Saturday, October 11, 2008

Di Rumah Mewah Pun Tidur Beralas Tikar


FAJAR belum terang betul, suatu pagi pertengahan Agustus lalu. Ujung daun mawar ungu di taman gerbang Perumahan San Dona masih basah dihinggapi bulir-bulir embun. Tetesannya jatuh menyiram tanah. Perlahan, Nitayanatam Siwachariar menyeret langkah dari sebuah rumah berlantai dua di hunian elit itu. Setibanya di gerbang, dekat taman mawar warna ungu, ia berbelok ke kanan, menyisir sisi Jalan Gadjah Mada, Sekupang yang masih lengang.


Setelah sekitar 100 meter berjalan, Nitayanatam menikung ke kanan. Ia menginjakkan kaki di area Pura Agung Amerta Buana. Inilah satu-satunya kompleks peribadatan umat Hindu di Batam.

Di area ini terdapat dua pura, yaitu Pura Padmasana dan Pura Srilalitha. Menurut I Wayan Catra Yasa, Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia Kepulauan Riau, pura pertama adalah pura Hindu bertradisi Indonesia dengan ornamen Bali, yang biasa digunakan oleh umat Hindu Indonesia.

Sedangkan Pura Srilalitha adalah tempat ibadah umat Hindu dengan tradisi India. Nitayanatam adalah pemimpin ibadah di Pura Srilalitha. Karena itu, ia diberi gelar Siwachariar. ‘’Kalau di Katolik semacam pastor, atau pendeta di Protestan, atau kiyai dalam agama Islam,’’ ujar Wayan menjelaskan arti Siwachariar.

Pura Srilalitha luasnya sekitar 50 meter persegi. Bangunannya sangat sederhana. Jika tak ada aroma dupa, barangkali, warga non-Hindu yang melintas tak mengira itu adalah tempat ibadah. Dinding bagian depan terbuat dari tripleks. Tempat sesembahannya menghadap ke Barat. Di sisi kiri tempat sesembahan itulah Nitayanatam menggelar doa dalam bahasa Sansekerta.

Dalam balutan wesytti, pakaian khas India berupa selembar kain panjang aneka warna yang dililitkan hanya pada setengah badan, Nitayanatam kusyu merapal doa. Wesytti membuat postur Nitayanatam yang tinggi, kian terlihat menjulang. Dari bahu kiri hingga ke bagian kanan pinggulnya melintang seutas benang. Benang itu biasa disebut punul.

Punul sebenarnya terbuat dari tiga jenis benang yang dijalin jadi satu. Dalam kepercayaan Hindu India, tiga benang yang dijalin jadi punul itu disebut trinul, atau simbol tiga dewa, yaitu Brahma, Wishnu, dan Shiwa.

‘’Hello,’’ kata Nitanayatam, ketika saya melongokkan kepala dari pintu masuk pura. Ia bergegas ke sebuah mangkuk yang terletak di atas meja sebelah kiri pura, lalu mencelupkan telunjuknya di situ, dan menempelkannya di kening saya. Sambil tersenyum ia bicara dalam bahasa India.

Melihat saya kebingungan, ia tertawa. Nitayanatam, 31 tahun, hanya tersenyum dan memberi isyarat dengan melambaikan telapak tangan, ketika saya tanya apakah ia bisa berkomunikasi dengan bahasa Indonesia atau Inggris.

Pagi itu, Nitayanatam sedang menggelar sembahyang pertama. Setiap hari, ia wajib menyelenggarakan lima kali sembahyang di dalam pura. ‘’Ada atau tidak ada umat yang datang ke pura, dia wajib menggelar sembahyang lima kali sehari di pura,’’ kata T Rajan, sesepuh Hindu India di Batam. T Rajan menambahkan, umat Hindu India lebih senang mengunakan istilah kuil daripada pura.

Di kalangan Hindu India, menjadi Siwachariar seperti Nitayanatam tidaklah mudah. Persyaratannya amat ketat. Kata T Rajan, dari empat kasta yang ada di India (Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra) hanya orang yang terlahir dari Kasta Brahmana saja yang punya hak jadi Siwachariar. Kasta Brahmana adalah kasta tertinggi. ‘’Orang dari kasta lain meskipun punya sertifikat pendidikan agama, tidak akan pernah jadi Siwachariar,’’ katanya.

Orang Brahmin, sebutan bagi kalangan dari Kasta Brahmana, menurut T Rajan, memiliki ciri khas yang tak dimiliki kasta lain. Mereka adalah orang-orang yang sejak kecil sudah menjalani dan mendalami kehidupan agama. ‘’Ciri lain, sejak lahir mereka hanya makan sayur,’’ ujar T Rajan. Karena itulah, para Siwachariar tumbuh jadi vegetarian.

Tradisi kaum Brahmin inilah yang banyak mewarnai Hindu India atau Hindu Srilalitha. Sesajen yang mereka gunakan untuk sembahyang, misalnya, semuanya dari tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan. ‘’Tidak ada yang dari makhluk bernyawa, bahkan telur pun tidak,’’ kata T Rajan.

Para penganut Srilalitha yang bukan berasal dari Kasta Brahmana pun ikut arus tradisi ini. Mereka jadi vegetarian. Jika makan daging, ada perasaan bersalah dalam diri. ‘’Biasanya, setelah makan daging lalu pergi ke kuil, kita nggak berani masuk, karena rasa bersalah,’’ T Rajan menambahkan.

Vegetarian, menurut T Rajan, bermakna kasih sayang bagi semua makhluk bernyawa. Itu tercermin pula dari kebiasaan tidur mereka. Jika tidur, kata dia, mereka tak pernah mepet ke dinding kamar. Selalu memilih tempat di tengah ruangan. ‘’Tujuannya kalau ada binatang masuk mereka bisa lewat. Karena binatang, seperti ular atau kalajengking biasanya memilih bagian pinggir ruangan,’’paparnya.

Untuk diangkat menjadi Siwachariar, seorang anggota kaum Brahmana harus menempuh pendidikan agama hingga sepuluh tahun lamanya. ‘’Setelah itu, mereka dinobatkan melalui upacara dhiksa,’’ kata Wayan Catra Yasa.

Memilih hidup sebagai Siwachariar sama artinya meninggalkan keduniawian. Sebab hampir seluruh waktu yang mereka miliki dihabiskan untuk beribadah. T Rajan menjelaskan, seorang Siwachariar sudah harus bangun sebelum pukul 02.30 dini hari. Hingga pukul 05.00 pagi, ia wajib menggelar ibadah yang disebut Siwapuja.

Setelah itu, Siwachariar harus berangkat ke kuil. Sebab mulai pukul 06.00 hingga 08.30 ia sudah harus menyelenggarakan ibadah di sana. Ibadah kemudian digelar lagi pada pukul 11.00 sampai 12.00. Antara pukul 16.30 sampai 18.00 ritual kembali berlangsung. Doa-doa dipanjatkan lagi pada pukul 18.30 hingga 19.30. Ibadah penutup berlangsung pada pukul 20.00 hingga 20.30. ‘’Tiap hari seperti itu,’’ kata T Rajan.

Wayan Catra Yasa menambahkan, selain ritual rutin tersebut, masih ada sejumlah ibadah lain yang harus dipimpin oleh Siwachariar pada waktu-waktu tertentu. ‘’Misalnya, ibadah khusus tiap Jumat sore yang diikuti ibu-ibu, yang isinya mendoakan keselamatan suami,’’katanya.

***

MALAM merambat di Kompleks Pura Agung Amerta Buana. Pukul 20.30, usai sudah ibadah terakhir hari itu yang digelar Nitayanatam Siwachariar. Saatnya pulang ke rumah. Beristirahat.

Selembar tikar yang biasa digunakan sebagai alas tidur, sudah menanti untuk melepas penat setelah seharian menunaikan ibadah. Ya, hanya selembar tikar itulah yang dimiliki Nitayanatam walau ia menetap di sebuah rumah mewah, yang dikontrakkan umat untuknya.

Kendati sebagai Siwachariar, seorang yang punya kedudukan terhormat dan dimuliakan, jangan bayangkan ia tidur di kasur empuk, layaknya para pejabat atau tokoh-tokoh politik yang berebut ingin terlihat mulia di mata rakyat.

Siwachariar, kata Wayan Catra Yasa, selain melambangkan kemuliaan, juga teladan kesederhanaan hidup. ‘’Itu simbol ia meninggalkan keduniawian yang identik dengan kemewahan,’’ kata Wayan. Karena itu, setiap orang yang diangkat sebagai Siwachariar, pastilah tidur di atas tikar.

Wayan menggarisbawahi, pemilihan Perumahan San Dona yang tergolong mewah sebagai tempat tinggal Siwachariar, semata-mata karena alasan kedekatan dengan pura. ‘’Siwachariar bisa tinggal di mana saja, tapi ini yang paling dekat dengan pura,’’ katanya. San Dona memang satu-satunya perumahan yang berdampingan dengan kompleks Pura Agung Amerta Buana. Perumahan lain jaraknya cukup jauh dan harus ditempuh dengan berkendara.

Di sisi lain, seorang Siwachariar tidak diperkenankan mengendarai sepeda motor atau menyetir mobil. ‘’Ia tak boleh mengemudikan mobil atau mengendarai motor. Meskipun sebelum jadi Siwachariar ia mahir menyetir mobil,’’ kata Wayan.

Masalah makan pun ada tradisinya. Seorang Siwachariar setiap makan, makanannya selalu dialas pakai daun pisang. Mengenai hal ini, T Rajan mengatakan, bahwa makan beralas daun pisang adalah tradisi India. ‘’Ke mana pun mereka pergi, makan selalu dialas pakai daun pisang. Kalau di daerah yang mereka kunjungi tidak ada daun pisang, maka harus dicari daun pengganti yang diniatkan sebagai daun pisang. Misalnya, daun jati atau daun jarak,’’ katanya.

Menurut T Rajan, masyarakat India meyakini daun pisang mengandung disinfektan yang bisa menyembuhkan rupa-rupa penyakit.

