Monday, December 8, 2008

Tanjungbatu: Ayam Kampung dan Lokalisasi yang Mati Suri


PULUHAN calon penumpang duduk gelisah di ruang tunggu Pelabuhan Domestik Sekupang, Batam, Kamis, pertengahan November lalu. MV Marina Srigemini yang dijadwalkan membawa mereka ke Tanjungbatu pukul 09.00, belum juga berlabuh di dermaga keberangkatan, meski waktu sudah menunjuk pukul 10.10.


Bau pesing toilet pelabuhan yang berembus hingga ke ruang tunggu, membuat para penumpang kian tak tahan duduk berlama-lama di situ. Abdul Manaf, pensiunan guru di Durai berulangkali mengingatkan istrinya untuk bersabar. ''Duduklah dulu. Kapalnya sedang isi minyak,'' katanya. Sang istri hanya menganggukkan kepala sambil terus menempelkan ujung kerudung warna merah jambu di hidungnya.

Karena tak kuasa membendung bau pesing yang menyengat, sebagian calon penumpang akhirnya pindah ke dermaga. ''Lebih baik di sini. Di dalam saya batuk-batuk, Bau sekali,'' kata Atjin yang menenteng dua kardus mi instant. ''Ini mainan anak-anak, buat dijual,'' katanya. Omelan dan sumpah serapah akan buruknya kebersihan pelabuhan mengalir dari bibir calon penumpang. Retribusi pelabuhan yang besarnya Rp5.000 ikut diungkit.

Pukul 10.30 kapal akhirnya tiba. Antrean masuk ke dalam badan kapal cukup tertib. MV Marina Srigemini terbilang bersih. ''Ini kapal baru,'' kata seorang perempuan yang bertugas memeriksa tiket penumpang. Teriakan penjual donat, nasi goreng kotak, dan air mineral bersahut-sahutan. Mereka hilir mudik dari depan ke belakang dan sebaliknya,

Saya mengambil tempat duduk di kursi paling depan. Di sebelah saya, sudah lebih dulu ada Muhammad Rasyid, teknisi freelance yang berangkat untuk memindahkan tower sebuah perusahaan telepon seluler. Ia fasih bicara soal Tanjungbatu. ''Istri saya asli sana,'' katanya.

Di belakang kami kami duduk seorang perempuan muda. Ia membeli nasi goreng kotak. Tak lama berselang menyusul seorang pria berseragam polisi duduk di sampingnya. ''Pasti Mbak ini bukan asli Tanjungbatu,'' kata Pak Polisi sambil mengempaskan pantat di kursi. Sebuah kalimat pembuka untuk berkenalan. Mereka akhirnya berbincang sepanjang perjalanan.

Mencari teman bicara adalah cara terbaik untuk membunuh waktu. Perjalanan Batam-Tanjungbatu menghabiskan waktu sekitar 90 menit. Terlalu lama untuk sekedar melamun dan memandang hamparan lautan. ''Ini untung kapalnya cepat. Kalau pakai feri yang besar bisa dua jam lebih,'' kara Rasyid.

Seperti kebanyakan pelabuhan lain di Kepulauan Riau, Pelabuhan Tanjungbatu tak kalah sederhananya. Para pengojek bahkan bisa masuk menawarkan jasa hingga ke ujung dermaga saat penumpang turun dari kapal.

Rasa lapar yang sudah terasa sejak di perjalanan kian mendera begitu kapal merapat di pelabuhan. Panggilan penawaran dan tarikan tangan para pengojek tak saya hiraukan. Begitu Imam Soekarno, teman yang berjanji menjemput tiba, mencari tempat makan adalah hal pertama yang saya utarakan.

Sekitar lima menit dari pelabuhan, motor bebek hitam itu merapat di depan sebuah warung nasi warna putih kusam. Di atas pintu masuk ada papan nama dengan
background biru di atasnya tercetak kata Suka Maju dengan huruf kapital warna merah. ''Ini yang paling top di Tanjungbatu,'' kata Imam.

Belasan calon pembeli, yang sebagian besar adalah warga Tionghoa, berdesakan di pintu masuk. Mereka memesan makanan untuk dibawa pulang. Tiga pelayan bergantian mengulurkan bungkusan nasi dan lauk kepada pengantre yang dibatasi tembok setinggi dada orang dewasa. ''Ciri khas di sini adalah ayam kampung,'' kata Imam. Ada tiga jenis menu makanan berbahan dasar ayam kampung di warung Suka Maju ini, yaitu ayam kampung goreng balado, gulai ayam kampung, dan sop ayam kampung.

Menu sop ayam kampung yang sudah tersedia sejak pukul 08.00 pagi biasanya sudah habis menjelang tengah hari. Pembeli yang ingin menikmati pada jam makan siang kerap tak mendapatinya lagi.

Ukuran potongan ayam cukup besar. Satu porsi harganya Rp18.000. Sebuah harga yang tergolong mahal untuk kota kecil seperti Tanjungbatu. Tapi pembeli tak pernah sepi. Meski kebanyakan pelanggan di situ adalah warga Tionghoa, Suka Maju bukanlah rumah makan khas masakan China. Ini adalah warung nasi Padang, yang didirikan Hj Somia, seorang perantau asal Sumatera Barat sejak tahun 1951. Kini warung makan yang terletak di Jalan RA Kartini itu dikelola generasi ketiga keluarga Hj Somia.

Tapi, jika Anda dari luar Tanjungbatu dan berniat mencicipi yahudnya sop atau goreng balado ayam kampung Suka Maju, jangan coba-coba datang pada hari Jumat. Sebab itu adalah hari besar dan hari libur bagi pengelola dan karyawannya. Tradisi libur di hari Jumat ini sudah berlaku sejak mula warung ini berdiri. ''Pejabat-pejabat pemerintah yang berkunjung ke Tanjungbatu, pasti makan di sini,'' kata Imam.

Selain menyajikan menu dari bahan dasar ayam kampung, warung makan Suka Maju juga menyediakan beragam menu lain. Karena Tanjungbatu dikepung lautan, sudah pasti aneka seafood tersedia di warung ini. Misalnya, udang goreng balado, ikan goreng, ikan bakar, sotong atau cumi-cumi.

***
TANJUNGBATU adalah ibu kota Kecamatan Kundur. Ia berada di Pulau Kundur Kabupaten Karimun. Dulunya pulau ini hanya terdiri dari satu kecamatan saja. Kini sudah dipecah jadi tiga kecamatan, yaitu Kecamtan Kundur, Kecamatan Kundur Utara, dan Kecamatan Kundur Barat. Tanjungbatu adalah pusat kegiatan masyarakat paling ramai.

Seperti kebanyakan daerah di Provinsi Kepulauan Riau, pelaku usaha didominasi warga etnis Tionghoa. Geliat ekonomi paling terasa di Jalan Sudirman yang letaknya tak jauh dari pelabuhan. Tak jauh dari situ ada Pasar Tanjungbatu. Dari pagi hingga siang hari, pasar ini menjual beragam kebutuhan, mulai sayur hingga pakaian. Pada petang sampai tengah malam, pasar berubah wujud jadi pujasera yang menawarkan aneka makanan. Jika malam merambat, di pujasera inilah satu-satunya kehidupan yang masih berdenyut di Tanjungbatu.

Tidak ada pusat perbelanjaan besar di sini. Kegiatan perdagangan digelar di rumah-rumah toko, yang desainnya sudah terlihat agak kuno. ''Tahun 1982 saya ke sini, ruko ini sudah ada,'' kata Samosir, seorang pengojek yang mangkal di depan Balai Pemuda.

Samosir mengisahkan, setidaknya hingga tahun 2004, para pengojek menikmati limpahan rezeki dari derasnya arus kunjungan wisatawan asal Singapura tiap penghujung pekan. ''Tak jarang ongkos dibayar pakai dolar,'' tuturnya. ''Kini jangankan pegang dolar, pegang rupiah saja susah. Orang Singapura tak ada masuk lagi,'' katanya.

Pada masa-masa itu, kata dia, tersedia feri yang melayari rute Tanjungbatu-Singapura. ''Dulu di pelabuhan itu ada pos imigrasi, sekarang kan sudah tak ada lagi,'' ujarnya menguatkan bukti telah berhentinya hubungan langsung Tanjungbatu-Singapura itu. ''Kini satu pun tak ada lagi pegawai imigrasi bekerja di Tanjungbatu,'' Samosir menambahkan.

Samosir tak mengarang cerita. Seorang resepsionis Hotel Prima, sebuah hotel yang terletak dekat Pasar Tanjungbatu, mengatakan, tamu yang menginap dari hari ke hari kian sepi. ''Bahkan pernah dalam dua hari tak ada satupun tamu,'' katanya. Ia membenarkan cerita Samosir. ''Itu karena orang Singapura tak ada masuk lagi,'' katanya. Pada malam saat saya menginap di sana, menurut si resepsionis, hanya ada dua tamu saja (sudah termasuk saya). Padahal hotel ini punya 29 kamar.

Hotel Taman Gembira, hotel terbesar di Tanjungbatu yang memiliki 300 kamar, kini hanya mengaktifkan 80 kamar saja. Alasannya pun sama: tamu makin sepi.

Kenapa kondisi ini terjadi? Beberapa penduduk Tanjungbatu yang saya ajukan pertanyaan ini menjawab seragam. ''Karena lokalisasi Batu 7 sudah mati suri.'' Menurut mereka, kebanyakan turis Singapura, yang mayoritas laki-laki, tiap berkunjung ke Tanjungbatu selalu menghabiskan waktu mereka di lokalisasi Batu 7. ''Lokalisasinya belum tutup, tapi perempuannya tinggal sedikit dan sudah tua-tua,'' kata Samosir.

Apakah memang cuma lokalikasi yang dituju pelancong Singapura tiap berkunjung ke Tanjungbatu? ''Apalagi yang mau dilihat. Tanjungbatu memang tak punya tempat wisata yang bisa dijual,'' jawab warga.

Sesungguhnya Tanjungbatu bukan tak punya objek wisata. Di sini ada Pantai Timun, yang letaknya sekitar 20 kilometer dari pusat kota. Tapi, astaga, hati sungguh miris saat melihat kondisi pantai yang ditumbuhi banyak pohon kelapa itu. Air laut yang seharusnya jadi pemandangan dan tempat bermain mengasyikkan justru berwarna hitam kelam. Aktivitas kapal-kapal pengeruk timah bisa dilihat dengan mata telanjang dari bibir pantai. Inilah sumber pencemaran itu.

Timah adalah sumber pendapatan utama Pulau Kundur. Sudah tentu pula, bahan galian tambang ini memberi kontribusi besar dan mempertebal pundi-pundi Kabupaten Karimun. Agaknya, menyatukan proses pengerukan timah ramah lingkungan dan mengelola pantai yang bersih dan indah adalah pekerjaan yang paling sulit dilakukan Pemerintah Kabupaten Karimun bertahun-tahun belakangan. Kondisi terkini Pantai Timun, bisa menggambarkan bahwa Pemerintah Karimun gagal mengelola dua hal itu seiring sejalan.

Padahal, jika Pantai Timun bersih, terawat, dan nyaman dikunjungi sudah tentu tidak hanya lokalisasi Batu 7 yang selalu terngiang-ngiang di benak turis Singapura. Mengubah kondisi Pantai Timun yang sudah terlanjur berantakan, juga bukan pekerjaan yang bisa selesai dalam semalam. Tapi perubahan itu sudah harus dilakukan.

Dari Pantai Timun, orang yang masuk dari Batam bisa meneruskan perjalanan ke kota Tanjungbalai, ibu kota Kabupaten Karimun melalui Pelabuhan Selat Belia. Dari pelabuhan ini hanya butuh waktu 15 menit untuk sampai ke Tanjungbalai menggunakan feri yang berangkat tiap setengah jam. ***

1 comment:

ade setiawan said...

Tulisan yang bagus dan inspiratif, sayang tidak dibahas potensi pulau Kundur lainnya seperti buah Durian dan sektor perkebunan.