Thursday, December 25, 2008

Ke Solo Kami kan Kembali

HARI ini, tiga tahun sudah saya bersama istri mengarungi hidup dalam sebuah keluarga. Sejak November dua tahun lalu, kami tak cuma sepasang suami istri, tapi juga ayah dan ibu bagi anak lelaki yang kami beri nama Radithya Wisanggeni. Bocah kecil yang hanya berhenti bergerak dan bicara ketika tidur.


26 Desember adalah hari ulang tahun pernikahan kami.

Saya selalu terkenang Solo, kampung istri, tempat kami melangsungkan resepsi, tiap kali teringat hari pernikahan kami.

Saya selalu berangan-angan, Solo adalah tempat saya bersama istri dan anak melanjutkan episode hidup berikutnya. Kami selalu bercita-cita, lima atau enam tahun lagi akan memulai kisah baru kehidupan kami di sana. ''Enak juga dari Batam kita transit dulu di Jakarta tiga tahun, setelah itu baru ke solo. Pulangnya naik kereta lewat Bandung,'' kata istri.

Kami ingin hidup kami punya banyak halte. Singgah di berbagai tempat. Mencicipi makanan-makanan baru yang jadi ciri khas tempat tertentu (makan adalah hobi yang hanya bisa berhenti ketika kas keluarga sedang kosong). Mengenali budaya, bahasa, atmosfer, dan orang-orang baru. Status quo, kemapanan, dan rutinitas adalah sebuah kebosanan. Tapi Solo adalah pelabuhan terakhir kami.

Di solo hidup tak terlalu ribet seperti halnya Batam atau Jakarta. Cuacanya sedang. Ada banyak tempat-tempat bagus yang nggak membosankan untuk dikunjungi berulangkali, seperti Kampung Batik Laweyan yang tak jauh dari rumah mertua. Pertunjukan seni dan budaya tak pernah berhenti. Masyarakatnya cukup kreatif. Contohnya, untuk mindahin pedagang kaki lima dari pasar tradisional yang dibongkar karena sudah tak layak, pemerintah kota menggelar pawai budaya, tak ada pengerahan Satpol PP dan perang batu antara pedagang dengan aparat.

Dan, yang pasti banyak tempat makan enak tersedia di sana. Bebek Goreng Pak Slamet kesukaan kami, Soto Gading plus sate brutunya yang sekali duduk bisa habis sepuluh tusuk, Timlo Sastro yang dikenal seluruh pencinta makan-makan di Indonesia, Serabi Notosuman langganan keluarga Cendana, tengkleng di Pasar Klewer. Jika rindu masakan padang kami bisa datang ke rumah makan tenda di pertigaan dekat Masjid Besar Laweyan (depan Hotel Puspita). Di Solo semua yang enak-enak tersedia. Harganya murah meriah.

Kalau sedang jenuh di Solo, kita bisa jalan-jalan ke Yogya naik kereta api Prambanan Ekspres. Cuma satu jam. Yogya jauh lebih menarik daripada Singapura. Ia eksotisme alami pemberian Tuhan. Singapura adalah keunikan yang direkayasa, karena itu kalau kita ke sana kadang kita seperti robot yang dikontrol untuk bergerak secara teratur.

Ke Solo kami kan kembali. ***


No comments: