Friday, July 24, 2009

Save Our Seipulai


Tanjungpinang mengalami krisis air bersih terparah sepanjang sejarah kota itu. Hutan lindung sebagai daerah resapan air rusak parah, perkebunan resmi malah diizinkan di dalamnya.

SEBUAH dermaga kecil menjorok sepanjang enam meter ke arah tengah waduk. Pada tiang-tiang betonnya menempel lima buah pipa ukuran besar warna biru. Dua di antara lima pipa besar itu ujungnya tenggelam di bawah permukaan air. Sisanya, terlihat menggantung sekitar setengah meter di atas riak air, ujungnya dipenuhi lumut dan lumpur kering.


''Seharusnya semua ujung pipa berada di dalam air, paling sedikit empat meter,'' kata Berto, lelaki yang sehari-hari bertugas mengawasi ketinggian air pada ujung pipa-pipa itu. Tapi kemarau yang menerpa sejak lima bulan terakhir, membuat permukaan air waduk susut hingga lima meter. ''Akibatnya pipa-pipa itu menyembul keluar,'' ia menambahkan.

Itulah kondisi terakhir Waduk Seipulai, sumber air baku satu-satunya milik Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Kepri, yang melayani wilayah Tanjungpinang, ibu kota Provinsi Kepri. PDAM Tirta Kepri dan Dinas Kehutanan Provinsi Kepri menyatakan, penyebab utama susutnya air waduk adalah kemarau panjang sejak Januari 2009 dan rusaknya hutan lindung yang menjadi daerah tangkapan air (catchment area).

Dampaknya, produksi air bersih Tirta Kepri turun hingga 60 persen dari kondisi normal. ''Biasanya kita produksi 300 liter per detik, sejak awal Juni maksimal hanya 130 liter per detik,'' kata Kepala Humas Tirta Kepri M Syahrial, Selasa (7/7), di kantornya, di Batu Tiga, Tanjungpinang. Jika dalam kondisi normal, kata Syahrial, air bisa mengalir ke pelanggan tiap dua hari sekali. ''Sekarang tiap lima atau enam hari sekali,'' ujarnya.

Pelanggan pontang panting mencari sumber air pengganti. Suhermin, 57 tahun, ibu rumah tangga yang tinggal di Perumahan Taman Harapan Indah, misalnya, tak bisa tidur nyenyak sejak air makin langka. ''Saya sering terbangun malam. Kadang jam 10, lihat air ngalir atau tidak di kran kamar mandi. Nanti jam 11 bangun lagi,'' katanya.

Jika air mengalir, ia bisa menghidupkan pompa untuk mengisi dua tangki cadangan di atas loteng rumah. Biasanya, kata dia, jam 03.00 subuh air baru ada. ''Itu pun seminggu sekali,'' katanya. Sekitar pukul 07.00 WIB air sudah mati lagi, dan tangki baru terisi setengah. ''Makanya ibu jadi nggak bisa tidur. Badan rasanya meriang,'' keluh Suhermin.

Dengan dua tangki berkapasitas 500 liter itu, Suhermin bisa menggunakan selama satu minggu. Ia mengaku bisa irit karena tinggal sendiri. Jika cucunya datang berkunjung, air dua tangki itu hanya bertahan empat hari. Itupun sudah sangat berhemat. ''Air bilasan baju cucu, saya pakai lagi untuk merendam baju saya. Membilas cukup satu kali saja,'' paparnya.

Jika stok habis dan air belum juga mengalir, Suhermin yang sehari-hari berjualan di kantin Rumah Sakit Angkatan Laut ini, biasanya membeli ke truk air yang sering keliling perumahan. Satu tangki ukuran 500 liter, harganya Rp40 ribu. ''Itupun dapatnya harus antri. Kalau pesan pagi, sore sekitar jam 19.00 WIB baru diantar,'' ungkapnya.

Manajemen Tirta Kepri berupaya menyiasati situasi yang kian memburuk. Pipa penyedot (intake) di dermaga yang menggantung di atas permukaan air sebelumnya ada empat. Dua, di antaranya coba disambung dengan paralon yang ujungnya dimasukkan ke dalam waduk. Tapi hanya satu yang berhasil. Pemasangannya pun terlihat seadanya, jika tak bisa disebut asal jadi. ''Untuk sementara bisa dipakai, tapi cuma sebentar. Garis permukaan air sudah di ujung paralon,'' kata Berto, sambil menunjuk paralon darurat itu, Senin (6/7).

Dengan tambahan pipa yang tersambung paralon itu, total ada tiga pipa penyedot yang bisa difungsikan Tirta Kepri untuk berproduksi. Dua pipa ada di dermaga. Sebenarnya, kata Berto, perusahaan tempatnya mengabdi sejak empat tahun silam itu, punya sembilan pipa penyedot. Selain lima unit yang berada di dermaga itu, ada empat unit lagi yang lokasinya terletak sekitar 25 meter sebelah kiri dermaga. ''Tapi dari yang empat itu, hanya satu yang bisa dipakai,'' ungkapnya.

Penyusutan air Waduk Seipulai mulai terasa sejak Maret 2009. ''Waktu itu susut segini,'' kata Berto, sembari memegang siku dan meninggikan kepalan tangannya. Ketika itu, manajemen mengira hanya penyusutan biasa. ''Dari dulu kalau kemarau air memang susut, bahkan sampai semeter, tapi biasanya balik lagi. Kita tak mengira bakal begini,'' kata Ibrahim, pegawai Tirta Kepri yang sudah bekerja sejak 1984. Menurut Ibrahim, butuh hujan deras selama tujuh hari tanpa jeda untuk mengembalikan permukaan air ke titik normal.

Ketua Panitia Khusus DPRD Kepri untuk masalah air Rudy Chua mengatakan, Pemerintah Provinsi Kepri bersedia mengeluarkan dana darurat sebesar Rp1,5 miliar untuk menanggulangi krisis air bersih ini. Dana itu akan dipakai untuk memperpanjang dermaga pipa penyedot hingga 30 meter ke arah tengah waduk. Tapi uang tak serta merta menyelesaikan masalah. Jalan mengakhiri krisis masih panjang. ''Sebab membangun dermaga harus melalui proses tender, itu butuh waktu 21 hari kerja,'' kata Rudy. Setelah pemenang tender diumumkan, barulah proses pembangunan bisa dimulai, yang diperkirakan memakan waktu 60 hari kerja. ''Jika tak ada keajaiban, penderitaan pelanggan Tirta Kepri masih akan berlangsung sampai akhir September 2009,'' ujar Rudy.

Seorang pejabat Pemerintah Provinsi Kepri menuturkan, Gubernur Ismeth Abdullah pernah mengundang secara khusus kepala Kejaksaan Tinggi Kepri dan perwakilan Badan Pemeriksa Keuangan, untuk meminta pertimbangan agar proyek perpanjangan dermaga itu bisa digelar tanpa tender, atau menggunakan sistem penunjukan langsung. ''Karena situasi sudah sangat darurat, Pak Gubernur minta kelonggaran,'' kata pejabat itu. Tapi, Kejaksaan dan BPK menolak memberi lampu hijau, dengan alasan mengandung risiko hukum yang besar. ''Ya, terpaksa lewat tender dan bertele-tele,'' katanya.

Ismeth Abdullah yang dikonfirmasi perihal pertemuan itu, menjawab, ''Kita mencari solusi yang cepat dan tepat. Insya Allah bisa teratasi.'' Dalam situasi yang amat darurat seperti ini, kata Rudy Chua, kendala birokrasi sebenarnya bisa dikesampingkan. ''Memang, harus ada orang yang berani mengambil risiko. Lebih cepat, tentu lebih baik,'' katanya, yang ditemui sehari menjelang pemilihan presiden.

***

WADUK Seipulai dulunya adalah sebuah lembah yang diapit dua buah bukit kecil, yang berada di sisi barat dan timur. Di bukit sebelah timur terhampar perkebunan karet milik perusahaan Siang Lie Sie Biam Kongsi. Di bagian dasar lembah, mengalir tujuh anak sungai.

Di sisi selatan terbentang jalan raya yang menghubungkan Kota Tanjungpinang dengan Kota Kijang yang jadi pusat pertambangan bauksit dan tembaga.

Jaswi, seorang warga Seipulai menuturkan, waduk mulai dibangun tahun 1962. ''Kontraktornya perusahaan milik Tauke Kim Long,'' katanya. ''Mandor proyek namanya Pak Medan,'' kata Jaswi belakangan.

Jaswi ketika itu berusia 18 tahun. Baru beberapa minggu menginjakkan kaki di Tanjungpinang. ''Saat itu konfrontasi dengan Malaysia sedang gencar-gencarnya,'' kata lelaki asal Bawean, Jawa Timur ini. Di Tanjungpinang, Jaswi tinggal bersama pamannya yang bekerja di Bandar Udara Kijang, yang bersebelahan dengan Hutan Lindung Seipulai. ''Tiap hari saya lewat di depan proyek itu sambil lihat-lihat,'' katanya. ''Karena sering nengokin orang kerja, saya jadi kenal Pak Medan.''

