Monday, June 15, 2009

Sebutir Apel dari Pak Ton

JUMAT (12/6) siang, dari sebuah situs berita, saya baca kabar wafatnya psikolog senior, pakar pendidikan dan sumber daya manusia Sartono Mukadis. Pak Ton, sapaan akrabnya, adalah ''padi yang matang''. Ia orang dengan penguasaan ilmu dan pengetahuan yang tinggi namun tetap menjaga kerendahan hati.


Ia bukan tipikal "pengamat" atau "pakar" yang kini banyak jadi selebritis media, yang berkelakuan seperti pendekar baru belajar ilmu silat; tiap dapat jurus baru pamer kepada banyak orang sambil teriak-teriak.

Pak Ton mengamalkan ilmunya dengan hati dan empati. Ia tak membeda-bedakan siapa lawan bicaranya. Ia selalu menghargai orang di sekitarnya, apapun latar belakangnya. Saya merasakan semua kemuliaan hati Pak Ton saat pertama kali bertatap muka dan berbincang dengannya, sekitar bulan April 2002, ketika saya baru bekerja sebagai wartawan dalam status magang tiga bulan pertama.

Kala itu, saya ditugaskan membuat tulisan tentang pendidikan dengan narasumber dari luar pemerintahan. Saya berjalan kaki dari Kantor Dinas Tenaga Kerja di kawasan Seiharapan ke kantor Pak Ton yang berada dekat Guest House Otorita Batam. Jaraknya sekitar lima kilometer.

Pak Ton mempersilakan saya masuk ke ruang kerjanya yang kecil dan biasa-biasa saja. ''Sudah makan belum? Sepertinya Anda sedang lapar,'' katanya, sembari melihat bagian belakang kemeja saya yang basah oleh keringat. Saya jawab sekenanya, bahwa saya sudah makan.

''Saya tak punya stok makanan di sini. Ambil ini saja, cukuplah buat mengganjal perut,'' katanya, sambil mengulurkan sebutir apel besar.

''Makan dulu itu. Kalau perut lapar Anda nanti nggak konsentrasi,'' ucapnya. Saya pun manut saja.

Sembari saya mengunyah apel pemberiannya, Pak Ton bertanya hal-hal yang ringan kepada saya, misalnya dulu kuliah dimana, sudah berapa lama bekerja dan sebagainya. ''Gimana betah di Batam?'' ia bertanya setelah saya beritahu bahwa saya baru sebulan bekerja di sini. Saya bilang, saya terus berusaha menyesuaikan diri. ''Semua permulaan itu berat,'' katanya.

Ia juga mengaku baru beberapa bulan terakhir tinggal di Batam. Ia diangkat sebagai konsultan pendidikan dan SDM oleh Persatuan Istri Karyawan Otorita Batam. Menurut Pak Ton, Batam adalah kota tanpa jiwa. Orang-orangnya terlalu sibuk memikirkan uang. Interaksi sosial, ikatan emosianal, dan solidaritas sangat tipis. ''Kebanyakan orang datang ke Batam bukan untuk membangun kehidupan, tapi semata-mata hanya mencari uang,'' katanya.

Kendati begitu, ia memuji arsitektur Masjid Raya Batam. ''Karena ada jalan khusus untuk penyandang cacat berkursi roda,'' ujarnya. Pak Ton memang menggunakan kursi roda. Sebab kaki kirinya diamputasi karena diabates.

Saya mengajukan beberapa pertanyaan tentang pendidikan, yang jawabannya akan saya kutip jadi berita. Ia bercerita panjang bagaimana dunia pendidikan Malaysia bangkit dari ketertinggalan, sedangkan Indonesia yang dulu banyak mengekspor guru ke negeri jiran itu, pendidikannya justru makin mundur.

Usai wawancara, saya tanyakan, apakah dia bisa menerima keadaan hidup di kursi roda. Pak Ton bilang, ia harus bisa. Sebab, kepada setiap orang yang datang berkonsultasi dengannya ia selalu memotivasi bahwa semua masalah hidup bisa diatasi. ''Kalau saya bisa memotivasi orang, saya harus bisa memotivasi diri sendiri,'' katanya. Dukungan keluarga, kata dia, sangat meringankan bebannya.

Ia menekankan pentingnya kesamaan antara isi hati, ucapan dan tindakan dalam menjalani hidup sehari-hari. Sesuatu yang terasa makin langka hari-hari terakhir ini di sekitar kita. ''Nilai utama manusia adalah konsistensi antara ucapan dan perbuatan,'' katanya. Ia kasih contoh, betapa banyak orang bicara A tapi kelakuannya B. ''Ada yang nasihati orang jangan mencuri, tapi justru dia sendiri yang mencuri. Orang seperti ini tak punya nilai apa-apa,'' katanya.

Saat hendak pamit saya minta nomor teleponnya. Saya tanyakan, apakah saya bisa menghubungi bila suatu saat saya memerlukan pendapatnya. ''Silakan. Selagi tidak sedang beristirahat akan saya respon,'' kata Pak Ton. Saat bangkit dari kursi yang saya duduki, Pak Ton memasukkan sebutir lagi buah apel ke dalam ransel saya. ''Untuk bekal di jalan,'' katanya. Terima kasih, Pan Ton. Selamat jalan. ***

1 comment:

wewen21 said...

Terasa ketulusan hatinya ya Bang, setidaknya setelah ya membaca tuisan ini