Monday, December 22, 2008

Anda Pahlawan kalau Nabrak Aturan


SEBUAH berita kecil di pojok kiri bawah sebuah media, Jumat pekan lalu, menyebutkan, seorang pelajar harus dilarikan ke rumah sakit karena kakinya patah dan kepala mengeluarkan darah setelah motor yang dikendarainya bertabrakan dengan angkutan umum. Menurut berita tersebut, tabrakan terjadi karena si pelajar menerobos traffic light warna merah. Ini bukan berita pertama dalam kasus serupa. Tapi kita tak pernah juga belajar dari kesalahan.


Tentu saja banyak alasan yang bisa digunakan si pelajar yang terkapar tadi, jika kita tanya kenapa ia begitu nekat menerobos lampu merah di jalanan yang sibuk. Ia bisa saja bilang takut telat ke sekolah, dipanggil orang tua karena ada urusan penting keluarga dan beragam dalih formal lainnya.

Di luar alasan-alasan itu, ada kebiasaan yang tak juga hilang dalam keseharian kita: merasa bangga jika melanggar aturan. Kita kerap merasa diri kita hebat, bahkan sebagai pahlawan ketika berhasil mengelabui aturan dan aparat yang mengawalnya. Ketika seseorang bisa dengan sukses menerobos lampu merah yang tak jauh dari pos polisi, saya hakul yakin, ia akan bersorak girang, setidaknya dalam hati. ''Mampus lu, gua kerjain,'' sembari menoleh ke arah polisi.

Kebiasaan buruk ini bersemi di zaman Orde Baru, dimana hampir semua aspek hidup warga negara diatur oleh pemerintah. Kita diarahkan untuk terbiasa hidup dalam keseragaman, termasuk pola pikir. Banyak orang yang menolak, tapi tak banyak yang berani menyuarakan dan mengekspresikan. Sebab itu, pada masa itu, ketika ada orang yang berani berbeda dengan keadaan yang serba seragam itu, entah yang diperjuangkan itu benar atau tidak, label "pahlawan" otomatis melekat. Ia jadi fokus perhatian dan perbincangan.

Jika perlawanan yang diberikan berkaitan dengan rasa keadilan dan kepentingan khalayak, tentu tak ada persoalan. Ia harus didukung habis. Tapi, celakanya kita sering menentang hal-hal yang semestinya tidak perlu ditentang. Kita sering melabrak aturan yang dibuat memang untuk kebaikan bersama. Kasarnya, kita kerap asal beda. Barangkali, itu dilakukan cuma untuk menjadi pusat perhatian semata.

Saat duduk di bangku SD, misalnya, selain wajib bercelana merah dan kemeja lengan pendek putih yang bagian bawahnya dimasukkan ke dalam celana, anak sekolah juga harus bersepatu hitam. Maka, kalau ada yang tidak mematuhi ketentuan di atas, misalnya lengan baju digulung dan bagian bawahnya dikeluarkan, serta memakai sepatu putih pula, cap sebagai jagoan di sekolah bakal disandangnya.

Label dan predikat pahlawan dan jagoan salah kaprah begini justru mendapat penguatan melalui ungkapan atau idiom yang kita ciptakan sendiri. Misalnya: ''Dia itu hebat lho, nge-ganja tiap hari, tapi masih bisa juara kelas", "Meski sering teler begitu, shalatnya rajin juga tuh anak'', "Gak jantan lu, masa bolos aja takut", ''Selingkuh dikit gak apa-apa, yang penting kebutuhan istri sama anak terpenuhi. Santai saja''.

Intinya, kita menganggap menabrak hukum adalah prestasi dan kebanggaan. Dan itu terpelihara hingga kini, ketika keseragaman tidak seketat dulu lagi, di saat sudah seharusnya kita membanggakan kedisiplinan dan prestasi. Di suatu siang bulan Ramadan dua tahun lalu, saya bertemu seorang teman kantor yang dengan ekspresi penuh kebanggaan mengepulkan asap rokok dari mulutnya. Barangkali dia bangga karena telah berani melawan perintah Tuhannya secara sadar.

Di acara kongkow wartawan beberapa waktu lalu ada yang bangga-banggaan soal siapa yang paling banyak dapat amplop dari narasumber:

"Kemarin pejabat A kasih Rp1 juta. Lumayanlah zaman susah begini, masih ada yang mau kasih segitu," kata salah satu peserta kongkow.

''Ah, itu belum seberapa. Aku kemarin sama pengusaha B dikasih Rp2,5 juta. Istriku mau pulang kampung melahirkan juga dibeliin tiket sama dia,'' peserta lain menanggapi.

"Aku dulu juga pernah dikasih voucher Hotel Le Meridien Singapur. Nginap seminggu di sana,'' wartawan yang ngomong pertama tak mau kalah.

Mudah-mudahan kita tidak sedang sakit jiwa karena menganggap pelanggaran terhadap aturan, yang sebenarnya adalah aib, sebagai simbol kehebatan dan keberanian. Atau jangan-jangan kita melakukan ini semua hanya karena kita merasa tak punya sesuatu yang bernilai positif dalam diri kita, yang bisa kita banggakan? ***

1 comment:

Anonymous said...

Linknya sudah kupasang bal, thanks atas pemasangan link aku di blog ini, he he he