Wednesday, April 29, 2009

Antara Harry dan Dhany





DALAM politik, komunikasi adalah unsur utama untuk memenangkan persaingan. Selama Pemilu Legislatif 2009 di Kepulauan Riau, persaingan politik yang paling sengit tentu saja memperebutkan jatah sebagai wakil Kepri di DPR RI. Sebab hanya tersedia tiga kursi, dan hampir seluruh partai peserta pemilu yang buka cabang di Kepri menempatkan kader terbaik mereka untuk ikut berkompetisi agar meraih, setidaknya, satu dari tiga kursi itu.


Namun di atas itu semua, persaingan yang paling menarik ada di Partai Golkar, antara caleg nomor urut satu Harry Azhar Azis dan caleg nomor urut tiga Ramatsyah Ramadhany. Berdasarkan hasil pleno KPU Kepri, Harry unggul atas Dhany. Harry dan Dhany sama-sama lulusan dari Oklahoma State University, tapi beda jurusan dan angkatan.

Kenapa Harry bisa mengalahkan Dhany, yang jauh-jauh hari diprediksi banyak orang bakal melenggang ke Senayan? Menurut saya, kemenangan Harry adalah karena keberhasilannya mengkomunikasikan isu-isu aktual kepada calon pemilih melalui media dan keberhasilannya melakukan pendekatan kepada media (baca: wartawan)

Harry muncul nyaris setiap hari di media cetak dan elektronik. Jabatannya yang strategis di DPR RI, sebagai wakil ketua panitia anggaran, memudahkan ia memainkan begitu banyak informasi tentang dana yang bakal meluncur ke Kepri selama tahun anggaran 2009. Ia, dengan jabatannya itu, tentu saja mengetahui dengan detil dana apa saja, dan berapa jumlah yang bakal diterima Kepri.

Misalnya, dana bantuan pendidikan dan kesehatan masyarakat. Ia pernah melansir informasi ini dan diliput semua media. Kita tahu pendididkan dan kesehatan adalah isu vital. Apalagi bila pada judul berita ada kata "gratis" atau "bisa lebih murah", tingkat keterbacaannya diyakini lebih tinggi. Itu artinya, makin banyak orang yang melafalkan nama si narasumber dalam berita tersebut. Jika berita itu terdiri dari tujuh alinea, dan namanya ditulis dalam tiap alinea, berita tersebut telah menanamkan nama Harry dalam ingatan pembaca. Tujuh kali mengulang nama seseorang dalam satu kesempatan, cukup bagi yang melafalkan untuk mengingat dalam waktu yang lama.

Dengan posisinya itu, seharusnya setiap kali memberi informasi soal kucuran dana jatah Kepri di pusat, Harry tak perlu mengeluarkan kalimat klise dan membosankan: "saya sudah memperjuangkannya di pusat". Dengan menilik jabatannya saja persepsi pembaca akan langsung terbentuk bahwa kucuran-kucuran dana itu adalah bagian dari perjuangannya. Ini adalah kemenangan pertamanya.

Saya beberapa kali mewawancarai dan berdiskusi dengannya, menurut saya, bahasa yang digunakan Harry untuk menyampaikan informasi-informasi yang dikantonginya, sebenarnya, masih teramat tinggi untuk masyarakat awam. Harry masih sering memakai istilah-istilah akademik. Penyampaiannya kurang bertutur (ingat masyarakat jenuh dengan petuah-petuah, orang hanya betah mendengarkan atau membaca pesan yang panjang jika itu disampaikan dengan cara berkisah). Ini mungkin karena latar belakangnya sebagai dosen. Tapi Harry beruntung, para wartawan yang kerap mengutip informasi darinya bisa menerjemahkan setiap pesan dalam "bahasa Harry" menjadi "bahasa awam".

Kenapa Harry bisa muncul nyaris setiap hari di media? Ini adalah soal aksesibilitas media terhadapnya. Para caleg, siapapun dia, harus sadar bahwa ia membutuhkan media. Sebab media mempermudah mereka menjangkau pemilih. Harry sepertinya sangat menyadari itu. Wartawan yang ingin mendapat informasi darinya cukup mengirim pertanyaan lewat SMS atau miss called saja. Biasanya ia merespons balik dengan menelepon si wartawan dan menjawab semua pertanyaan. Sebenarnya ini sederhana, remeh saja, tapi ini adalah cara efektif untuk memenangkan akses menembus media.

Biasanya bila para wartawan sedang seret berita, mereka akan menghubungi narasumber yang paling mudah diakses, kompeten dengan topik yang akan ditanyakan, dan bisa bicara detil dan panjang. Harry, entah sengaja atau tidak, berhasil menangkap momen itu. Ini bisa dilihat dari berita-berita yang bersumber dari dia yang terbit di media. Ia bicara tentang kawasan perdagangan bebas, ia bicara soal pasokan gas yang macet ke Batam sehingga harga listrik melonjak (dalam hal ini ia menggunakan posisi sebagai anggota Fraksi Partai Golkar), ia bicara soal ketertinggalan SDM dan sebagainya.

