Friday, September 11, 2009

Juru Masak Pencetak Juara Tinju


BERADA di tengah permukiman padat, tak mudah menemukan sasana tinju Wira Boxing Camp. Minimnya petunjuk membuat orang yang pertama kali datang ke sana harus celingukan sepanjang jalan utama Tiban Kampung, Kelurahan Tiban Lama, Kota Batam. Tak ada papan nama di depan sasana. Rimbunnya bunga dan tanaman hias dekat pintu masuk, menutupi ring seluas 4x4 meter persegi yang, sebenarnya, berada tak jauh dari pagar pembatas antara sasana dengan jalan utama.


Saat saya bertandang, Kamis (3/9) petang, Erzon, sang pemilik sasana, tengah duduk di sebuah bangku plastik dekat ring. Ia mencoret-coret kertas di atas meja yang ada di depannya. Sesekali matanya menoleh ke keluar, ke arah jalan utama perkampungan. ‘’Anak-anak masih lari. Pemanasan,’’ katanya.

Wira Boxing Camp merupakan sasana tinju satu-satunya di Batam. Berdiri tahun 1990. Karena itu, Erzon, menyebutnya sebagai ‘anak tunggal’. ‘’Tapi nasibnya lebih pahit dari anak tiri,’’ katanya. Mendulang banyak prestasi, mengharumkan nama Batam dan Provinsi Kepulauan Riau di level nasional dan internasional, bahkan mewakili negara, tapi tak pernah ada perhatian memadai dari pemerintah daerah. Potret klasik dunia olahraga Indonesia, yang membuat orang jadi sinis dan sarkastis.

Sejak satu per satu medali dan piala memenuhi lemari kayu warna cokelat muda di ruang tamu rumahnya, mulai tahun 1999, melalui Antoni Butar-Butar (perak), Kurniawan dan Hendra (perunggu), pada Kejuaraan Nasional Junior di Makasar, tak satu pun pejabat pemerintah, entah gubernur atau wali kota, pernah datang ke sana. ‘’Yang pernah ke sini itu hanya pengurus Pertina dan KONI,’’ kata Erzon.

Capaian tertinggi Wira Boxing Camp adalah melahirkan Rionando Butar-Butar, adik Antoni, sebagai petinju nasional. Di Sea Games Vietnam tahun 2003, anak muda yang lahir dan besar di Tiban Kampung itu, meraih medali perak. Dua tahun berikutnya, di ajang yang sama di Filipina, medali perunggu menggantung di leher Rionando. Pada tahun itu juga, Rionando menyabet medali perak pada kejuaraan internasional di Iran.

Tahun 2000, Wira Boxing Camp mengirim tujuh petinjunya, mewakili Batam, ke Kejuaraan Nasional Junior di Kendari. ‘’Di sana kami juara umum dengan tiga emas, dua perak, dan tiga perunggu,’’ Erzon menuturkan.

Jonelyn Ebusca Erzon, anak bungsu Erzon, menambah panjang daftar kegemilangan Wira Boxing Camp, setelah tampil sebagai juara nasional tinju wanita, dan belum terkalahkan dalam 12 pertandingan terakhir. Sebelumnya, Wulan Safitri menyabet medali perak pada Kejurnas Tinju Wanita di Medan. Sepanjang tahun 2009 ini saja, kata Erzon, Wira Boxing Camp mengoleksi delapan medali (tiga emas, tiga perak, dua perunggu) dari tiga kejuaraan internasional di Penang dan Johor. ‘’Totalnya, kami berhasil meraih 128 medali dan 48 piala,’’ kata Erzon.

Walau mengoleksi banyak gelar, tak otomatis membuat atlet dan pelatih jadi kaya. ‘’Juara di level internasional itu jarang hadiahnya uang. Hanya medali dan piala,’’ kata Erzon. Sebab itu, deretan prestasi yang sudah dicatatkan penghuninya, tak banyak mengubah wajah Wira Boxing Camp, yang berada di pekarangan samping rumah tinggal Erzon.

Yang terasa berbeda hanyalah empat sansak besar yang berjejer di belakang ring telah menemukan tempat gantungan memadai, meski masih harus berdesakan dengan jemuran. Sebelumnya, sarana latihan utama olahraga tinju itu terpaksa digantung di pohon nangka. Setelah Erzon mengecor plafon bagian samping rumahnya, sansak dipasang di sana. ‘’Saya mau bikin asrama, tapi belum kesampaian juga,’’ ungkapnya, menunjuk plafon yang masih berlapis semen kasar itu.

Ring untuk latihan juga masih yang lama. Usianya sudah 19 tahun. ‘’Hanya papan untuk lantai dan karpet saja yang pernah diganti,’’ kata Erzon. Kaki ring yang terbuat dari besi, semuanya sudah karatan. Mur dan baut penghubung antara kaki ring dengan penyangga papan lantai mulai longgar, karena lubang tempat pemasangannya sudah keropos. ‘’Ring ini, kalau digeser sedikit saja, berantakan semua. Roboh,’’ katanya.

Erzon pernah mengajukan permintaan bantuan kepada pemerintah daerah melalui KONI dan Pertina untuk mengganti ring. Kecuali janji, tak ada hal lain yang ia peroleh. ‘’Bosan saya berharap,’’ katanya. Rahangnya mengeras. Matanya menerawang tajam ke arah ring.

***

ERZON lahir di Padangpanjang, Sumatera Barat, 6 Juni 1954. ‘’Mirip dengan tanggal lahir Bung Karno,’’ katanya. Bedanya, kata dia, Soekarno lahir menjelang subuh, karena itu disebut Putra Sang Fajar. Sedangkan ia keluar dari rahim ibunya pada tengah malam. ‘’Makanya agak nakal sedikit,’’ ujarnya. Seperti kebanyakan orang Minang lainnya, Erzon menghabiskan hidupnya di perantauan.

Lulus sekolah rakyat di Medan, ia berlayar ke Amerika Serikat tahun 1970. Sebagai pendatang haram, lelaki berkulit gelap itu tak pernah punya pekerjaan tetap di negeri Paman Sam. ‘’Kadang cuci piring, kadang tukang masak di restoran,’’ katanya. Sebelum pindah ke Seattle di negara bagian Washington, dan meninggalkan AS tahun 1973, Erzon tinggal di Brooklyn, sebuah kawasan kumuh dan padat di Kota New York, yang banyak melahirkan petinju-petinju handal. Mike Tyson, salah satunya. ‘’Di sana, banyak sekali sasana tinju,’’ katanya. Tiap hari melihat orang berlatih tinju, Erzon jatuh cinta pada olahraga baku pukul itu.

Dari AS, ia melanglang buana ke banyak negara. Jerman salah satu negara yang cukup lama ditinggalinya. ‘’14 tahun tahun saya di luar negeri,’’ tuturnya. Filipina adalah perantauan terakhir Erzon. Di sanalah ia bertemu dan menikah dengan Josefine, yang memberinya tiga orang anak. Pulang ke Indonesia, Erzon mendarat di Batam tahun 1984. ‘’Sejak itu saya berteman dengan pengurus Pertina,’’ katanya.

Tahun 1990 ia terlibat sebagai panitia dalam Kejuaraan Tinju Nasional di Gedung Beringin, Sekupang. Promotornya pengusaha nasional Herman Saren Sudiro. ‘’Setelah Kejurnas itu saya mendirikan sasana ini. Saya sendiri yang melatih,’’ katanya. Ia sudah tujuh kali lulus kursus pelatih tinju.

Pada masa-masa awal berdiri, Erzon mengisahkan, tak banyak anak muda yang berminat bergabung di sasana itu. Wira Boxing Camp hanya punya lima petinju. ‘’Cari petinju, saat itu, susahnya bukan main,’’ katanya. Kendala utama, kata dia, adalah kecemasan orang tua atas keselamatan anak mereka. ‘’Orang tua tak mengizinkan. Takut anak mereka jadi gila,’’ katanya. Walau begitu, Erzon tak pernah punya keinginan mencari bibit petinju dari luar Batam. ‘’Karena saya ingin melahirkan petinju asli Batam,’’ ujarnya.

Kini, ada 13 anak muda usia 13-18 tahun yang bergabung di sasana itu. Mereka masuk tanpa dipungut biaya. Tiga orang di antaranya, tinggal dan hidup bersama keluarga Erzon. Mereka juga disekolahkan. Segala kebutuhan latihan dan pertandingan bersumber dari uang pribadi Erzon. Sehari-hari ia bekerja membersihkan tanki kapal (tank cleaning) tanker asing yang sandar di berbagai pelabuhan di Batam. ‘’Kalau tak karena cinta pada tinju, sudah bubar sasana ini,’’ ucapnya, melukiskan beratnya mencari dana operasional. Dukungan penuh keluarga menambah kekuatan untuk bertahan. ‘’Kalau nggak didukung, bisa-bisa rumah tangga ribut terus. Gimana enggak, kalau pagi anak belum tahu mau sarapan apa, sementara atlet harus disediakan bubur kacang, telur atau susu,’’ paparnya.

***

RIONANDO Butar-Butar melepaskan tinju kanan dan kirinya ke arah depan bergantian. Langkahnya maju-mundur. Sesekali kepalanya dimiringkan ke kiri dan ke kanan, seolah sedang mengindari pukulan lawan. Kaos warna biru yang dikenakannya basah oleh keringat. ‘’Indonesia kalah sama Algeria, Bos,’’ katanya kepada Erzon, yang duduk mengamatinya. Ia bercerita tentang kejuaraan tinju dunia di Milan, Italia, yang ia pantau melalui situs www.aiba.org.

‘’Bos’’ adalah panggilan sehari-hari Rionando kepada Erzon. ‘’Dia yang mengubah hidup saya,’’ kata Rionando. Di tangan Erzon-lah bakat yang dimiliki Rionando terasah dengan baik. Seperti Cus D’ Amato menemukan Mike Tyson di lorong gelap Brooklyn, lalu menyuntikkan motivasi dan kemampuan teknis hingga merajai dunia tinju, Erzon mematangkan karakter Rionando yang memang dikaruniai nyali besar dan kecerdasan.

Rionando bergabung tahun 1995. Dua tahun kemudian, ia tampil sebagai juara pada Kejurnas Junior di Manado. ‘’Usia saya waktu itu baru 13 tahun,’’ katanya mengenang. Ia ingin mengakhiri karirnya pada Sea Games 2011 di Jakarta dan PON 2012 di Pekanbaru. Apakah setelah itu ingin jadi pelatih? ‘’Itu terserah pada Bos. Saya nggak bisa jauh dari tinju. Separo hidup saya habis di tinju,’’ kata Rionando. Paling tidak, kata dia, ia sudah punya calon penerus. Supriyadi, namanya.

Selain menekuni tinju, Rionando kini bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Kantor Lurah Tiban Lama, tak jauh dari sasana Wira Boxing Camp. Pengangkatannya sebagai PNS tahun 2006 merupakan penghargaan dari Pemerintah Kota Batam. Ia juga mendapat dana pembinaan sebesar Rp1,2 juta sebulan dari KONI Kepri dan dua unit rumah.

Akan halnya Erzon, sang pelatih yang telah melahirkan generasi emas dalam dunia tinju di Batam dan Kepulauan Riau, tak pernah menerima penghargaan yang memadai dari pemerintah. ‘’Kalau atlet menang, disambut meriah oleh pemerintah dan diberi amplop. Pelatih tak pernah diperlakukan seperti itu. Tapi kalau kalah, pelatih dicari-cari, ditanya ini itu, kenapa kalah dan macam-macam,’’ kata Erzon.

Erzon mengaku pernah dijanjikan rumah oleh pemerintah. ‘’Tapi, sampai hari ini, septic tank-nya saja saya belum dapat,’’ katanya. Bagaimana dengan lahan tempat rumah dan sasananya berdiri saat ini, yang masih berstatus permukiman liar, apakah ‘’diputihkan’’ sebagai bentuk penghargaan? ‘’Dulu katanya mau diputihkan, tapi sudah empat kali pemilu nggak ada kejelasan. Saya nggak peduli, mau putih, hitam, atau abu-abu, yang penting saya jangan diganggu,’’ katanya.

Kepala Kantor Pemuda dan Olahraga Kota Batam Jefriden mengaku tak tahu soal berbagai hal yang pernah dijanjikan kepada Erzon. ‘’Jangan-jangan (janji) itu bukan dari Pemerintah Kota Batam,’’ katanya.

Sejauh ini, kata dia, Erzon belum pernah datang langsung membicarakan hal itu kepadanya. ‘’Kalaupun ada penghargaan dari Pemko Batam, tentu akan dipenuhi secara bertahap. Kemampuan kita masih terbatas,’’ katanya.

Menurut Jefriden, pembinaan dan penghargaan terhadap atlet dan pelatih merupakan tanggung jawab KONI. ‘’Dana KONI itu kan dari APBD juga,’’ ujarnya. Fokus pemerintah, kata dia, membangun sarana olahraga, seperti stadion dan gelanggang olahraga.

Erzon sendiri mengaku tak lagi memikirkan janji-janji yang pernah diucapkan kepadanya. Semua itu, kata dia, telah dibenamkan jauh di dalam hati. Tapi, ‘’Saya tak akan berhenti (melatih tinju), karena saya mencintai olahraga ini,’’ ucapnya. ***

1 comment:

Unknown said...

sasananya ini masih ada gak?