudah jadi kenyataan.

Soal krisis air juga sangat mungkin terjadi dalam beberapa tahun ke depan. Waduk Baloi sebagai salah satu sumber air bersih tidak lagi difungsikan seiring pengalokasian kawasan hutan lindung di sana untuk kepentingan komersil.

Halomoan Panjaitan, mantan staf ahli Ketua OB, dalam risalahnya menjelaskan, kawasan hijau Waduk Baloi merupakan salah satu situs sejarah yang harus dilindungi. Kawasan ini adalah penyimpan air pertama di Batam. Dari sisi fungsi? ''Batam akan kekurangan 30 liter per detik air jika Dam Baloi kelak dimatikan,'' kata Halomoan dalam penghitungan teknisnya.

Sekalipun pengalihfungsian hutan Waduk Baloi telah dituangkan dalam MoU Pemko dan OB tentang Pengembangan Baloi Dam Nomor 12/MoU/IX/2003 dan Nomor 15/PWERJ-KA/IX/2003 tertanggal 12 September 2003, toh masih ada yang bisa terselamatkan dari rentetan catatan di atas kertas.

Kerusakan hutan tentulah bagai deret ukur dengan deret hitung, tak akan pernah bertemu pada satu simpul yang sama. Deforestasi sudah begitu cepat lajunya, sementara kemampuan mengembalikan ke tingkat semula sangat minimal. ''Saya khawatir dengan kondisi saat ini dan melihat deforestasi yang begitu tinggi dalam waktu 15 tahun lagi hutan kita akan habis,'' ujar salah seorang anggota Komisi III DPRD Kota Batam. Melihat fakta tersebut, dia menyatakan pemerintah harus sangat tegas memberlakukan peraturan yang berlaku dan meninjau aturan yang jelas tak mendukung upaya-upaya penyelamatan hutan. Pemerintah juga jangan sampai membiarkan ada lahan hijau yang dibiarkan terbuka.

Himawan Sasongko mengatakan, jalan satu-satunya adalah moratorium (penghentian) alokasi hutan lindung untuk pembangunan. ‘’Tidak ada pilihan. Kondisinya sudah lampu kuning,” katanya. Selain banjir dan terancamnya sumber air bersih, kerusakan hutan juga akan berdampak terhadap suhu kawasan yang akan terus meningkat.

Tim peneliti dari ITB dalam paparannya pertengahan 2002 silam memperkirakan, pada 2009 Batam akan kesulitan air bersih, salah satu penyebabnya, berkurangnya catchment area. ‘’Kita belum punya teknologi menyuling air laut untuk air minum,” kata Himawan. ‘’Cari air sulit, cuaca pun akan terus terasa gerah. Perkiraan dan cuaca sangat mudah meleset,” paparnya. ‘’Kalau seperti itu, siapa orang yang mau tinggal di Batam?” katanya bertanya. Jawabannya ada pada komitmen pemerintah dan lembaga yang punya kewenangan mengalokasikan lahan, apakah mereka bersedia berhenti bersekongkol dengan kelompok kapitalis penghisap hutan Batam? ***


No comments: