Friday, August 29, 2008

Para Pencari Tuhan


SYAFRIL Ahmad mendekatkan ujung telunjuk tangan kanannya ke mulut. Bibirnya dijulurkan ke luar. Sobekan cabe dan remah-remah nasi yang ada di telunjuk itu dan empat jari lainnya bersih seketika. ''Alhamdulillah,'' katanya, disusul sebuah sendawa.


Tiga temannya masih menyuap nasi. Mereka duduk melingkar di depan sebuah wadah bulat warna merah pudar. Wadah dari bahan plastik itu disekat-sekat dalam empat bagian. Di tengahnya ada lingkaran.

Pada empat sekat itulah nasi masing-masing orang diletakkan. Sedangkan di lingkaran bagian tengah, aneka lauk ditumpuk di situ. Sepotong telor dadar, sejumput teri dan kacang goreng, menu andalan Syafril dan rekan-rekan siang itu. Hawa sejuk teras belakang Masjid Baiturrahman Sekupang dan tiupan angin sisa hujan, selepas salat Dzuhur Selasa lalu, membuat suasana makan terasa nikmat.

Syafril beranjak dari tempat duduknya. Menuruni lima anak tangga dari keramik warna cokelat, menuju kran tempat berwudhu. Ia mencuci tangannya di situ. Mulutnya komat kamit melafal dzikir.

Dari sebuah rak warna hitam, tak jauh dari tempatnya mencuci tangan, ia mengambil ransel ukuran besar. ''Bekal di perjalanan,'' katanya, sembari memeriksa isi kantong yang biasa digunakan para pendaki gunung itu. Tiga temannya telah pula menyelesaikan makan. Salah seorang di antaranya, langsung mencuci wadah makanan. ''Kita turun ke bawah,'' kata satu teman lainnya.

Dari Masjid Baiturrahman yang berada di puncak bukit, mereka turun ke Kantor Bank Mandiri Sekupang. Di ruang tunggu loket pembayaran rekening PLN, di samping ATM Mandiri, Syafril dan teman-teman menyapa satu per satu warga yang duduk di situ.

''Berapa tagihannya bulan ini, Pak?'' tanya dia pada salah seorang warga yang duduk di pojok ruang tunggu.

''Rp180 ribu,'' kata bapak itu sekenanya. Sepertinya ia enggan bicara.

''Alhamdulillah, Bapak masih diberi rizki oleh Allah untuk dapat penerangan bulan ini,'' kata Syaril.

Sembari mengutip sejumlah ayat dan hadis, Syafril menjelaskan manfaat rizki yang halal bagi manusia. ''Tidak ada orang yang ditutup pintu rizkinya oleh Allah. Bahkan orang-orang yang berkhianat pun masih diberi rizki. Allah Maha Pengasih Maha Pemberi,'' katanya.

Syafril dan rombongannya adalah anak-anak muda yang saban hari melangkahkan kaki ke setiap jengkal tanah yang diciptakan Tuhan, untuk mensyiarkan agama. Mereka mengukuhkan agama Tuhan dari satu pintu rumah ke pintu rumah yang lain. Kepada setiap manusia yang mereka jumpai di mana saja di kolong langit ini.

Muka masam dan makian dari beberapa orang yang menolak kehadiran mereka, adalah sisi lain dari safari mereka. ''Itu biasa. Rasul saja, pernah diludahi orang karena menegakkan agama Allah, bahkan ditodong pedang,'' katanya.

Dakwah dan dakwah. Hanya itu yang dikerjakan Syafril dan teman-temannya. Mereka tak hirau dengan hiruk pikuk agenda politik di Tanah Air saat ini. Bagi mereka, urusan duniawi ada tempatnya sendiri. Siapa saja boleh terpilih memimpin negeri ini, sepanjang berpihak pada hukum Allah.

Mereka larut dalam nikmatnya dakwah, hingga "lupa" bergibah: menggunjingkan dan membincangkan keburukan orang lain yang kini meruyak di tengah kehidupan sehari-hari kita.

Mereka tak ingin mencampuri otoritas Tuhan soal baik buruknya isi hati seseorang, sebab hanya Tuhan yang tahu persis isi hati dan niat yang ada di kepala umatnya. ''Hati seseorang itu bersih atau kotor, hanya Allah yang tahu. Kami hanya menyampaikan pesan Allah,'' ujarnya.

Tak pula mereka risau dengan materi. Sebab mereka yakin rizki Allah tak bertepi, sehingga tak perlu menyikut teman, mencelakakan saudara, memfitnah orang lain, dan menggadaikan harga diri demi selembar atau segepok uang.

Orang-orang menyebut sosok seperti Syafril ini sebagai Jamaah Tabligh. Ciri khas mereka adalah mengenakan baju gamis, songkok kepala, dan celana yang kakinya digulung hingga di atas mata kaki. Kemana-mana mereka memikul ransel besar. Di dalammya, semua bekal perjalanan tersimpan. Kata Syafril, selain peralatan makan, ada juga yang bawa kompor dalam ransel. ''Kita bisa berhenti di mana saja. Rumah Allah itu sangat luas,'' katanya.

Syafril tak tahu sampai kapan ia punya energi menjalankan dakwah seperti ini. Yang jelas, kata lelaki asal Agam Sumatera Barat ini, ''Sudah sepuluh tahun saya ikut berdakwah.'' Di usianya yang ke-35 tahun, sudah banyak tempat yang disinggahi Syafril. Ia pernah ke Ambon, Pontianak, Palu, Malaysia hingga Thailand Selatan. ''Ke mana saja sepanjang Allah meridhoi,'' katanya.

Demi dakwah, beberapa di antara mereka ikhlas berpisah dengan anak, istri dan orang-orang yang mereka cintai. Syafril, misalnya, saat berada di Ambon tahun 1999, hampir dua tahun tak bertemu anak istri yang menetap di Jakarta. ''Mereka ikhlas. Semua demi agama Allah,'' katanya. ***

No comments: