Friday, December 12, 2008

Habis Karet Gagallah Nenas


MARYONO Ibrahim hanya bisa mengenang empuknya jok sepeda motor baru merek Kanzen. Cuma tiga bulan kuda besi buatan China itu sempat ia tunggangi, sebelum ditarik balik oleh dealer tempat ia membeli pertama kali. Sebabnya, Maryono tak sanggup membayar cicilan sebesar Rp380 ribu per bulan yang ia sepakati dalam perjanjian jual beli.

Sejak Kanzen lepas dari genggaman, Maryono harus kembali ke selera asal. Kemana-mana, kini ia menaiki Vespa tua warna merah peninggalan orang tua. ‘’Sebelum ada Kanzen dulu pakai Vespa ini. Waktu punya Kanzen, Vespa istirahat dulu. Sekarang balik ke Vespa lagi,’’ tuturnya. Ia tersenyum, tapi getir.


Ditemui di rumahnya di Desa Tanjungsari, Kecamatan Kundur, Kabupaten Karimun, pertengahan November lalu, Maryono menceritakan, saat meneken akad kredit dengan dealer pada Agustus 2008, ia hakul yakin semua bakal berjalan mulus layaknya laju kendaraan baru. Maklumlah, kala itu, kantong Maryono sedang gembung. Getah karet yang menjadi sandaran hidup keluarga, harganya tengah menjulang. ‘’Sekilo Rp12 ribu. Itu puncak paling tinggi,’’ katanya.

Dengan harga getah di tingkat penampung Rp12 ribu sekilo, Maryono bisa mengantongi pendapatan rata-rata Rp500 ribu per empat hari. ‘’Rata-rata tiap empat hari hasil panen sekitar 40 sampai 50 kilo,’’ katanya.

Tak cuma Maryono yang berpesta di bulan kemerdekaan itu, para tetangga se-desa yang juga menggantungkan hidup dari karet ikut merasakan nikmatnya hasil keringat menoreh getah. ’’Itu sudah biasa di sini. Kalau harga sedang tinggi, petani beli barang-barang konsumtif, seperti motor dan elektronik. Agustus lalu, stok di dealer motor sampai kosong,’’ kata Raja Abdul Aziz, pimpinan PT Bintan Jaya, perusahaan penampung getah karet terbesar di Pulau Kundur.

Di awal bulan puasa, jalan raya Desa Tanjungsari yang penuh lubang dan batu, disesaki puluhan sepeda motor baru berbagai merek. Barang-barang elektronik yang masih mengkilat seperti televisi, VCD player, dan lemari es terpajang di ruang tamu rumah warga. Lebaran dilewati penuh keriangan. ‘’Anak-anak dan menantu semua pakai baju baru,’’ kenang Maryono.

Hidup bagi petani karet Pulau Kundur seperti berselancar di atas gelombang. Kadang terbang tinggi melayang, di lain waktu terempas hingga ke dasar. Selepas Idul Fitri, harga karet di tingkat penampung tiba-tiba rontok. ‘’Turun sampai Rp2.000 sekilo,’’ ujar Maryono. ‘’Pahit,’’ ucapnya sambil menggelengkan kepala.

Maryono dan ratusan petani karet Pulau Kundur kaget dan terpukul. ‘’Kita tak siap menerima harga turun secepat itu,’’ katanya. Di kalangan petani karet Pulau Kundur istilah rugi digunakan bila harga satu kilo karet di penampung tidak cukup untuk membeli satu kilo beras. ‘’Kalau sekilo karet sama dengan sekilo beras, itu namanya balik modal,’’ kata Maryono. Bila satu kilo karet sama dengan sekilo beras plus sebungkus ikan asin, maka istilah yang dipakai adalah untung sedikit. Tapi jika sekilo karet bisa membeli berkilo-kilo beras, itu adalah untung besar.

Menurut Raja Abdul Aziz, bos perusahaan penampung getah petani, dari dulu harga karet memang naik turun. ‘’Jangankan hitungan bulan, dalam sehari saja harga bisa berubah sampai tiga kali,’’ katanya. Perusahaannya rutin menerima informasi perubahan harga dari kantor pusat di Tanjungpinang.

Situasi yang berubah cepat membuat petani pontang panting mencari duit melunasi kredit motor. Ada yang coba jadi pengojek, sebagian beralih jadi buruh bangunan. Yang lain berubah wujud jadi pedagang kagetan.

Maryono sendiri ikut jadi buruh di perusahaan pertambangan granit. ‘’Hasilnya hanya cukup untuk makan,’’ katanya. Ia hanya bisa memandang ketika petugas dealer akhirnya menggiring motor Kanzen miliknya menjauh dari halaman rumah. ‘’Itu dealer tiba-tiba penuh lagi. Habis motor yang dulu dibeli petani ditarik lagi semua,’’ katanya.

Kekalutan Maryono kian berlipat. Setelah kehilangan motor, ia juga dikejar-kejar guru tempat anak bungsunya bersekolah. Iuran rutin bulanan dan bayaran buku paket belum sanggup dilunasinya. ‘’Cam mana lagi, uang sudah tak ada,’’ katanya.

Di rumah panggung peninggalan kakek dan orang tua yang kini dihuninya, Maryono hidup bersama istri, tiga anak, menantu dan mertua. ‘’Total kami ada sembilan orang,’’ katanya. ‘’Semua harus makan. Kalau ada duit kita dulukan kebutuhan pokok dulu, sisanya baru buat bayar sekolah,’’ paparnya.

***
KARET adalah hasil pertanian utama di Pulau Kundur. Menurut sejumlah petani, kebun karet di pulau terluas dalam wilayah Kabupaten Karimun itu sudah ada sejak zaman Jepang. ‘’Waktu kakek saya masih hidup dia sudah petani karet,’’ kata Ismail Hisam, petani karet di Kundur Utara.

Mayoritas lahan perkebunan dikelola secara tradisional oleh warga, mengikuti cara-cara yang digunakan kakek dan orang tua mereka sebelumnya. Masing-masing petani memiliki luas lahan sekitar dua hektare sampai empat hektare.

Catatan Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Karimun, total luas lahan perkebunan karet di Pulau Kundur 18.394 hektare dari 19.210 hektare luas kebun karet secara keseluruhan di kabupaten itu. Lahan perkebunan itu terserak di tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Kundur 2.260 hektare, Kecamatan Kundur Utara 14.106 hektare, dan Kecamatan Kundur Barat 2.028 hektare.

Pada tahun 2002 silam, saat Karimun dipimpin Bupati HM Sani (kini Wakil Gubernur Kepulauan Riau), ratusan hektare lahan kebun karet warga dialihkan jadi perkebunan nenas. Sejumlah petani memperkirakan luasnya mencapai 400 hektare.

Maryono mengenang, ketika itu, para pemilik kebun karet di desanya diiming-imingi janji, bahwa pendapatan dari nenas lebih besar daripada karet. Para pejabat kabupaten yang mendadak rajin turun ke Kundur selalu membangga-banggakan prospek perkebunan nenas. ‘’Banyak yang menerima, tapi saya menolak,’’ katanya. ‘’Itu, itu semua bekas kebun nenas,’’ katanya menunjuk dua petak lahan di sisi kanan rumahnya yang kini ditumbuhi rumput dan ilalang.

Besarnya harapan yang digantung pada kebun nenas terlihat dari meriahnya pesta panen perdana yang digelar Pemerintah Kabupaten Karimun, pada hari Selasa, 24 Agustus 2004 di Desa Tanjungsari. ‘’Bahkan Pak Menteri juga datang,’’ kata Maryono. ‘’Ada acara makan-makan dan foto-foto,’’ katanya. Yang hadir saat itu adalah Menteri Koperasi dan UKM Ali Marwan Hanan didampingi Pjs Gubernur Kepri Ismeth Abdullah (kini Gubernur Kepulauan Riau).

Namun, kegembiraan yang terpancar pada perayaan panen perdana tak berlanjut pada hari-hari berikutnya. Pasalnya, petani tak tahu kemana harus menjual hasil panenan mereka yang melimpah-limpah.

Memang, kata Tumardi, Kepala Seksi Produksi dan Pengembangan Lahan Perkebunan Kabupaten Karimun, waktu itu ada investor lokal PT Inmas Sun Shine yang berencana membangun pabrik pengolahan nenas, yang hasilnya akan diekspor ke Malaysia. Janji investor itulah yang turut dijual Pemerintah Karimun kepada petani hingga bersedia mengkonversi kebun karet jadi kebun nenas.

Tapi, hingga kiini, pabrik itu tak kunjung berdiri. Nenas yang sudah terlanjur ditanam warga membusuk di batangnya. ‘’Dipanen juga mau diapakan, dijual mentah siapa yang mau beli,’’ kata Maryono terkekeh. Saat panen perdana harga nenas masih berkisar Rp450-Rp500 per kilogram, karena distribusi tidak berjalan harga anjlok hingga Rp250 per kilogram. Petani menanggung kerugian.

Kenapa proyek impian itu gagal? Tumardi tak bersedia menjelaskan. Ketika ditemui di Kantor Bupati Karimun, ia tampak hati-hati menjawab pertanyaan seputar alih fungsi kebun karet ke kebun nenas, yang berbuah kegagalan itu. ‘’Jangan tanya itu ke kami, tanya ke Dinas Koperasi. Itu urusan mereka,’’ katanya. ‘’Kami hanya ngurus teknis penanamannya saja, soal investor dan penjualan itu tugas Dinas Koperasi,’’ katanya.

Batang-batang nenas yang membusuk itu kini terhampar di sisi kiri kanan jalan Desa Tanjungsari. Sebagian sudah dialihkan warga jadi kebun sawit. Sebagian lagi sudah ditanami karet kembali. Hanya saja, warga mesti bersabar menunggu hingga enam tahun setelah bibit ditanam. Sebab pohon karet baru bisa ditoreh getahnya setelah berumur enam tahun ke atas. Pemerintah lepas tangan? ‘’Kita bicara karet saja,’’ kata Tumardi.

***
TAK beranjaknya nasib petani karet dari sekapan kemiskinan, menurut Ismail Hisam, disebabkan tidak adanya keseriusan pemerintah melakukan pembinaan. ‘’Hidup kita seperti harga karet saja. Naik turun,’’ ucap petani Kundur Utara ini.

Seharusnya, kata dia, pemerintah mendorong petani yang jumlahnya 3.273 orang (jumlah petani karet di Pulau Kundur) untuk membentuk koperasi yang kuat. ‘’Kalau harga sedang turun, kita bisa pinjam koperasi untuk nutup kebutuhan sampai harga naik lagi,’’ katanya. Pemerintah, kata dia, juga tak pernah mengajar petani mengelola uang hasil penjualan yang diperoleh ketika harga sedang tinggi. Karena itu, pola hidup petani, yang cenderung berfoya-foya ketika sedang punya banyak uang, tak berubah sejak dulu.

Pola hidup yang dilakoni petani tersebut ikut menghambat laju produktivitas kebun karet. Peremajaan tidak berjalan. Petani lebih mengutamakan barang-barang konsumsi ketimbang membeli bibit baru dengan kualitas nomor satu.

Di kebun karet milik Maryono, misalnya, dari 15 jalur yang ada, hanya enam jalur saja yang masih bisa berproduksi (satu jalur terdiri dari 180 pohon karet). ‘’Sisanya sudah tua,’’ katanya. Batas usia produktif pohon karet adalah 30 tahun. Data Dinas Pertanian dan Kehutanan Karimun menunjukkan, total area kebun karet di Pulau Kundur yang dihuni tanaman tua rusak alias tidak berproduksi lagi mencapai 9.440 hektare.

Menurut Tumardi, makin banyaknya area kebun tanaman tua rusak, makin menurunkan angka produksi rata-rata petani. Catatan pemerintah, kata Tumardi, di Kecamatan Kundur angka produksi berkisar 661,22 kilo per hektare kebun. Di Kundur Utara 698,36, dan di Kundur Barat 716,61.

Bos PT Bintan Jaya Raja Abdul Aziz mengatakan, produktivitas petani juga naik turun mengikuti harga. ‘’Kalau musim hujan, otomatis produksi turun, petani tak bisa menoreh batang,’’ katanya. Dan, walau cuaca bagus, tapi harga sedang rontok, produksi petani juga tidak akan naik.

Di tempat penampungan miliknya, kata Abdul Aziz, rata-rata menerima karet 20 ton sehari. Di Karimun, karet yang yang baru ditoreh dari batang disebut ojol. Ojol yang terkumpul kemudian dikirim ke Tanjungpinang untuk diolah, lalu diekspor ke Singapura.

Untuk mendongkrak produktivitas petani, kata Tumardi, Pemerintah Karimun sudah menjalankan program peremajaan yang disebut Gerakan Satu Juta Pohon Karet. ‘’Dari 2007 sudah jalan sampai 2010,’’ ujarnya. Satu juta bibit karet itu dibagikan cuma-cuma kepada petani. ‘’Ini bibit unggul dari Palembang dan Medan, harganya Rp6.000 per batang,’’ katanya. ‘’Kalau ada yang bilang pemerintah tak peduli, itu yang vokal-vokal saja. Mungkin bibit belum sampai ke rumah mereka,’’ katanya. ***

1 comment:

Anonymous said...

Huahahahahha.. ngapain loe ke pulau kelahiran bapakku??? Wuahahahah.. kalo datangnya pas Juli 2006, mungkin kita akan ketemu..