Tuesday, July 1, 2008

Setelah 13 Tahun

SETELAH 13 tahun, Kamis (26/6) lalu, adalah kali pertama aku menginjakkan kaki kembali di kampung halamanku, di sebuah desa di kaki Gunung Talang, Solok, Sumatera Barat.

Walau lebih dari satu dekade waktu berlalu, tak banyak yang berubah di sini. Di sekitar rumah orang tuaku, hanya ada dua rumah baru.


Bangunan sekolah Taman Kanak-kanak Muhammadiyah, tempat aku pertama kali mencicip pendidikan formal, tampak makin tua. Kusen-kusennya masih bolong tak dipasangi kaca. Hanya cat warna-warni yang melekat di dinding yang tampak masih baru.

Bentangan sawah di sisi kiri kanan jalan lintas tengah Sumatera yang membelah desa, masih menghijau seperti dulu.

Hanya saja, udara desa tak lagi sedingin dulu. Aku masih ingat, ketika dulu berangkat sekolah pukul tujuh pagi, asap keluar dari mulut setiap kali berbicara dengan teman-teman di perjalanan. Kini, itu tak ada lagi.

Juga tak banyak lagi warga yang pagi hari terlihat masih menggunakan sarung untuk menghangatkan tubuh dari hawa dingin daerah pegunungan.

Akan tetapi, perubahan memang tak bisa diukur dari pembangunan fisik dan infrastruktur semata. Perubahan pemikiran dan perilaku hidup manusia, barangkali, lompatannya jauh lebih dahsyat.

Di desa yang tak seberapa ramai ini, aku kaget, masyarakatnya menenteng telepon genggam, yang bahkan untuk ukuran orang di kota pun sudah terbilang bagus dan mewah. Ada yang punya PDA keluaran terbaru, ada yang bawa communicator yang juga produk baru. Harganya rata-rata di atas Rp4 juta.

Saya tanya, untuk apa handphone secanggih ini? Mereka bilang, "Ya, kan keren pakai HP bagus." Padahal, di tangan mereka fungsi telepon genggam itu tak lebih dari sekedar mengirim pesan singkat (SMS) dan bercakap-cakap. Paling banter menyimpan file lagu sebanyak-banyaknya. Tidak ada yang memanfaatkan untuk mengakses informasi di internet. Ini hanya sebatas simbol "identitas" di depan khalayak dan gaya hidup.

Ya, bukankah memang seperti itu hakikat hidup: tak ada yang abadi, semua mesti berubah. Semakin panjang perjalanan waktu dilalui, semakin banyak yang tertinggal di belakang jadi sejarah. Desa tidak lagi identik dengan pola hidup sederhana dan apa adanya, seperti layaknya dulu kerap kita temukan di buku-buku bacaan masa kecil.

Orang-orang desa juga butuh pengakuan akan eksistensi mereka, terutama ketika berhadapan dengan orang-orang yang datang dari wilayah yang lebih maju dari sisi informasi dan infrastruktur. Salah satu cara mendapatkan pengakuan itu adalah dengan menguasai barang-barang yang dianggap jadi tren masyarakat perkotaan.

Dengan memiliki barang-barang yang sama, mereka merasa tak ada perbedaan lagi antara "orang desa" dengan "orang kota", meski secara fungsional barang-barang tersebut berbeda tujuan pemanfaatannya. Yang jelas, kata Abraham Maslow, pengakuan adalah kebutuhan dasar manusia.

Lepas dari semua itu, aku senang akhirnya bisa sampai di sini lagi, meski hanya tiga hari. Aku senang ayah dan ibuku bisa bertemu anakku dan mencium pipinya. Senang juga, keinginan istriku untuk bisa berkunjung ke kampung asalku bisa terwujud. Senang sekali keluarga kami bisa berkumpul utuh, setelah sekian tahun terpisah-pisah mengais rezeki di daerah lain. Aku juga gembira bisa bertemu beberapa teman lama masa kecil, ada di antara mereka bahkan sudah punya anak empat. ***


No comments: