Monday, December 8, 2008

Ketika Musim Menjadi Manusia Sempurna Telah Tiba


Ketika aku masih muda aku bebas berkhayal; aku bermimpi ingin mengubah dunia. Seiring dengan bertambahnya usia dan kearifanku kudapati bahwa dunia tidak kunjung berubah.

Maka cita-cita itupun agak kupersempit. Lalu kuputuskan hanya mengubah negeriku. Namun tampaknya hasrat itupun tiada hasilnya.


Ketika usiaku sudah semakin senja, dengan semangatku yang masih tersisa kuputuskan untuk mengubah keluargaku, orang-orang yang paling dekat denganku. Tetapi celakanya merekapun tidak mau diubah.


Dan kini sementara aku terbaring saat ajal menjelang, tiba-tiba kusadari: andaikan yang pertama-tama kuubah adalah diriku, maka dengan menjadikan diriku sebagai panutan mungkin akan bisa mengubah keluargku. Lalu berkat inspirasi dan dukungan mereka bisa jadi akupun mampu memperbaiki negeriku. Kemudian siapa tahu akupun bisa mengubah dunia.


Hasrat untuk Berubah
(konon ini puisi di sebuah batu nisan tak bernama di Kota Westfallen, Inggris, tahun 1100 Masehi)


 HARI-hari terakhir ini kita “dikepung” oleh manusia-manusia yang merasa dirinya paling sempurna. Mereka “menyapa” kita di mana-mana. Mereka tersenyum dari tiang listrik yang berdiri tak jauh dari pintu pagar rumah kita. Ada yang melambaikan tangan dari baliho besar di pertigaan jalan tempat kita mencegat angkutan umum. Turun dari taksi, mereka juga masih setia menghampiri. Cobalah menoleh sedikit ke kiri. Nah, mereka ada di kaca belakang taksi yang barusan Anda tumpangi.
“Berkarya Bagi Bangsa”, “Berbuat Untuk Rakyat”, “Jujur, Bersih, Amanah”, ''Berjuang Untuk Kesejahteraan Bersama”. Gombal? Terserah Anda memberi penilaian terhadap kata-kata yang dipasang di bawah foto wajah-wajah yang rajin memberi Anda senyum belakangan ini.

Saya pribadi tak percaya pada mereka. Karena itu meski pemilihan umum masih jauh, saya sudah memutuskan tidak akan menggunakan hak memilih yang diberikan negara kepada saya. Sulit hati saya menumbuhkan benih kepercayaan -meski hanya sedikit- terhadap ratusan sosok yang menawarkan diri jadi wakil saya di parlemen nanti.

Saya berpikir sederhana saja. Sebagian dari mereka adalah wajah-wajah lama, yang sudah diberi kesempatan, bahkan hingga dua periode jabatan, untuk melakukan yang terbaik bagi orang-orang yang mereka wakili. Tapi kerja mereka tak bisa mengubah situasi jadi lebih baik.

Jika hari ini hidup kita berubah itu bukan karena mereka, tapi karena memang kita ingin berubah. Satu-satunya perubahan yang bisa kita saksikan adalah, perubahan gaya hidup dan pendapatan mereka.

Ada wakil rakyat yang sebelum terpilih tinggal di rumah kontrakan tipe 27 seharga Rp350 ribu sebulan, yang ruang tamunya kosong tanpa kursi dan meja, kini mengungsi ke perumahan mewah yang dibeli dengan cicilan Rp6,5 juta per bulan.

Ada yang semasa masih berprofesi sebagai parlemen jalanan tinggal di rumah liar yang tak dilewati pipa ATB dan kabel PLN, kini sudah bisa berteduh di rumah mewah berlantai tiga. Jika hawa panas tak perlu kipas-kipas, sebab AC bisa menyala kapan saja.

Ada yang bekas tukang service AC, tapi berkat kepiawaian “menghimpun dana” kanan kiri selama duduk di legislatif, bisa dijadikan modal untuk merebut kursi ketua partai. Dan karena sudah punya jabatan mentereng, banyak jabatan sosial di lingkungan sekitar berdatangan, mulai ketua yayasan masjid hingga paguyuban.

Ada partai yang ngaku sangat islami, bersih dan peduli. Tapi menggunakan uang pelicin untuk meraih simpati. Membelanjakan uang suap yang mereka terima untuk beli sembako yang lalu dibagi-bagikan kepada warga, kata mereka, adalah “mengembalikan uang rakyat kepada rakyat”. Padahal, uang suap seharusnya dikembalikan kepada lembaga negara yang menangani korupsi. Bagi-bagi sembako dari uang pelicin bukankah sama saja dengan menggunakan suap untuk kegiatan kepartaian? Islamikah cara seperti itu?

Mau pilih wajah-wajah baru? Toh sebenarnya mereka juga stok lama, yang gagal dalam kontes politik periode sebelumnya, dan kini mencoba lagi. Ada yang bekas anggota LSM dan aktivis mahasiswa, yang kita tahu rekam jejak mereka: hantam dulu lalu sorongkan proposal.

Kualitas pendatang baru ini pun tak lebih baik dari mereka yang duduk di kursi dewan sekarang ini. Coba saja Anda baca koran-koran yang terbit di Kepulauan Riau ini. Ada caleg yang nggak ngerti apa sebenarnya tugas anggota dewan.

Di Tanjungpinang, misalnya, ada caleg yang berjanji jika terpilih akan mengembalikan piala adipura yang gagal dipertahankan pemerintah kota. Merebut dan mempertahankan adipura adalah tugas pemerintah kota, bukan tugas anggota dewan. Jika ia berkampanye sebagai calon wali kota Tanjungpinang itu benar adanya. Tapi jika itu dijual dalam kampanye anggota DPRD, maka itu adalah kebodohan yang nyata.

Di Batam, ada caleg yang bilang kalau dia terpilih ia akan menurunkan harga sembako yang kini sedang melangit. Ini sama gobloknya dengan yang di Tanjungpinang tadi. Menjaga kebersihan dan menurunkan harga kebutuhan adalah kerja teknis, yang merupakan tugas wali kota/bupati melalui kepala dinas. Bagaimana mungkin seorang anggota DPRD memerintah kepala Dinas Kebersihan untuk senantiasa menjaga kebersihan kota, jika ia tak punya kekuasaan mengangkat dan memberhentikan si kepala dinas?

Makin rajin kita membaca koran, makin banyak kebodohan calon wakil rakyat yang kita temui. ''Saya berjanji akan meningkatkan kualitas pendidikan.'', “Kita akan memperbanyak lapangan kerja.'' Sekali lagi, itu bukan kerja Anda jika Anda terpilih jadi wakil rakyat. Jika Anda bodoh, cukuplah itu buat diri Anda sendiri, jangan tulari orang lain.

Meski sederhana, saya menghargai niat seorang imam masjid yang maju sebagai caleg dan berjanji memperjuangkan honor bagi para imam masjid. Budgetting atau perencanaan anggaran adalah satu dari tiga tugas dewan. Jika terpilih Pak Imam bisa memperjuangkannya saat rapat panitia anggaran. Tak perlu muluk-muluk, tapi tahu apa yang mesti dikerjakan. Sampaikanlah kepada kami hal yang kecil-kecil, tapi konkret dan detil daripada hal yang besar-besar tapi gombal!. ***


No comments: