Wednesday, August 6, 2008

Di Atas Langit Ada Langit

SALAH satu pesan penting Bill Kovach kepada wartawan dalam bukunya Sembilan Elemen Jurnalisme yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia adalah ''bersikaplah rendah hati''.


Di atas langit masih ada langit. Tak ada wartawan yang sempurna. Semua orang pernah berbuat keliru. Goenawan Mohamad, redaktur pendiri majalah Tempo, sosok yang diidolakan banyak orang juga pernah keliru. Dalam Catatan Pinggir, rubrik tetapnya di Majalah Tempo, Goenawan pernah menulis Abu Thalib sebagai ayah Nabi Muhammad. Padahal, ayah Nabi Muhammad adalah Abdullah bin Abdul-Muththalib. Koreksi atas kekeliruan ini disampaikan seorang pembaca Tempo di rubrik surat pembaca majalah tersebut.

Baru-baru ini, Goenawan juga keliru menulis fakta, masih dalam Catatan Pinggir, bahwa Abu Bakar Ba'asyir dipenjara karena tuduhan terorisme. Padahal, Ba'asyir dihukum dalam kasus pelanggaran aturan keimigrasian.

Ini hanya sekedar contoh. Tulisan ini tidak bermaksud mencari-cari kesalahan Goenawan, penulis dan wartawan yang paling aku kagumi di Indonesia. Tapi, seperti kata Goenawan sendiri, tak ada gading yang tak retak.

Sebab itu, kembali kepada pesan Bill Kovach tadi, menjadi rendah hati adalah penting bagi wartawan. Belakangan jika kita amati beberapa gaya penulisan di media massa, ada hal-hal yang sesungguhnya tak penting diketahui pembaca, tapi dipaksakan ada dalam tulisan dengan maksud, yang aku duga, untuk menonjolkan kehebatan si wartawan di hadapan pembaca.

Misalnya: ''Untuk mewawancarai Ibu Karti, seorang bidan desa yang sudah mengabdi 20 tahun di daerah terpencil, tidak mudah. Wartawan koran ini harus menempuh perjalanan panjang dan melelahkan selama lima jam. Kendaraan roda dua yang ditumpangi wartawan koran ini sempat terperosok di jalan lumpur. Bahkan, kami harus menahan lapar karena tak ada warung di sepanjang perjalanan. Namun itu tak menyurutkan semangat untuk meliput.''

Sebagai pembaca aku gondok setengah mati baca tulisan kayak gini. Aku ingin tahu kisah Ibu Karti dan pengabdiannya di desa terpencil, sebagaimana dijanjikan si wartawan kepada pembaca melalui judul tulisannya. Tapi, kenapa yang ditonjolkan (bahkan di paragraf pembuka pula) justru heroisme wartawannya? Ini onaninya sudah melampaui batas. Peran wartawan adalah sebagai story teller, bukan sebagai subjek berita!

Tidak adakah cara lain untuk menggambarkan beratnya medan menuju desa tempat tinggal Ibu Karti, tanpa harus membesar-besarkan jerih payah wartawan? Misalnya: ''Jalan tanah sepanjang 10 kilometer membentang dari jalan raya Cianjur menuju Desa Cipatah. Sisa hujan semalam, menimbulkan kubangan lumpur di hampir seluruh badan jalan. Para pelintas yang mengendarai sepeda motor harus harti-hati jika tak ingin terperosok. Dengan kondisi jalan seperti ini perlu waktu lima jam mencapai Desa Cipatah.''

Yang paling celaka adalah kalimat berikut, yang aku kutip dari sebuah koran di Batam: ''Saat berita ini dikonfirmasi ke Sekdaprov Kepri melalui telepon, yang bersangkutan tidak menjawab. SMS yang dikirim juga tak dibalas. Tanpa putus asa, wartawan koran ini terus berusaha mendapatkan konfirmasi dengan menghubungi Sekdaprov berkali-kali.'' Hanya mengonfirmasi lewat telepon saja, si wartawan berlagak sudah bekerja sangat keras sekali, sehingga ia harus menulis kata TANPA PUTUS ASA.

Berjerih payah untuk mendapatkan informasi bukannya sudah hakikat kerja wartawan? Seperti halnya nelayan yang berjerih payah tiap malam menyusuri riak dan gelombang untuk mendapatkan ikan. Dengan membesar-besarkan jerih payah proses mendapatkan informasi, wartawan sepertinya nggak ikhlas memberikan informasi kepada pembaca. Ingat lagi pesan Bill Kovach: rendah hatilah.

Tapi di kalangan wartawan sendiri, memang ada pengakuan bahwa sebagian besar di antara kita selalu merasa lebih hebat dan lebih tahu dari pembaca. Aku ingat pesan Leak Kustiya, Pemimpin Redaksi Radar Surabaya di halaman depan korannya: ''Pembaca sekarang makin cerdas. Bahkan lebih cerdas dari media itu sendiri,'' Aku suka pesan ini. Ini pesan yang rendah hati. Pesan yang mengingatkan kita para wartawan bahwa kita harus selalu mengoreksi dan memperbaiki diri, karena pembaca kita adalah orang-orang pintar.

Ada juga wartawan yang suka membangga-banggakan diri kalau ia kenal dengan pejabat penting atau pengusaha kakap. Bukannya kenal pejabat, pengusaha, preman, tukang parkir, atlet, dosen, pelacur dan seterusnya adalah bagian sehari-hari tugas wartawan. Jadi, kalau wartawan kenal banyak orang itu bukan hal istimewa dan tak perlu dibangga-banggakan. Yang istimewa adalah kalau ada wartawan tak kenal siapa-siapa.

Lagipula kalau Anda baru kenal wali kota atau bupati, wartawan lain sudah kenal akrab dengan presiden. Anda baru kenal pengusaha lokal, wartawan lain sudah kerap bertemu orang sekaliber Bill Gates. Apa yang mau dibanggakan? Di atas langit selalu ada langit. Rendah hatilah, kata Bill Kovach. ***


1 comment:

Sultan Yohh said...

Ada amarah di tulisan ini. Hehe. Tapi amarah yang sehat, Men!

Pak Rida di Medan beberapa waktu lalu menyebutkan, sebuah perjuangan sekeras apa pun untuk mendapatkan data berita, akan tergambar dalam tulisan artikel tersebut. Tanpa perlu harus mendiskripsikan "keheroan" si wartawan, hasil tulisan dengan sendirinya akan mengatakan, apakah diperoleh secara kerja keras atau cuma duduk di cafe sembari telepon sana-sini.

Teruslah marah yang sehat! Batam Pos butuh pemarah seperti kamu, Men!