Ada juga pendapat yang menyebutkan, bahwa seseorang yang telah diangkat sebagai Siwachariar tidak boleh menikah. Akan tetapi, T Rajan menyangkalnya. ‘’Kalau tidak menikah bagaimana ia punya keturunan, sementara agama ini harus ada yang melanjutkan,’’ katanya. Seorang Siwachariar hanya diperkenankan menikah dengan sesama kuam Brahmana.

Karena hidup semata-mata untuk ibadah dengan berbagai ketentuan yang mesti dijalaninya, segala keperluan Siwachariar disediakan oleh umat. Dana operasional, seperti pembelian buah dan sayuran untuk sesajen dan makan, dihimpun melalui dana punia. ‘’Dana ini berasal dari umat yang dilayani, yang dikumpulkan melalui kotak-kotak amal yang disediakan di dalam pura,’’ ujar Wayan.

***

KOMPLEKS Pura Agung Amerta Buana berdiri di atas lahan seluas dua hektare. Selain berbatasan dengan Perumahan San Dona dan Jalan Gadjah Mada, di sebelah utara bersebelahan dengan lapangan golf Southlinks. Tempat peribadatan, baik Pura India maupun Bali, berada di bagian atas area kompleks yang berupa dataran tinggi. Dari sini memandang ke bagian belakang pura mata kita disuguhi laut dan padang golf.

Turun sekitar 40 anak tangga ke bawah, terdapat Restoran Kak Dadut. ‘’Pura juga berfungsi sebagai kegiatan ekonomi. Restoran Kak Dadut inilah wujudnya,’’ kata I Wayan Catra Yasa. Selain fungsi ritual dan ekonomi, pura, kata dia, juga sebagai wahana budaya dan pendidikan. ‘’Karena itu, di sini juga dibangun sekolah minggu,’’ Wayan menambahkan. Tiga fungsi itu, disebut tiga mandala.

Kompleks peribadatan ini selesai dibangun 16 Juni 2004. Hanya saja, ketika itu, Pura Srilalitha belum ada. Umat Hindu India di Batam masih menggunakan sebuah ruang di Blok W, Dormitori, Kawasan Industri Batamindo, sebagai sarana ibadah. ‘’Mayoritas umatnya di Batam adalah ekspatriat yang bekerja di Batamindo dan perusahaan galangan kapal,’’ kata Wayan.

Wayan yang kini mengelola usaha sendiri bersama keluarganya, sebelumnya juga bekerja di Kawasan Industri Batamindo. Ia menjemput rezeki di PT Seagate Indonesia, perusahaan asing yang memproduksi hard disk komputer. Di perusahaan yang kini sudah relokasi ke Malaysia itu, Wayan berkenalan dengan Devarajan Prakash.

Kepada Prakash, Wayan menawarkan untuk membangun sarana ibadah permanen di dalam kompleks Pura Agung Amerta Buana. ‘’Saya berpikir, dengan adanya Pura India di sini, maka umat Hindu India yang cukup banyak di Singapura dan Malaysia akan datang ke sini, berwisata religius. Mereka menginap di hotel, menumpang taksi, makan di restoran, ini pemasukan bagi Batam,’’ kata Wayan menuturkan.

Gayung bersambut. Prakash yang beristrikan perempuan asal Sumatera Utara, menerima tawaran tersebut. Pada April 2005, Pura Srilalitha mulai dibangun. Sundar Babu, salah seorang petinggi PT Bulpakindo, perusahaan alat berat di Sekupang, adalah donatur terbesar kala itu. ‘’Pura diresmikan pada tanggal 11 Desember 2005,’’ kata Wayan.

Cita-cita Wayan untuk menarik kunjungan pengikut Hindu India ke Batam, akhirnya kesampaian. Saban Sabtu dan Minggu puluhan orang menyeberang dari Singapura hanya untuk bersembahyang di Pura Srilalitha. Jumlah kunjungan bisa melinjak tiga kali lipat, bila di sana sedang digelar upacara khusus.

Menurut Prakash, di Batam saja saat ini jumlah pengikut Hindu India sekitar 800 orang. ‘’Mayoritas adalah ekspatriat,’’ kata pria yang sudah bekerja di Batam sejak tahun 1995.

Prakash mengakui potensi kunjungan penganut Hindu India dari Singapura dan Malaysia ke Batam sangat tinggi. Populasi mereka di kedua negara tetangga itu cukup besar. Wikipedia mencatat, dari 4,5 juta penduduk Singapura, 7,3 persen berasal dari etnis India, dan pemeluk Hindu di negara kota itu sebanyak 3,3 persen. ’Karena itu kami bekerja sama dengan Dinas Pariwisata. Kami akan menggelar even-even untuk menarik mereka lebih banyak lagi ke sini, salah satunya mengadakan Festival Deepavali dalam waktu dekat ini. Hubungan kita dengan pemerintah sangat baik,’’ katanya. ***

2 comments:

Anonymous said...

Artikel "Di rumah mewah pun tidur beralas tikar" menarik.....
Saya tunggu artikel berikutnya....

Citra Pandiangan said...

Suer bang Iqbal neh kalo nulis menarik... ga bosan2 membacanya