Lalu bagaimana dengan Dhany? Putra Gubernur Kepri ini memang tak punya jabatan se-strategis Harry. Menurut saya, inilah faktor pertama yang menghambat proses komunikasi politik Dhany dengan masyarakat. Bila ingin memberi pernyataan soal kesehatan atau pendidikan, ia akan berbicara dalam kapasitas apa? Dhany, selain seorang pengusaha, selama ini ia "hanya" dikenal sebagai ketua AMPI. Dengan jabatan ini, isu yang bisa digarap tak bisa lebih jauh dari soal kebutuhan-kebutuhan generasi muda.

Kendati begitu, menurut saya, Dhany sebenarnya punya satu kartu truf, yang entah kenapa tak pernah dimaksimalkan oleh dia dan tim suksesnya. Dhany adalah Ketua Umum Program PNPM Mandiri Provinsi Kepri. Padahal, PNPM adalah salah satu program andalan kampanye Susilo Bambang Yudhoyono dan Partai Demokrat. Iklannya muncul hampir setiap hari di televisi. Ia bisa bikin satu hajatan peluncuran program tersebut di Kepri dengan mengundang pejabat pusat untuk memperbesar dering beritanya di media. Setelah itu, ia bisa menindaklanjuti peluncuran itu dengan turun ke pasar-pasar, ke tempat-tempat mangkal nelayan, bicara tentang mudahnya mendapat pinjaman lewat PNPM Mandiri dan manfaatnya bagi pengembangan usaha kecil.

Seandainya Dhany "menggunakan" jabatan Ketua Program PNPM Mandiri pada Desember 2008, ketika semua orang sedang bicara soal krisis ekonomi global dan solusinya, serta upaya penanganan pengangguran, Dhany bisa merebut perhatian publik, tentu saja dibantu dengan kemasan berita dalam media. Maka orang akan beranggapan dia sosok yang punya antisipasi, anak muda yang punya banyak gagasan, punya cara untuk membantu usaha kecil keluar dari krisis. Dengan tidak menggarap PNPM, Dhany, menurut saya, telah membuang sebuah peluang untuk dikenal. Kata Wilbur Schramm, salah satu faktor komunikasi efektif, adalah timing yang tepat untuk sebuah pesan.

Kendala lain Dhany adalah ia sulit diakses media, setidaknya bila dibandingkan dengan kompetitornya. Ia tak mudah dihubungi wartawan. Kadang ia menyerahkan tim suksesnya untuk menjelaskan kepada media. Ini adalah blunder. Kesan yang ditangkap, Dhany memposisikan dirinya sebagai orang yang penting. Definisi orang penting di sini adalah, media butuh dia sebagai narasumber yang pernyataan-pernyataannya ditunggu pembaca. Padahal, dalam situasi ini justru Dhany amat butuh dukungan media. Maka tak ada cara lain, selain membuka akses semudah-mudahnya kepada media. Menyerahkan penyampaian informasi kepada tim sukses justru tak menguntungkan, sebab bagi wartawan dan media mendapatkan informasi dari tangan pertama, orang yang jadi fokus berita, nilai beritanya empat kali di atas press release.

Hal lain yang, menurut saya, jadi faktor gagalnya Dhany mengalahkan pesaingnya adalah image tentang dinasti politik keluarga Ismeth Abdullah. Dinasti politik bukan sesuatu yang haram. Di banyak negara, termasuk di Amerika Serikat, dinasti politik bertumbuhan. Orang menganggapnya biasa saja. Tapi di masyarakat kita, dinasti politik konotasinya negatif: kolusi dan nepotisme.

Dengan asumsi itu, menurut saya, Dhany sejak awal kemunculannya sebagai caleg, seharusnya membangun image baru, sebagai anak muda yang punya karakter sendiri. Intinya, image bukan "anak babe". Repotnya Dhany justru memperteguh image sebagai anak babe. Ia mengkampanyekan secara sadar nama Dhany Ismeth. Kalau bisa dimana-mana orang menyebutnya Dhany Ismeth, bukan Ramatsyah Ramadhany. Saya pernah menanyakan ini kepada Dhany, kenapa tagline-nya harus Dhany Ismeth, kenapa tak mencari yang lain, yang mengesankan ia sebagai anak muda yang bisa berjuang sendiri, tanpa bawa-bawa nama orang tua. Dhany bilang, karena itu mudah diingat. ''Kenyataannya saya memang anak Pak Ismeth dan tak bisa dipisahkan dengan Pak Ismeth,'' katanya.

Soal konotasi negatif dinasti politik, kata Dhany, ia akan menjelaskan kepada setiap orang yang mempertanyakannya. Bukankah itu akhirnya menyita waktu. Masa kampanye adalah saat untuk menjual program dan langkah-langkah untuk memperjuangkan hak konstituen di parlemen, bukan untuk menjelaskan latar belakang, mengklarifikasi isu-isu miring dan hal-hal yang tak perlu. Pada akhirnya, saya tak bisa mengelak dari kesimpulan, bahwa Dhany memang sangat bergantung pada popularitas orang tuanya. Dan, ia gagal dengan jalan itu. ***

1 comment:

Anonymous said...

bedanya dengan SBY, Dhanny ini pelit lit lit... mana mungkin nyampai pesannya... he he he...ark