Jaswi mengenang, pada tahap awal pembangunan waduk, para pekerja meninggikan sisi jalan raya sebagai tanggul. Baru setelah itu mereka menggali dasar lembah untuk memperdalam dasar waduk. Pekerjaan paling berat adalah menggusur bukit untuk perluasan waduk. Karena tak ada alat berat sama sekali, pekerja harus keluar tenaga lebih besar. ''Mula-mula mereka menyemprot bukit dengan hydrant pemadam kebakaran. Setelah tanahnya lembek baru dicangkul,'' Jaswi menuturkan. Karena diapit dua bukit, bentuk asli waduk mirip bola yang dibelah dua.

Tahun 1963, waduk selesai dikerjakan. Perlahan air mulai menggenang, terutama dari sungai di dasar lembah yang dibendung. Pabrik karet Siang Lie berikut mess karyawan ikut tenggelam ketika air waduk sudah mencapai posisi normal. Sebuah jembatan dan lapangan bola yang sebelumnya tempat warga berolahraga tiap petang, tinggal kenangan. ''Waduknya luas sekali. Sejauh mata memandang hanya hamparan air yang kita lihat,'' kata Jaswi. Menurut data PDAM Tirta Kepri, luas asli permukaan Waduk Seipulai adalah 45 hektare.

Seorang pejabat dari Jakarta datang meresmikan. Tapi berbeda dengan upacara peluncuran proyek masa kini yang ditandai dengan pengguntingan pita dan selalu diadakan pada siang hari, waduk Seipulai justru diresmikan pada malam hari.

''Tidak pakai gunting pita, tapi mengarak kepala lembu,'' kata Jaswi. Setelah itu, dilanjutkan panggung musik dan joget sampai pagi. ''Panggungnya dekat instalasi pengolahan air sekarang ini,'' katanya. Instalasi itu diresmikan Presiden Soeharto tanggal 12 Mei 1971.

Pertengahan tahun 1980-an, kata Jaswi, Tanjungpinang pernah dilanda kemarau panjang yang lebih parah dari tahun 2009 ini. ''Tapi air waduk tak susut seperti sekarang,'' katanya.

Cerita Jaswi dibenarkan Kasmin, ketua RT05/RW01 Kelurahan Gunung Lengkuas, Bintan Timur, yang tinggal tak jauh dari Waduk Seipulai sejak tahun 1975. ''Ini penyusutan paling parah selama saya tinggal di sini,'' kata pria asal Banyumas, Jawa Tengah itu. ''Mungkin waktu itu masih ada kebun karet, tidak sawit seperti sekarang,'' kata Kasmin.

Sisi bagian timur waduk kini memang ditumbuhi pohon sawit milik PT Tirta Madu. Perkebunan ini berada di dalam areal Hutan Lindung Seipulai, yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 426, tanggal 28 Desember 1987.

Kenapa perkebunan bisa berada dalam hutan lindung? Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Provinsi Kepri Said Jafar menjelaskan, kebun milik Tirta Madu sudah lebih dulu ada jauh sebelum waduk dibangun, dan sebelum kawasan itu ditetapkan sebagai hutan lindung. ''Perkebunan mereka sudah ada sejak tahun 1936 dan punya sertifikat,'' katanya.

Menurut Jaswi, pada masa itu, nama perusahaan perkebunan itu adalah Siang Lie Sie Biam Kongsi. ''Yang punya perusahaan, namanya Tauke Juk Su, orang Singapura,'' katanya. Sehari-hari perusahaan itu dinakhodai Ang We, warga Tionghoa kelahiran Bintan. Menjelang tahun 1970, kebun itu dibeli Tirta Madu, perusahaan milik pengusaha asal Pekanbaru. ''Saya kerja di situ sejak 1974,'' kata Jaswi. Tirta Madu mengelola kebun karet lengkap dengan pabrik pengolahan getah.

Setelah waduk ada, pemerintah menetapkan hutan di sekelilingnya sebagai daerah tangkapan air, termasuk di dalamnya area perkebunan Tirta Madu seluas 145 hektare. ''Seharusnya pemilik kebun dapat ganti rugi karena kebunnya ditetapkan jadi hutan lindung, tapi ini mereka kasih gratis,'' kata Said Jafar. Hanya saja, Tirta Madu tetap diperbolehkan melanjutkan usaha perkebunannya. Karena itu pula, pada tahun 2000, mereka bebas saja mengganti pohon karet jadi pohon sawit. ''Saya tak tahu alasan perusahaan mengganti tanaman itu,'' kata Jaswi yang pensiun dari Tirta Madu tahun 2000.

Banyak kalangan menduga, keberadaan tanaman sawit telah menyebabkan keringnya air tanah di area sekitar waduk. ''Tiap satu pelepah sawit butuh dua liter air sehari. Karena itu tiap kali hujan, air di dalam kebun cepat kering,'' kata Suroso, salah seorang pekerja PT Tirta Madu. Satu pohon sawit bisa terdiri dari tujuh pelepah atau lebih.

Said Jafar membenarkan keterangan Suroso. Terlebih lagi, kata dia, sawit PT Tirta Madu saat ini sedang berada pada usia emas. ''Produksinya sedang tinggi, kebutuhan airnya mungkin lebih banyak,'' ucapnya. Jarak antara batas kebun dengan bibir waduk juga sangat dekat. ''Seharusnya paling sedikit 100 meter, tapi ini ada yang 20 meter,'' kata Said. Berkurangnya air di wilayah resapan, membuat luas permukaan waduk kini menyusut jadi sekitar 30 hektare.

Karena itulah, Pemerintah Provinsi Kepri memutuskan menebang seluruh sawit di dalam area kebun Tirta Madu, secara bertahap. ''Sudah dilakukan sejak seminggu ini,'' kata Said yang ditemui, Selasa (7/7). Sehari sebelumnya, saya datang ke perkebunan itu. Di areal dekat bibir waduk, sejumlah pohon sawit bertumbangan. Daunnya masih terlihat hijau segar. Tapi tak ada seorang manusiapun di sana.

''Kita istirahat dulu, chain saw (alat pemotong kayu) yang biasa dipakai sedang rusak. Tak kuat dia,'' kata Said. Berapa chain saw dikerahkan? ''Cuma satu hehehe,'' katanya. Namun, Said yakin hingga akhir 2009 penebangan sawit dan penanaman pohon pengganti, seperti akasia, trembesi, angsana, dan mahoni, akan selesai. ''Yang tanam pengganti perusahaan itu (Tirta Madu),'' ujar Said.

Tak hanya keberadaan sawit yang menyebabkan daerah tangkapan jadi kering. Penjarahan hutan di luar area perkebunan oleh warga juga memberi andil besar. Itu terlihat di hulu waduk: sisa tunggul pohon bekas tebangan berdiri di atas tanah kering yang permukaannya tampak retak. Menghampar seluas tiga kali lapangan bola. Rumah-rumah ilegal milik penduduk bertebaran di dalam hutan lindung. Kasi Kehutanan, Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Tanjungpinang Zul Hidayat memperkirakan jumlah rumah liar di Hutan Lindung Seipulai mencapai 100 unit. ''Semuanya akan ditertibkan,'' katanya.

Hutan Lindung Seipulai luas keseluruhannya mencapai 751,8 hektare. Sebanyak 441 hektare masuk dalam wilayah Kabupaten Bintan, termasuk kebun sawit Tirta Madu. Sisanya berada di Kota Tanjungpinang. Said belum bisa memastikan berapa total luas kerusakan yang terjadi. Yang jelas, kata dia, ''Hutan Seipulai harus diselamatkan.'' Area-area yang tandus karena penjarahan, akan ditanami ulang, terutama yang berada dekat daerah aliran sungai. ''Seluruh kegiatan penghijauan oleh organisasi apa saja akan diarahkan ke sana,'' katanya.

Penanaman ulang Hutan Lindung Seipulai, tentu tak otomatis mengembalikan kapasitas air waduk ke angka normalnya. Seipulai tak bisa lagi jadi sandaran satu-satunya. Pertumbuhan penduduk dan perkembangan Tanjungpinang sejak Pemerintah Provinsi Kepri berkantor di sana, membuat kebutuhan akan air bersih makin besar. Kepala Humas Tirta Kepri M Syahrial mengatakan, pihaknya bersama pemerintah sudah memantau beberapa lokasi yang potensial jadi sumber air bersih PDAM. ''Setidaknya ada empat lokasi, di antaranya Galang Batang, KM 18 dan KM 12,'' katanya.

Ditanya kapan realisasinya, Syahrial mengangkat bahu. ''Tergantung dana dari pemerintah,'' ujarnya. Artinya, air Seipulai masih akan dihisap beramai-ramai. ***

No comments: