Friday, July 11, 2008

Hidup Tak Pernah Cukup

PULANG ke rumah setelah menyelesaikan pekerjaan di kantor adalah saat-saat menyenangkan. Aku paling suka dengar deru napas anakku saat lelap tertidur. Posisi tidurnya sering miring ke kiri. Pipinya yang bulat jatuh ke kasur. Berada di sisinya sambil menciumi bau khas bayi, penat di badan dan hati hilang tak terasa.


Bagiku anak, istri, dan keluarga adalah karunia Tuhan yang paling berharga, walau kadang kita berpikir apa yang kita cari dalam hidup ini belum sepenuhnya dimiliki. Hidup memang tak pernah cukup. ''If you don't have what you like, you should like what you have,'' kata pepatah Hungaria yang saya baca di Encarta Encyclopedia.

Seorang rekan yang bekerja di perusahaan asing dan punya pendapatan lebih dari cukup mengeluh karena tekanan di tempatnya bekerja, luar biasa berat. ''Sepertinya enak jadi orang biasa daripada apa yang saya lakukan sekarang,'' katanya. ''Kalau begitu, berhenti saja,'' kataku. ''Wah, jangan deh. Jangan sekarang. Mau makan apa'' katanya. Ia rupanya belum siap jadi orang biasa.

Di tempat cuci motor langganan dekat rumah, Efan, salah satu tukang cuci motor di sana bertanya padaku, "Nggak kerja hari ini, Bang?" Aku jawab sedang libur. "Wah, enak ya, bisa libur. Saya kalau libur nggak bisa makan, Bang,'' katanya.

Aku jadi ingat teman di perusahaan asing tadi. Orang yang punya posisi hebat di perusahaan hebat mengeluh. Orang yang kerja biasa-biasa saja juga mengeluh. Tak ada orang yang tak mengeluh dalam hidup ini. Gubernur Bank Indonesia, yang gajinya mencapai Rp245 juta sebulan diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan kini hidup di penjara. Saya yakin dia pasti mengeluh soal kehidupan yang sekarang dijalaninya, walau boleh jadi cadangan uang pribadi yang dimilikinya jauh berlipat-lipat dibanding utang pribadi yang aku miliki, sekedar untuk beli tiket pesawat pulang kampung.

Aku kadang juga suka mengeluh dalam hati setiap kali melihat anakku tak mau turun dari mobil kakakku ketika kami bertandang ke rumahnya. Ia meronta setiap kali ditarik ke pintu. Padahal yang ia naiki adalah mobil sedang berhenti. Aku tahu anakku sangat senang dan tergila-gila naik mobil, tapi aku belum sanggup beli mobil.

Di pasar basah Tiban Center, aku bertemu anak perempuan yang lebih tua dari anakku menangis sambil menarik-narik baju ibunya. Telunjuk si anak mengarah ke gumpalan daging sapi segar yang digantung di sebuah kios. ''Iya, iya kita bikin sop,'' kata ibunya. Kepada pemilik kios si ibu minta tetelan seharga Rp3.500. Dengan wajah merengut pemilik kios memberikan pesanan. ''Ini,'' katanya tanpa menoleh ke ibu tadi.

Si ibu lalu sibuk merogoh-rogoh kantong sebelah kanan dasternya. Rupunya ia cuma punya duit Rp2.500. ''Kurangin lagi, Bang. Rp2.500 saja,'' katanya. Wajah pemilik kios tambah masam saja. ''Urgghh,'' ia menggerutu. ''Bisa-bisa dapat seupil. Harga kantongnya saja sudah lima ratus,'' pemilik kios terus mengomel.

Sudah pasti, keadaanlah yang memaksa ibu berdaster biru itu memesan tetelan dengan harga seminim itu. Kalau punya uang lebih, ia pasti akan membeli lebih. Ia tak ingin mengecewakan anaknya. Ia coba memberi apa yang sanggup ia beri. Karena itu ia tak mempedulikan omelan pemilik kios daging. Dan pemilik kios seharusnya melayani dengan baik, walau nilai transaksi kecil sekali. Bukankah pembeli, mau punya duit segepok ataupun selembar, adalah raja.

Saat pulang ke kampung, akhir Juni lalu, aku dapat sebuah kabar buruk. Yuliandi, seorang kerabat yang pernah tinggal di rumah orang tuaku selama empat tahun, meninggal dunia. Ia pergi dalam usia 41 tahun. Dalam hidup yang sangat muda. Yuliandi meninggal karena serangan jantung.

Yuliandi sudah menderita sakit jantung sejak lima tahun terakhir. Ia seorang perokok berat. Jarang berolahraga. Suka makan daging dan jeroan. Aku ingat kata-katanya dulu: ''Nanti kalau sudah kerja dan punya gaji besar, aku ingin makan enak tiap hari: gulai kambing, gulai otak, dan ikan bakar.''

Setelah bekerja dan punya istri yang bekerja pula, Yuliandi menuntaskan cita-citanya dulu. Aku dengar dari beberapa kerabat, ia kerap menyambangi tempat makan yang enak-enak. Tapi, lalu penyakit menghampiri. ''Sebelum jantung, ia kena asam urat,'' kata Heriyanto, pamanku.

Tak sedikit orang seperti Yuliandi. Dulu ketika hidup masih sulit, untuk beli sebungkus nasi padang dengan lauk ayam goreng saja, susahnya bukan main. Tapi, ketika sudah berduit dan sanggup beli berpuluh bungkus nasi dalam sehari, giliran penyakit menghalangi. Kita tak bisa menikmati apa-apa yang kita miliki.

Hidup berubah dan bergulir. Bersyukur terhadap apa-apa yang kita miliki detik ini, termasuk hal-hal yang paling kecil sekalipun, adalah cara terbaik menikmati hidup. ***

No comments: